A. Purwawacana
Dalam khazanah budaya bangsa, di berbagai daerah banyak tersebar bentuk sastra lisan, yang antara lain dapat berupa mite, legenda, dongeng, termasuk juga pantun. Cerita-cerita tersebut menurut Rusyana (1981:1) termasuk bentuk sastra lisan karena penyebarannya dalam bentuk tidak tertulis, bersifat anonim, dan disampaikan dengan bahasa mulut. Selain itu, cerita rakyat tidak mempunyai bentuk yang tetap dan memiliki banyak variasi bergantung kepada keahlian bercerita penuturnya.
Keberadaan cerita bentuk sastra lisan dalam kurun waktu sekarang ini ada yang sudah dipublikasikan dan dikenal oleh masyarakat luas, ada pula yang belum dikenal, atau bahkan terdapat di antaranya sastra lisan yang hampir punah. Kondisi demikian memunculkan kekhawatiran putusnya mata rantai kebudayaan di Nusantara. Begitu pula halnya dengan sastra lisan yang berkembang di tatar Sunda yang konon memiliki banyak sastra lisan.
Salah satu bentuk sastra lisan yang berkembang di tatar Sunda adalah jenis sawer. Sastra lisan bentuk sawer ini sebenarnya sudah banyak dikenal oleh penduduk atau masyarakat pada umumnya. Namun mereka hanya mengenal sawer hanya sebatas dinyanyikan (ditembangkeun), sedangkan isi cerita sawer kadang kurang dipahami, apalagi bagi anak-anak usia sekolah masih sulit memahaminya padahal dalam tembang sawer ini penuh dengan nasihat sebagai bentuk kepedulian dalam membangun karakter, khususnya dalam berumah tangga.
Kondisi masyarakat dewasa ini sangat memprihatinkan. Perkelahian, pembunuhan, kesenjangan sosial, ketidakadilan, perampokan, korupsi, pelecehan seksual, penipuan, fitnah terjadi di mana-mana. Hal itu dapat diketahui lewat berbagai media cetak atau elektronik, seperti surat kabar, televisi atau internet. Bahkan, tidak jarang kondisi seperti itu dapat disaksikan secara langsung di tengah masyarakat.
Keprihatinan terhadap kondisi masyarakat yang demikian itu, menumbuhkan semangat untuk mengkaji sebabnya dan mencari pemecahannya. Penelitian dan seminar mengenai masalah itu telah berkali-kali yang diselenggarakan oleh berbagai instansi, baik pemerintah maupun swasta. Ujungnya adalah persamaaan persepsi terhadap pentingnya menggalakkan pendidikan karakter.
Respon masyarakat terhadap pendidikan karakter berbeda-beda. Di kalangan kelompok pendidik muncul pendapat tentang perlunya pendidikan budi pekerti, sedangkan agamawan memandang perlunya penguatan pendidikan agama. Mereka yang berkecimpung di bidang politik mengusulkan revitalisasi pendidikan Pancasila. Dalam hal ini, Kemendiknas telah merespon berbagai pendapat itu dengan membentuk Tim Pengembang Pendidikan Karakter. Mungkin sudah saatnya kita kembali pada kearifan-kearifan lokal yang terdapat dalam cerita rakyat yang merupakan produk budaya yang luhur. Tidak ada salahnya kalau kita kembali menggali nilai karakter yang ada dalam kearifan lokal itu.
B. Ihwal Karakter
Karakter menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti. Karakter dapat diartikan sebagai tabiat, yaitu perangai atau perbuatan yang selalu dilakukan atau kebiasaan. Suyanto (2009) mendefinisikan karakter sebagai cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun negara. Pritchard (1988: 467) mendefisikan karakter sebagai sesuatu yang berkaitan dengan kebiasaan hidup individu yang bersifat menetap dan cenderung positif.
Karakter sebagai akhlak dapat bersifat positif atau negatif. Dalam pandangan agama terdapat akhlakul karimah (ahlak yang mulia) dan akhlakul madmumah (akhlak tercela). Dalam akhlakul karimah tercakup 22 sifat terpuji, yaitu (1) sederhana, (2) rendah hati, (3) giat bekerja, (4) jujur, (5) memenuhi janji, (6) terpercaya, (7) konsisten/istiqomah, (8) berkemauan keras, (9) suka berterima kasih, (10) satria, (11) tabah, (12) lemah lembut, (13) ramah dan simpatik, (14) malu, (15) bersaudara, (16) belas kasih, (17) suka menolong, (18) menjaga kehormatan, (19) menjauhi syubhat, (20) pasrah kepada Allah, (21) berkorban untuk orang lain, (22) payayang. Sementara itu, lawan dari sifat-sifat terpuni itu termasuk akhlakul madmumah, seperti boros, sombong, malas.
