Senin, 24 Oktober 2011

Berguru Karakter pada Sawer Panganten



A.      Purwawacana
Dalam khazanah budaya bangsa, di berbagai daerah banyak tersebar bentuk sastra lisan, yang antara lain dapat berupa mite, legenda, dongeng, termasuk juga pantun. Cerita-cerita tersebut menurut Rusyana (1981:1) termasuk bentuk sastra lisan karena penyebarannya dalam bentuk tidak tertulis, bersifat anonim, dan disampaikan dengan bahasa mulut. Selain itu, cerita rakyat tidak mempunyai bentuk yang tetap dan memiliki banyak variasi bergantung kepada keahlian bercerita penuturnya.
Keberadaan cerita bentuk sastra lisan dalam kurun waktu sekarang ini ada yang sudah dipublikasikan dan dikenal oleh masyarakat luas, ada pula yang belum dikenal, atau bahkan terdapat di antaranya sastra lisan yang hampir punah. Kondisi demikian memunculkan kekhawatiran putusnya mata rantai kebudayaan di Nusantara. Begitu pula halnya dengan sastra lisan yang berkembang di tatar Sunda yang konon memiliki banyak sastra lisan.
Salah satu bentuk sastra lisan yang berkembang di tatar Sunda adalah jenis sawer. Sastra lisan bentuk sawer ini sebenarnya sudah banyak dikenal oleh penduduk atau masyarakat pada umumnya. Namun mereka hanya mengenal sawer hanya sebatas dinyanyikan (ditembangkeun), sedangkan isi cerita sawer kadang kurang dipahami, apalagi bagi anak-anak usia sekolah masih sulit memahaminya padahal dalam tembang sawer ini penuh dengan nasihat sebagai bentuk kepedulian dalam membangun karakter, khususnya dalam berumah tangga.
Kondisi masyarakat dewasa ini sangat memprihatinkan. Perkelahian, pembunuhan, kesenjangan sosial, ketidakadilan, perampokan, korupsi, pelecehan seksual, penipuan, fitnah terjadi di mana-mana. Hal itu dapat diketahui lewat berbagai media cetak atau elektronik, seperti surat kabar, televisi atau  internet. Bahkan, tidak jarang kondisi seperti itu dapat disaksikan secara langsung di tengah masyarakat.
Keprihatinan terhadap kondisi masyarakat yang demikian itu, menumbuhkan semangat untuk mengkaji sebabnya dan mencari pemecahannya. Penelitian dan seminar mengenai masalah itu telah berkali-kali yang diselenggarakan oleh berbagai instansi, baik pemerintah maupun swasta. Ujungnya adalah persamaaan persepsi terhadap pentingnya menggalakkan pendidikan karakter.
Respon masyarakat terhadap pendidikan karakter berbeda-beda. Di kalangan kelompok pendidik muncul pendapat tentang perlunya pendidikan budi pekerti, sedangkan agamawan memandang perlunya penguatan pendidikan agama. Mereka yang berkecimpung di bidang politik mengusulkan revitalisasi pendidikan Pancasila. Dalam hal ini, Kemendiknas telah merespon berbagai pendapat itu dengan membentuk Tim Pengembang Pendidikan Karakter. Mungkin sudah saatnya kita kembali pada kearifan-kearifan lokal yang terdapat dalam cerita rakyat yang merupakan produk budaya yang luhur. Tidak ada salahnya kalau kita kembali menggali nilai karakter yang ada dalam kearifan lokal itu.

