Hubungan Bahasa dan Kebudayaan
Setelah mengkaji tentang hubungan bahasa dan kebudayaan ternyata banyak pertentangan diantara ahli bahasa tersebut. Hipotesis Safir-Worf (Choer dan Agustina, 2004 : 167) yang menyatakan bahwa bahasa akan menyebabkan perbedaan berfikir antara masyarakat yang berbeda budaya. Pendapat ini jelas tidak diterima bahkan para ahli pun banyak yang menolak. Tidak mungkin seseorang yang berbeda bahasanya dan budayanya akan berbeda pemikirannya. Justru dengan bahasa kebudayaan yang berbeda akan dipersatukan dan akan melahirkan pemikiran yang baru dan pemikiran yang sama. Perbedaan berfikir seseorang yang berbeda bahasa dan budaya bisa disebabkan oleh kemampuan atau daya nalarnya serta pendidikannya. Sehingga antara kemampuan dan pendidikan akan membedakan.
Ahli antropologi Indonesia yaitu Koentjaraningrat (Chaer dan Agustina, 2004 : 169) yang menyatakan bahwa kemampuan masyarakat dalam berbahasa dipengaruhi oleh sifat-sifat negatif yang telah membudaya. Bahkan budaya yang bersifat negatif tersebut telah turun-temurun. Misalnya., pencopet. Seseorang yang memiliki sifat yang kurang terpuji di mata masyarakat, dia juga pasti memiliki bahasa yang tak enak didengar. Karena dia selalu berada dilingkungan yang tidak memungkinkan dirinya untuk memiliki bahasa yang baik. Jadi menurut pendapat di atas, budaya seseorang baik yang negatif maupun yang positif akan menentukan kemampuan berbahasanya. Bisa dikatakan bahasanya merupakan cerminan dirinya dan cerminan budaya lingkungannya yang dia tinggali cara berpikir seseorang.
Selain hipotesis tersebut pendapat Masinambouw (Chaer dan Agustina, 2004 : 167) juga mengemukakan pandapatnya tentang hubunagn bahasa dan kebudayaan. Menurutnya bahasa hanyalah sebagai alat yang dapat digunakan untuk menyampaikan pemikiran seseorang. Seseorang yang berbeda bahasa akan tetap mempunyai pemikiran yang sama. Berbeda bahasa dan kebudayaan tidak akan mempengaruhi pemikiran seseorang. Seseorang yang berbeda bahasa akan tetap mempunyai pemikiran yang sama.
Berbeda bahasa dan kebudayaan tidak akan mempengaruhi pemikiran seseorang. Pendapat ini dapat diterima karena banyak contoh konkret yang dapat kita ambil. Misalnya banyak orang yang datang ke pulau Jawa untuk kerja dan meneruskan pendidikannya. Mereka tentu memiliki bahasa dan kebudayaan yang berbeda tetapi pemikiran mereka akan sama dengan orang-orang yang ada di pulau Jawa. Apabila mereka, memiliki pemikiran yang berbeda tentu mereka tidak akan ke pulau Jawa. Antara bahasa dan kebudayaan memiliki hubungan yang terikat karena bahasa merupakan alat penyampai kebudayaan tetapi bahasa yang berbeda belum tentu pemikiran seseorang pun berbeda.
Banyak ahli yang mengamati antara hubungan bahasa dan kebudayaan. Hipotesis Safir-Whorf (Chaer dan Agustina, 2004 : 1967) menyatakan “perbedaan berfikir disebabkan oleh adanya perbedaan bahasa”.
Pendapat di atas bertolak belakang dengan pendapat Masinambouw (Chaer dan Agustina, 2004: 1967) “Bahasa itu hanyalah alat untuk menyatakan atau menyampaikan pikiran. Suatu pikiran bila dinyatakan dengan bahasa yang berbeda-beda tidak akan menjadi berbeda-beda”.
Berbeda dengan kedua pendapat di atas, Koenjtaraningrat (Choer dan Agustina, 2004 : 169) menyatakan “Buruknya kemampuan berbahasa Indonesia sebagaian orang Indonesia termasuk kaum inteleknya adalah karena adanya sifat-sifat negatif yang melekat pada mental sebagian besar orang Indonesia (?)
Melihat pendapat para ahli di atas, ternyata mereka memiliki pandangan berbeda tentang hubungan bahasa dan kebudayaan. Di antara pendapat di atas yang paling bertentangan adalah pendapat Safir-Worf. Dalam hipotesisnya sangat bertentangan dengan pendapat para ahli bahasa lainnya. Jadi antara bahasa dan kebudayaan memiliki hubungan yang terikat karena bahasa merupakan alat penyampai kebudayaan tetapi bahasa yang berbeda belum tentu pemikiran seseorang pun berbeda.