Menurut Zulhan (2010: 2-5) karakter ada dua yaitu karakter positif baik (sehat) dan karakter buruk (tidak sehat). Tergolong karakter sehat yaitu (1) afiliasi tinggi: mudah menerima orang lain sebagai sahabat, toleran, mudah berkerja sama, (2) power tinggi: cenderung menguasai teman-temannya dalam arti positif (pemimpin); (3) achieve: selalu termotivasi untuk berprestasi (4) asserte: lugas, tegas, tidak banyak bicara, (5) adventure: suka petualangan, suka mencoba hal baru. Sementara itu, karakter kurang sehat yaitu (1) nakal: suka membuat ulah, memancing kemarahan, (2) tidak teratur, tidak teliti, tidak cermat, meskipun kadang tidak disadari, (3) provokator: cenderung membuat ulah, mencari gara-gara, ingin mencari perhatian, (4) penguasa: cenderung menguasai teman-teman, mengintimidasi, (5) pembangkang: bangga kalau berbeda dengan orang lain, tidak ingin melakukan hal yang sama dengan orang lain, cenderung membangkang.
Pusat Kurikulum Kementerian Pendidikan Nasional (2011:10) telah merumuskan materi pendidikan karakter yang mencakup aspek-aspek sebagai berikut: (1) religius, (2) jujur, (3) toleran, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat atau komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, tanggung jawab. Sementara itu, Suyanto (2009) berpendapat ada sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu (1) cinta kepada Tuhan dan segenap ciptaannya, (2) kemandirian dan tanggung jawab, (3) kejujuran/amanah, diplomatis, (3) hormat dan santun, (5) dermawan, suka menolong dan gotong royong/kerja sama, (6) percaya diri dan pekerja keras (7) kepemimpinan dan keadilan, (8) baik dan rendah hati, (9) toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
C. Cerita Rakyat, Kebudayaan, dan Folklore
Kata kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta, yakni buddhayah yang merupakan bentuk jamak kata buddhi yang betarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal budi. Adapun istilah culture yang merupakan istilah asing yang sama artinya dengan kebudayaan, berasal dari kata Latin colere. Artinya mengolah atau mengerjakan, yaitu mengolah tanah atai bertani. Dari asal arti tersebut yaitu colere kemudian culture, diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam.
Menurut E.B. Taylor dalam Soekanto (1998:188), kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan lain kemampuan-lemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota mastarakat.
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi dalam Soekanto (1998:189), merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Karya manusia menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat.
Istilah folklore mulai muncul pada abad kedelapan belas. Istilah ini dimunculkan oleh Ambrose Merton yang menulis sebuah artikel di majalah Athenaeum No. 982 tanggal 22 Agustus 1846. dalam majalah tersebut, Merton menciptakan istilah folklore untuk sopan santun Inggris, takhayul, balada, dan tentang masa lampau. William John Thoms, nama asli Ambrose Merton, yang juga seorang ahli kebudayaan antik asal Inggris, mengukuhkan folklore sebagai istilah baru dalam kebudayaan.
Secara etimologi, folk memiliki makna kolektif, atau ciri pengenalan fisik atau kebudayaan yang sama dalam masyarakat, sedangkan lore merupakan tradisi dari folk. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003: 319), folklor memiliki makna adat istiadat tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan secara turun temurun, tetapi tidak dibukukan. Sedikit bebeda dengan pendapat Dananjaya (1997: 2) folklore adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).
Folklore memiliki karateristik tersendiri yang membuatnya memiliki kedudukan yang berbeda dengan kebudayaan yang lainnya. Dananjaya (1997: 3) mengatakan bahwa ciri-ciri pengenal utama pada folklor bisa dirumuskan sebagai berikut.
1. Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut.
2. Folklor bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar.
3. Folklor ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda. Hal ini diakibatkan oleh cara penyebarannya dari mulut ke mulut (lisan), biasanya bukan melalui cetakan atau rekaman, sehingga oleh proses lupa diri manusia atau proses interpolasi.
4. Folklor bersifat anonim, yaitu nama penciptanya tidak diketahui orang lagi.
5. Folklor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola. Dan selalu menggunakan kata-kata klise.
6. Folklor mempunyai kegunaan sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan yang terpendam.
7. Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum. Ciri pengenalan ini terutama berlaku bagi folklor lisan dan setengah lisan.
8. Folklor menjadi milik bersama (kolektif) dari kolektif tertentu. Hal ini sudah tentu diakibatkan karena penciptanya yang pertama sudah tidak diketahui lagi, sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya.
9. Folklor pada umumnya bersifat spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak folklor yang merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur manifestasinya.
Pada hakikatnya, folklor dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis jika dilihat dari bentuk dan cara penyampaiannya. Jenis folklor yang dimaksud adalah.
1. Folklor Lisan (Verbal Folklore)
Folklor lisan biasanya berupa cerita prosa rakyat (dongeng), puisi rakyat, bahasa rakyat, ungkapan tradisional, pertanyaan tradisional, dan nyanyian rakyat. Dalam pengelompokkannya, dongeng terbagi menjadi tiga jenis, yakni, mite, legenda, dan dongeng biasa. Puisi rakyat biasanya berupa pantun atau jampijampi. Sedangkan bahasa rakyat akan membentuk sebuah dialek yang digunakan dalam masyarakat.