B.       Ihwal Karakter
Karakter menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti. Karakter dapat diartikan sebagai tabiat, yaitu perangai atau perbuatan yang selalu dilakukan atau kebiasaan. Suyanto (2009) mendefinisikan karakter sebagai cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun  negara. Pritchard  (1988: 467) mendefisikan karakter sebagai sesuatu yang berkaitan dengan kebiasaan hidup individu yang bersifat menetap dan cenderung positif.
Karakter sebagai akhlak dapat bersifat positif atau negatif. Dalam pandangan agama terdapat akhlakul karimah (ahlak yang mulia) dan akhlakul madmumah (akhlak tercela).  Dalam akhlakul karimah tercakup 22 sifat terpuji, yaitu (1) sederhana, (2) rendah hati, (3) giat bekerja, (4) jujur, (5) memenuhi janji, (6) terpercaya, (7) konsisten/istiqomah, (8) berkemauan keras, (9) suka berterima kasih, (10) satria, (11) tabah, (12) lemah lembut, (13) ramah dan simpatik, (14) malu, (15) bersaudara, (16) belas kasih, (17) suka menolong, (18) menjaga kehormatan, (19) menjauhi syubhat, (20) pasrah kepada Allah, (21) berkorban untuk orang lain, (22) payayang.  Sementara  itu, lawan dari sifat-sifat terpuni itu termasuk akhlakul madmumah, seperti boros, sombong, malas.
Menurut  Zulhan (2010: 2-5) karakter ada dua yaitu karakter positif baik (sehat) dan karakter buruk (tidak sehat). Tergolong karakter sehat yaitu  (1) afiliasi tinggi: mudah menerima orang lain sebagai sahabat, toleran, mudah berkerja sama, (2) power tinggi: cenderung menguasai teman-temannya dalam arti positif (pemimpin); (3) achieve: selalu termotivasi untuk berprestasi (4) asserte: lugas, tegas, tidak banyak bicara, (5) adventure: suka petualangan, suka mencoba hal baru. Sementara itu, karakter kurang sehat yaitu (1) nakal: suka membuat ulah, memancing kemarahan, (2) tidak teratur, tidak teliti, tidak cermat, meskipun kadang tidak disadari, (3) provokator: cenderung membuat ulah, mencari gara-gara, ingin mencari perhatian, (4) penguasa: cenderung menguasai teman-teman, mengintimidasi, (5) pembangkang: bangga kalau berbeda dengan orang lain, tidak ingin melakukan hal yang sama dengan orang lain, cenderung membangkang.
Pusat Kurikulum Kementerian Pendidikan Nasional (2011:10) telah merumuskan materi pendidikan karakter yang mencakup aspek-aspek sebagai berikut: (1) religius, (2) jujur, (3) toleran, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat atau komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, tanggung jawab.  Sementara itu, Suyanto (2009) berpendapat ada sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu (1) cinta kepada Tuhan dan segenap ciptaannya, (2) kemandirian dan tanggung jawab, (3) kejujuran/amanah, diplomatis, (3) hormat dan santun, (5) dermawan, suka menolong dan gotong royong/kerja sama, (6) percaya diri dan pekerja keras (7) kepemimpinan dan keadilan, (8) baik dan rendah hati, (9) toleransi, kedamaian, dan kesatuan.

C.      Cerita Rakyat, Kebudayaan, dan Folklore
Kata kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta, yakni buddhayah yang merupakan bentuk jamak kata buddhi yang betarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal budi. Adapun istilah culture yang merupakan istilah asing yang sama artinya dengan kebudayaan, berasal dari kata Latin colere. Artinya mengolah atau mengerjakan, yaitu mengolah tanah atai bertani. Dari asal arti tersebut yaitu colere kemudian culture, diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam.
Menurut E.B. Taylor dalam Soekanto (1998:188), kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan lain kemampuan-lemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota mastarakat.
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi dalam Soekanto (1998:189), merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Karya manusia menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat.
Istilah folklore mulai muncul pada abad kedelapan belas. Istilah ini dimunculkan oleh Ambrose Merton yang menulis sebuah artikel di majalah Athenaeum No. 982 tanggal 22 Agustus 1846. dalam majalah tersebut, Merton menciptakan istilah folklore untuk sopan santun Inggris, takhayul, balada, dan tentang masa lampau. William John Thoms, nama asli Ambrose Merton, yang juga seorang ahli kebudayaan antik asal Inggris, mengukuhkan folklore sebagai istilah baru dalam kebudayaan.
Secara etimologi, folk memiliki makna kolektif, atau ciri pengenalan fisik atau kebudayaan yang sama dalam masyarakat, sedangkan lore merupakan tradisi dari folk. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003: 319), folklor memiliki makna adat istiadat tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan secara turun temurun, tetapi tidak dibukukan. Sedikit bebeda dengan pendapat Dananjaya (1997: 2) folklore adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).
Folklore memiliki karateristik tersendiri yang membuatnya memiliki kedudukan yang berbeda dengan kebudayaan yang lainnya. Dananjaya (1997: 3) mengatakan bahwa ciri-ciri pengenal utama pada folklor bisa dirumuskan sebagai berikut.
1.      Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut.
2.      Folklor bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar.
3.      Folklor ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda. Hal ini diakibatkan oleh cara penyebarannya dari mulut ke mulut (lisan), biasanya bukan melalui cetakan atau rekaman, sehingga oleh proses lupa diri manusia atau proses interpolasi.
4.      Folklor bersifat anonim, yaitu nama penciptanya tidak diketahui orang lagi.
5.      Folklor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola. Dan selalu menggunakan kata-kata klise.
6.      Folklor mempunyai kegunaan sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan yang terpendam.
7.      Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum. Ciri pengenalan ini terutama berlaku bagi folklor lisan dan setengah lisan.
8.      Folklor menjadi milik bersama (kolektif) dari kolektif tertentu. Hal ini sudah tentu diakibatkan karena penciptanya yang pertama sudah tidak diketahui lagi, sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya.
9.      Folklor pada umumnya bersifat spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak folklor yang merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur manifestasinya.

Pada hakikatnya, folklor dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis jika dilihat dari bentuk dan cara penyampaiannya. Jenis folklor yang dimaksud adalah.
1.        Folklor Lisan (Verbal Folklore)
Folklor lisan biasanya berupa cerita prosa rakyat (dongeng), puisi rakyat, bahasa rakyat, ungkapan tradisional, pertanyaan tradisional, dan nyanyian rakyat. Dalam pengelompokkannya, dongeng terbagi menjadi tiga jenis, yakni, mite, legenda, dan dongeng biasa. Puisi rakyat biasanya berupa pantun atau jampijampi. Sedangkan bahasa rakyat akan membentuk sebuah dialek yang digunakan dalam masyarakat.
2.        Folklor Setengah Lisan (Partly Folklore)
Folklor setengah lisan antara lain:(1) kepercayaan dan takhayul; (2) permainan dan hiburan rakyat; (3) drama rakyat, seperti wayang dan sandiwara tradisional; (4) tari; (5) adat atau tradisi, contohnya seperti tradisi upacara menanam padi, tradisi pernikahan atau tradisi orang hamil; (6) pesta rakyat, contohnya seperti pesta rakyat Kawaluan Baduy, pesta rakyat seba laut di pesisir pantai selatan, pesta rakyat seren taun di Kasepuhan Banten Selatan, pesta rakyat bubur suro di Rancakalong.
3.        Folklor bukan Lisan (Non-verbal Folklore)
Folklor bukan lisan dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu (1) Materil yang terdiri atas arsitektur rakyat, seni kerajinan tangan, pakaian dan perhiasan, obat-obatan, makanan dan minuman, alat music, peralatan dan senjata tradisional, dan mainan; (2) non-materil yang terdiri atas bahasa isyarat (gestur) dan laras music.

D.      Berguru Karakter pada Sawer Panganten
Kata ‘sawer’ merupakan suatu tradisi dari nenek moyang orang Sunda secara turun temurun ketika seseorang memiliki hajatan pernikahan anaknya. Isi sawer merupakan pepatah dari orang tua kepada anaknya yang akan menjalani kehidupan baru, yakni berumah tangga. Pepatah (sawer) tersebut biasanya disampaikan atau dituturkan oleh juru sawer. Isi sawer berupa tuntunan berumah tangga, ajaran keagamaan, dan ajaran sopan santun antara suami istri.
Dalam ajaran agama, tradisi sawer tidaklah wajib untuk dilakukan. Namun, ia merupakan suatu adat atau tradisi yang biasa dilakukan oleh masyarakat. Hal yang harus dipersiapkan dalam acara sawer di antaranya sesaji berupa beras, telor ayam, daun sirih, macam-macam bunga, kunyit, dan permen. Masing-masing dari sesaji tersebut memiliki arti tersendiri. Beras melambangkan kebahagiaan karena banyak rejeki, telor melambangkan cikal bakal manusia dilahirkan, sirih melambangkan napsu dua calon pengantin dari keluarga berbeda, macam-macam bunga melam-bangkan harumnya pengantin yang menjadi panutan masyarakat, kunyit melam-bangkan keemasan dan keagungan sang pencipta, dan permen melambangkan manisnya budi pekerti atau sifat dari dua pengantin dalam berumah tangga.
Naskah sawer panganten (Desa Bojong Kecamatan Nagreg Kabupaten Bandung) pada umumnya terdiri atas tiga bagian: (1) pembuka (terdiri atas 6 bait); (2) isi (terdiri atas 89 bait); dan (3) penutup (biasanya berisi pupuh baik itu sinom maupun dangdang gula). Apabila kita kaji, di setiap bagian naskah sawer panganten, kita dapat menemukan berbagai macan nilai yang bisa kita aplikasikan dalam hidup. Setiap bagian dari sawer panganten memiliki penuturan yang khas sesuai dengan nilai yang terkandungnya seperti kutipan dibawah ini.

a)        Nilai Ketuhanan/Keagamaan
(20)
Ganjaran ti Maha Suci
Enggal atuh geura tampi
Ayeuna eulis ngahiji
Sakapeurih sakanyeri

Pahala dari Tuhan Yang Maha Suci
Cepatlah segera terima
Sekarang kamu bersatu
Seia sekata dalam suka dan duka




(23)
Lugina dunya aherat
Gusti maparinan rahmat
Kana waktu ulah elat
Disarengan silih hormat

Bahagia dunia akhirat
Tuhan memberikan rahmat
Pada waktu jangan lupa
Diikuti saling menghormati




(24)
Silih hormat ka sasama
Sing nyaah ka ibu rama
Lakonan parentah agama
Tangtuna hirup sugema

Saling hormat kepada sesama
Supaya kasih sayang kepada orangtua
Lakukan perintah agama
Niscaya hidup bahagia

Dari tiga bait di atas terungkap gagasan-gagasan pokok yang berkaitan dengan tema ketuhanan/keagamaan. Bait (20) mengungkap persoalan bahwa segala perbuatan yang dilakukan manusia di dunia ini niscaya akan mendapatkan ganjaran yang setimpat dari Allah  SWT. Bait (23) mengungkap persoalan bahwa dalam kehidupan di dunia manusia jangan melupakan kewajiban shalat agar hidupnya mendapatkan rahmat. Demikian juga pada bait (24) yang mengungkap persoalan bahwa agar hidup di dunia sempurna kita jangan lupa menjalankan perintah agama dan selalu hormat kepada orangtua serta sesama insan. Persoalan-persoalan tersebut berkaitan dengan aspek-aspek ajaran  keagamaan/ketuhanan  dan  menjadi gagasan pokok yang dibicarakan dalam bait sawer tersebut.

b)       Nilai Budi Pekerti/Moral
(6)
Tigin eulis kumawula
Ka raka ulah bahula
Bisi raka meunang bahla
Kudu bisa silih bela

Setia kamu meladeni/mengurus
Kepada suami jangan menentang
Nanti suami mendapat celaka
Harus dapat saling membela




(16)
Saban poe ulah lali
Titih rintih suci ati
Tembongkeun sing bear budi
Ciri nyaah ka salaki

Setiap hari jangan lupa
Berhati-hati dalam hati
Perlihatkan agar berperangai baik
Tanda kasih sayang kepada suami




(43)
Mun akur ka sadayana
Tembongkeun budi basana
Nu bener tingkah polahna
Supaya hirup sampurna

Kalau rukun kepada semuanya
Pelihatkan budi bahasanya
Yang benar tingkah lakunya
Supaya hidup sampurna

Dari tiga bait di atas terungkap gagasan-gagasan pokok tentang budi pekerti/moral. Bait (6) mengungkap persoalan bahwa dalam berumah tangga keduanya (istri dan suami) harus setia terhadap janji dan juga harus saling membela jika berada dalam kesulitan. Bait (16) mengungkap persoalan bahwa dalam kehidupan sehari-hari di rumah tangga harus selalu menunjukkan budi pekerti yang luhur. Demikian juga pada bait (43) yang mengungkap persoalan bahwa agar hidup di dunia sempurna kita harus selalu menunjukkan tingkah laku dan berbahasa yang sopan agar hidup tentram dan nyaman. Persoalan-persoalan tersebut berkaitan dengan aspek-aspek ajaran budi pekerti/moral dan menjadi gagasan pokok yang dibicarakan dalam bait sawer tersebut.

c)        Nilai Kecerdasan
Nilai kecerdasan dapat diartikan sebagai ukuran tingkah laku manusia tentang kepandaian dan ketajaman pikiran yang harus dipertahankan dalam pola kehidupan bermasyarakat. Berikut ini bait-bait sawer yang mengandung nilai didaktis aspek kecerdasan yang terdapat pada 89 bait naskah Sawer Pengantin dari Desa Bojong Kecamatan Nagreg Kabupaten Bandung.
(35)
Gusti Allah nu kawasa
Ngayakeun dunya tiasa
Pepek eusi dunya rosa
Sayagi pikeun manusa

Gusti Allah yang berkuasa
Mengadakan dunia bisa
Dengan segala isi dunia
Disediakan buat manusia




(36)
Manusa mahluk punjulna
Pinter pangabisana
Ngakalan eusi dunyana
Nu kantun tumarimana

Manusia makhluk tertinggi
Pintar ilmu pengetahuan
Memikirkan isi dunia
Yang tinggal hanya berterimanya

Dari dua bait sawer di atas dapat terungkap nilai-nilai didaktis yang berkaitan dengan aspek kecerdasan. Pada bait (35) terungkap bahwa Allah yang Maha Kuasa menciptakan alam dunia ini dengan segala isinya yang diperuntukkan  bagi umat manusia. untuk memanfaatkannya maka manusia harus mampu mengolah dan memanfaatkan dengan kecerdasan dan ilmu pengetahuan yang dianugrahkan Allah kepada manusia. Demikian juga pada bait (36) terungkap sebuah nilai kecerdasan yaitu bahwa manusia diberi akal pikiran yang lebih jika dibandingkan dengan makhluk lainnya di dunia ini. Karena itulah manusia harus mampu menggunakan akal kelebihannya itu untuk kehidupan di dunia.
Berdasarkan analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam naskah Sawer Pengantin terdapat nilai-nilai didaktis yang berkaitan dengan aspek kecerdasan, yaitu nilai-nilai yang berkaitan dengan bagaimana ukuran tingkah laku manusia dalam menggunakan kepandaian dan ketajaman pikiran dalam menjalani kehidupan di masyarakat.

d)       Nilai Ilmiah
Nilai ilmiah dapat diartikan sebagai ukuran tingkah laku manusia tentang berpikir yang didasarkan ilmu pengetahuan yang harus dipertahankan dalam kehidupan di masyarakat. Sebagai gambaran nilai-nilai ilmiah dalam naskah sawer pengantin dapat dilihat pada bait sawer berikut ini.
(12)
Mun catur sing seueur bukur
Ulah ngan kalah ka saur
Napsuna ulah takabur
Hirup resep loba batur

Kalau bicara banyak nyata
Jangan hanya bicara saja
Sapsunya jangan sombong
Hidup suka banyak teman




(34)
Boga rasa kudu ngarti
Tata titi surti ati
Kudu silih beuli ati
Pikiran dadamelan gusti

Punya rasa harus mengerti
Prilaku mawas diri
Harus saling menyenangkan hati
Ingatkan ciptaan Tuhan

Dari  dua   bait  sawer  di atas  terungkap  nilai-nilai  didaktis yang berkaitan dengan aspek ilmiah, yaitu bagaimana manusia bisa berpikir tentang kehidupan bermasyarakat yang didasarkan pada konsep ilmu pengetahuan. Pada bait (12) terungkap sebuah nilai keilmuan yaitu bahwa dalam kehidupan bermasyarakat jangan hanya pintar berbicara tetapi harus dibuktikan dengan hasil pekerjaan yang tentu saja memerlukan ilmu pengetahuan. Demikian pula halnya, pada bait (34) terungkap sebuah nilai keilmuan yaitu bahwa manusia sebagai ciptaan Tuhan harus mampu menggunakan ilmu pengetahuannya untuk mengolah segala sesuatu di sekeliling kehidupannya.
Berdasarkan bait sawer di atas dapat disimpulkan bahwa dalam naskah Sawer Pengantin terdapat nilai-nilai didaktis yang berkaitan dengan aspek keilmuan, yaitu nilai-nilai yang berkaitan dengan bagaimana ukuran tingkah laku manusia dalam berpikir yang didasarkan ilmu pengetahuan yang harus dipertahankan dalam kehidupan di masyarakat.
Selain keempat nilai yang terkandung dalam naskah Sawer Pengantin di atas, masih terdapat nilai-nilai lain yang bisa kita kaji dan diaplikasikan dalam pendidikan karakter. Hanya kemauan kitalah yang biasanya menjadi tantangan terbesar dalam menggali nilai-nilai tersebut.

E.       Purnawacana
Betapa banyak hal yang dapat kita ambil dari ragam budaya yang ada di Indonesia. Salah satu yang bisa kita jadikan sebagai bahan perenungan adalah banyaknya kearifan-kearifan lokal yang berupa folklor yang memiliki nilai filosofis yang tinggi baik itu berupa karya sastra tertulis maupun lisan. Bahkan kearifan-kearifan lokal itu sempat menjadi azas kehidupan dan falsafah hidup di masyarakat.
Kecenderungan masyarakat Indonesia pada saat ini, lebih condong pada kebudayaan-kebudayaan yang datang dari luar negara ini. Hal ini akan mengelupas instisari budaya sendiri, dan diganti dengan kebudayaan luar, yang akhirnya bangsa ini akan kehilangan jati diri yang sebenarnya. Hal ini dapat dikatakan bahwa bangsa ini telah mengalami “evolusi” kehidupan yang modern.
Sebagai salah satu contoh kearifan lokal (folklore) yang dapat dijadikan falsafah hidup, kita dapat melihat budaya sawer panganten yang terdapat di tatar Sunda. Budaya seperti ini akan menumbuhkan nilai karakter, baik dari sisi ketuhanan, moral, keerdasan, maupun keilmiahan. Dengan hal ini pula, masyarakat secara tidak langsung telah dididik dirinya untuk dapat menjalani hidup dengan lebih baik, serta memiliki jati diri.

F.       Pustaka Rujukan
Adimihardja, Kusnaka. 1999. Mendayagunakan Kearifan Tradisi dalamPertanian yang Berwawasan Lingkungan dan Berkelanjutan, Artikel dalam Petani, Merajut Tradisi Era Globalisasi Bandung: HUP
Adimihardja, Kusnaka. 1999. Pupuhunan: Simbol Kesatuan Makro-Mikrokosmos di Kalangan Warga Kasepuhan di Gunung Halimun Jawa Barat, Artikel dalam Petani, Merajut Tradisi Era Globalisasi Bandung: HUP
Danandjaja, James. 2007. Folklor Indonesia. Jakarta : Graffiti Press
Rusyana, Yus. 1981. Sastra Lisan Nusantara. Bandung: Bandung: CV.Dipenogoro.
Rusyana, Yus. 1978. Sastra Lisan Sunda. Jakarta : Pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa Indonesia
Rusyana. Yus. 1984. Metode Pengajaran sastra. Bandung: Gunung Larang.
Semi, M. Atar. 1990. Metode Penelitian Sastra, Bandung: Angkasa
Soekanto, S. 1998. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali P
Supendi, Usman. 2006. Folklore Sunda. Makalah perkuliahan. Universitas Islam Nusantara Bandung
Suyanto. 2009. Urgensi Pendidikan Karakter. www.andikdasmen.depdiknas.go.id/web/pages/urgensi.html.
Zuchdi, Darmiyati. 2011. Pendidikan Karakter dalam Perspektif Teori dan Praktik. Yogyakarta: UNY Press.
Zuhlan, Najib. 2011. Pendidikan Berbasis Karakter. Surabaya: JePe Press Media Utama

Sabtu, 22 Oktober 2011

PENELITIAN PRAGMATIK TERKAIT TINDAK TUTUR PERMINTAAN

 A.    Purwawacana
Apa itu bahasa? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya jika kita memperhatikan beberapa pengertian bahasa tersebut berdasarkan  pengertian umum dengan melihat kamus umum, sebagai istilah linguistik dengan melihat kamus linguistik, dan menyimak aneka pendapat para ahli dari latar belakang yang berbeda. Dalam kamus umum, dalam hal ini Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1990: 66) bahasa diartikan sebagai  sistem lambang bunyi  berartikulasi  yang bersifat sewenang-wenang dan konvensional  yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran. Kamus Webster mendefinisikan bahasa sebagai A systematic means of communication ideas or feeling by the use of communication sign, sounds, gestures, or mark having understood meanings.
Dari dua makna umum tentang bahasa di atas,  ada persamaan yang jelas. Persamaan itu adalah bahwa bahasa ditempatkan sebagai alat komunikasi antarmanusia untuk mengungkapkan pikiran atau perasaan dengan menggunakan simbol-simbol komunikasi baik yang berupa suara, gestur (sikap badan), atau tanda-tanda berupa tulisan.
Sebagai sebuah istilah dalam linguistik, Kridalaksana (1993:21) mengartikannya sebagai sebuah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat  untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Pei dan Gaynor (1975:119) mengatakan bahwa bahasa adalah A system of communication by sound, i.e., through the organs of speech and hearing, among human beings of certain group or community, using vocal symbols possessing arbitrary conventional meaning.Dari pandangan ahli linguistik seperti Kridalaksana, Pei, dan Gaynor di atas, bahasa ditekankan sebagai sebuah sistem lambang. Istilah sistem mengandung makna adanya keteraturan dan adanya unsur-unsur pembentuk.
Jalaludin Rakhmat (1992:269), seorang pakar komunikasi, melihat bahasa dari dua sisi yaitu sisi formal dan fungsional.  Secara formal,  bahasa diartikan sebagai semua kalimat yang terbayangkan, yang dibuat menurut tatabahasa. Sedangkan secara fungsional, bahasa diartikan  sebagai alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan. Definisi yang diajukan Rakhmat ini tampak mencoba merangkum pengertian umum dengan pendapat linguis. Istilah sisi formal yang dikemukakan Rakhmat mirip dengan istilah sistem, sedangkan sisi fungsional  sejalan dengan bahasa sebagai alat komunikasi. 
Pemahaman bahwa bahasa sebagai alat komunikasi, juga didukung oleh seorang sosiolinguis bernama Ronald Wardhaugh. Ia menyatakan bahwa bahasa adalah A System of aribtrary vocal symbols used for human communication
Penggambaran yang lebih luas tentang bahasa pernah disampaikan oleh bapak linguistik modern, Ferdinan de Saussure. Ia menjelaskan bahasa dengan menggunakan tiga istilah yaitu langage,Langue, dan parole. Ketiga istilah dari bahasa Prancis itu dalam bahasa Indonesia dipadankan dengan satu istilah saja yaitu ‘bahasa’.Langage adalah sistem lambang bunyi yang digunakan untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara verbal. Langage ini bersifat abstrak.  Istilah langue mengacu pada sistem lambang bunyi tertentu yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu. Sedangkan parole adalah bentuk konkret langue yang digunakan dalam bentuk ujaran atau tuturan oleh anggota masyarakat dengan sesamanya (Chaer, 1995:39-40; Chambers, 1995:25; Verhaar, 1981:1).
Definisi lain tentang bahasa, antara lain bisa kita dapat dari Finochiaro. Meskipun tidak terlalu berbeda dengan definisi-definisi di atas, ia  memasukkan kaitan  bahasa sebagai bentuk budaya. Ia menyatakan  bahwa  Language is a system of arbitrary, vocal sumbols which permits all peaple in a given culture, or other peaple who have learned the system of  the culture, to communicate or to interact.
Dari sudut pandang psikologi, karena bahasa itu sebuah sistem simbol terstruktur, maka bahasa bisa dipakai sebagai alat berpikir, merenung, bahkan untuk memahami segala sesuatu. De Vito menyatakan bahwa bahasa adalah  A potentially self-reflective, structired system of symbols which catalog the objects, events, and relation in the world .
Fungsi bahasa yang utama adalah sebagai alat komunikasi. Jika fungsi itu dikaitkan dengan budaya maka bahasa berfungsi sebagai sebagai sarana  perkembangan kebudayaan, jalur penerus kebudayaan, dan inventaris ciri-ciri kebudayaan. Jika dikaitkan dengan kehidupan sosial, maka bahasa berfungsi sebagai bahasa nasional, yaitu lambang kebanggaan kebangsaan, lambang identitas bangsa, alat pemersatu, dan alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya. Sebagai bahasa kelompok, bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi dan interaksi sehari-hari dalam kelompok itu. Dari sisi perorangan, bahasa memiliki fungsi instrumental, menyuruh (regulatory), kepribadian, pemecahan masalah, dan khayal.
Masalah umum di dalam teori pemakaian bahasa, memungkinkan membangun minat yang paling luas dalam tindak ujar. Para psikolog, sebagai contoh mengusulkan untuk mengadakan konsep yang mendasari tindak ujar sebagai suatu syarat untuk pengadaan bahasa secara umum. (Bruner, 1975., Bates, 1976). Para filosofis sudah melihat aplikasi potensial mengenai sesuatu hal yaitu estetika (Searle 1969: 8), para ahli bahasa lain sudah melihat beberapa masalah tindak ujar yang dapat digunakan dalam sintaksis, semantik, pragmatik. Pragmatik harus meliputi minat bahasa yang besar yang merupakan subjeknya.
Telaah mengenai bagaimana cara kita melakukan sesuatu dengan memanfaatkan kalimat-kalimat adalah telaah mengenai tindak ujar. Dalam menelaah tindak ujar, kita harus menyadari benar-benar betapa pentingnya konteks ucapan/ungkapan.Adanya kesalahan-kesalahan berbahasa dikarenakan kekurangpahaman mereka akan cara berbahasa yang baik dan benar.

B.     KonsepDasarPenelitian Pragmatik
Belajar pragmatik pada hakikatnya adalah belajar komunikasi. Oleh karena itu, pembelajaran pragmatik diarahkan untuk meningkatkan kemampuan pebelajar dalam berkomunikasi, baik lisan maupun tulis (Depdikbud, 1995). Seorang filosof dan ahli logika Carnap (1938) menjelaskan bahwa pragmatik mempelajari konsep-konsep abstrak. Pragmatik mempelajari hubungan konsep yang merupakan tanda. Selanjutnya Montague mengatakan bahwa pragmatik adalah studi mengenai „idexical“ atau „deictic“. Dalam pengertian ini pragmatik berkaitan dengan teori rujukan atau deiksis, yaitu pemakaian bahasa yang menunjuk pada rujukan tertentu menurut pemakaiannya. Pragmatik merupakan salah satu bidang kajian linguistik, bidang yang merupakan penelitian bagi para ahli bahasa. Pragmatik yang dimaksud sebagai bahan pengajaran bahasa atau yang disebut fungsi komunikatif, biasanya disajikan dalam ajaran bahasa asing.
Levinson (1983) dalam bukunya yang berjudul Pragmatics, memberikan beberapa batasan tentang pragmatik. Beberapa batasan yang dikemukakan Levinson antara lain mengatakan bahwa pragmatik adalah kajian hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa. Dalam batasan ini berarti untuk memahami pemakaian bahasa kita dituntut memahami pula konteks yang mewadahi pemakaian bahasa tersebut. Batasan lain yang dikemukakan Levinson mengatakan bahwa pragmatik adalah kajian tentang kemampuan pemakai bahasa untuk mengaitkan kalimat-kalimat dengan konteks yang sesuai bagi kalimat-kalimat itu.
Suatu penelitian dilaksanakan untuk memperoleh hasil yang ingin dicapai dengan metode-metode ilmiah secara objektif dan bukan subjektif. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, metode ilmiah harus digunakan sebagai cara dalam mencapai tujuan. Kurun pemecahan masalah penelitian meliputi beberapa tahapan, yaitu tahapan penyediaan data, tahap analisis data, dan tahap penyajian analisis data. Data dalam penelitian pragmatic berupa tuturan dalam bentuk lisan maupun tertulis pada konteks tertentu.

C.    RancanganPenelitianPragmatikterkaitRealisasiTindakTuturPermintaan
Data dalam penelitian data diperoleh dari berbagai sumber yang disebut sumber data. Sumber data dalam kajian linguistic menurut sifatnya dapat bersifat lisan dan tulis. Dalam penelitian pragmatic sumber data lisan yaitu tuturan yang dipergunakan oleh penutur dan lawan tutur ketika berdialog, berinteraksi, dan berkomunikasi yang dapat diperoleh dari kehidupan sehari-hari. Sumber data lisan yang tidak alami dapat diperoleh dari film.
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, ada tiga macam metode menurut tahapannya yaitu (1) metode pengumpulan data, (2) metode analisis data, dan (3) metode penyajian hasil analisis data. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data yang bersumber pada data lisan adalah metode simak yang dilanjutkan dengan teknik rekam dan catat. Metode simak adalah metode pengumpulan data oleh seorang peneliti dengan cara menyimak penggunaan bahasa, biasanya dilanjutkan dengan teknik rekam dan catat. Sebagai contoh, apabila kita hendak melakukan penelitian mengenai pragmatic terkait realisasi tindak tutur permintaan, ada beberapa hal yang harus kita perhatikan.
Pertama, apa yang menjadi tujuan penelitian? Tujuan penelitian ini terkait dengan hasil yang akan kita dapatkan dalam penelitian. Pada hakikatnya, penelitian ini dilakukan untuk mengenal sifat-sifat khas seseorang terkait dengan budayanya. Terdapat dua kaidah yang paling menentukan pada pola pergaulan dalam masyarakat, (1) dalam setiap situasi manusia hendaknya bersikap dan berbahasa sopan sehingga tidak menimbulkan konflik, (2)menuntut agar manusia dalam berbicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap sopan dan hormat terhadap orang lain sesuai dengan derajat dan kedudukannya.
Kedua, bagaimana cara mengumpulkan datanya?, dalam penelitian seperti ini, teknik simak dan tes melengkapi wacana (TMW) atau discourse completion testdapat digunakan dalam mengumpulkan data dalam jumlah banyak karena penyediaan data secara alami untuk kajian pragmatic cukup sulit dan memerlukan rentang waktu yang lama. TMW dapat dibuat dengan instrument seperti kuesioner dan metode simak.
Ketiga, bagaimana prosedur pelaksanaan penelitiannya? Penelitian mengenai tuturan permintaan ini berasal dari observasi fenomena kebahasaan, yaitu penggunaan bahasa oleh si penutur. Fenomena kebahasaan ini berupa realita bahwa kecenderungan tuturan dipengaruhi oleh latar belakang budaya dan perwujudan tuturan sangat dipengaruhi oleh perbedaan usia serta tingkat kenal penutur dan lawan tuturnya. Dengan demikian prosedur penelitian dapat diurutkan sebagai berikut.
  1. Menggali, mengkaji, dan mendalami sifat khas penutur terkait dengan kesopanan berbahasa.
  2. Menggali, mengkaji, dan mendalami kajian teoretis kesopanan berbahasa.
  3. Mengumpulkan data lisan maupun tulis tuturan dari sumber data. Data lisan direkam dan dicatat dari tuturan langsung dengan konteks yang jelas, sedangkan data tulisdiambil dari tes melengkapi wacana.
 
D.    Mengubah Data menjadiKorpus Data
Kesulitan yang biasa dihadapi peneliti pemula adalah pada tahap penyajian data dan mengubah data menjadi korpus data. Berikut ini adalah contoh penyajian data dan pengubahan data menjadi korpus data.
1)      Mentranskripsikan data rekaman
2)      Menerjemahkan hasil rekaman yang berbahasa daerah (jikaada)
3)      Mendeskripsikan karakteristik penggunaan bahasa dari masing-masing data
4)      Menariksimpulan
Data yang dikumpulkan tersebut apabila diubah menjadi korpus data dapat berbentuk seperti berikut.
DATA 1

1.        Lokasi Percakapan                         :………………………………
2.        Suasana Percakapan                       :………………………………
3.        Keadaan emosi percakapan            :………………………………
4.        Identitas Penutur
Gender                              :………………………………
Umur                                 :………………………………
Pekerjaan                          :………………………………
Domisili                             :………………………………
Daerah Asal                      :………………………………
Bahasa sehari-hari             :………………………………
5.        Identitas Lawan tutur
Gender                              :………………………………
Umur                                 :………………………………
Pekerjaan                          :………………………………
Domisili                             :………………………………
Daerah Asal                      :………………………………
Bahasa sehari-hari             :………………………………
6.        Hubungan Penutur dan LawanTutur            :…………………………………..

TUTURAN 1
……………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………

Konteks:
……………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………


E.     PustakaRujukan
Degeng, I.N.S. 1997. Strategi Pembelajaran Mengorganisasi Isi dengan Model Elaborasi. Malang: IKIP dan IPTDI
Holden, Jolly T. Westfall, Phillip J. 2009. An Instructional Media Selection Guide for Distance Learning-Implications for Blended Learning featuring an Introduction to Virtual World. United States of America: USDLA
Lee, Kwuang-wu. 2000. English Teachers’ Barriers to the Use of Computer-assisted Language Learning. The Internet TESL Journal, Vol. VI, No. 12, December 2000.
Rosenberg, Marc Jeffrey. 2001. E-learning : Strategies for Delivering Knowledge in the Digital Age (ebook version). New York: McGraw-Hill Professional.
Rosen, Anita. 2009. E-learning 2.0 : Proven Practices and Emerging Technologies to Achieve Results. New York: American Management Association.
Wallington, C.J. 1996. Media production: Production of Still Media. Plomp, T., & Ely, D.P. (Eds.): International Encyclopedia of Educational Technology, 2nd edition. New York: Elsevier Science, Inc.
Yule, George. 1996. Pragmatik. Yogyakarta: PustakaPelajar.