2. Folklor Setengah Lisan (Partly Folklore)
Folklor setengah lisan antara lain:(1) kepercayaan dan takhayul; (2) permainan dan hiburan rakyat; (3) drama rakyat, seperti wayang dan sandiwara tradisional; (4) tari; (5) adat atau tradisi, contohnya seperti tradisi upacara menanam padi, tradisi pernikahan atau tradisi orang hamil; (6) pesta rakyat, contohnya seperti pesta rakyat Kawaluan Baduy, pesta rakyat seba laut di pesisir pantai selatan, pesta rakyat seren taun di Kasepuhan Banten Selatan, pesta rakyat bubur suro di Rancakalong.
3. Folklor bukan Lisan (Non-verbal Folklore)
Folklor bukan lisan dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu (1) Materil yang terdiri atas arsitektur rakyat, seni kerajinan tangan, pakaian dan perhiasan, obat-obatan, makanan dan minuman, alat music, peralatan dan senjata tradisional, dan mainan; (2) non-materil yang terdiri atas bahasa isyarat (gestur) dan laras music.
D. Berguru Karakter pada Sawer Panganten
Kata ‘sawer’ merupakan suatu tradisi dari nenek moyang orang Sunda secara turun temurun ketika seseorang memiliki hajatan pernikahan anaknya. Isi sawer merupakan pepatah dari orang tua kepada anaknya yang akan menjalani kehidupan baru, yakni berumah tangga. Pepatah (sawer) tersebut biasanya disampaikan atau dituturkan oleh juru sawer. Isi sawer berupa tuntunan berumah tangga, ajaran keagamaan, dan ajaran sopan santun antara suami istri.
Dalam ajaran agama, tradisi sawer tidaklah wajib untuk dilakukan. Namun, ia merupakan suatu adat atau tradisi yang biasa dilakukan oleh masyarakat. Hal yang harus dipersiapkan dalam acara sawer di antaranya sesaji berupa beras, telor ayam, daun sirih, macam-macam bunga, kunyit, dan permen. Masing-masing dari sesaji tersebut memiliki arti tersendiri. Beras melambangkan kebahagiaan karena banyak rejeki, telor melambangkan cikal bakal manusia dilahirkan, sirih melambangkan napsu dua calon pengantin dari keluarga berbeda, macam-macam bunga melam-bangkan harumnya pengantin yang menjadi panutan masyarakat, kunyit melam-bangkan keemasan dan keagungan sang pencipta, dan permen melambangkan manisnya budi pekerti atau sifat dari dua pengantin dalam berumah tangga.
Naskah sawer panganten (Desa Bojong Kecamatan Nagreg Kabupaten Bandung) pada umumnya terdiri atas tiga bagian: (1) pembuka (terdiri atas 6 bait); (2) isi (terdiri atas 89 bait); dan (3) penutup (biasanya berisi pupuh baik itu sinom maupun dangdang gula). Apabila kita kaji, di setiap bagian naskah sawer panganten, kita dapat menemukan berbagai macan nilai yang bisa kita aplikasikan dalam hidup. Setiap bagian dari sawer panganten memiliki penuturan yang khas sesuai dengan nilai yang terkandungnya seperti kutipan dibawah ini.
a) Nilai Ketuhanan/Keagamaan
(20) | Ganjaran ti Maha Suci Enggal atuh geura tampi Ayeuna eulis ngahiji Sakapeurih sakanyeri | Pahala dari Tuhan Yang Maha Suci Cepatlah segera terima Sekarang kamu bersatu Seia sekata dalam suka dan duka | |
(23) | Lugina dunya aherat Gusti maparinan rahmat Kana waktu ulah elat Disarengan silih hormat | Bahagia dunia akhirat Tuhan memberikan rahmat Pada waktu jangan lupa Diikuti saling menghormati | |
(24) | Silih hormat ka sasama Sing nyaah ka ibu rama Lakonan parentah agama Tangtuna hirup sugema | Saling hormat kepada sesama Supaya kasih sayang kepada orangtua Lakukan perintah agama Niscaya hidup bahagia |
Dari tiga bait di atas terungkap gagasan-gagasan pokok yang berkaitan dengan tema ketuhanan/keagamaan. Bait (20) mengungkap persoalan bahwa segala perbuatan yang dilakukan manusia di dunia ini niscaya akan mendapatkan ganjaran yang setimpat dari Allah SWT. Bait (23) mengungkap persoalan bahwa dalam kehidupan di dunia manusia jangan melupakan kewajiban shalat agar hidupnya mendapatkan rahmat. Demikian juga pada bait (24) yang mengungkap persoalan bahwa agar hidup di dunia sempurna kita jangan lupa menjalankan perintah agama dan selalu hormat kepada orangtua serta sesama insan. Persoalan-persoalan tersebut berkaitan dengan aspek-aspek ajaran keagamaan/ketuhanan dan menjadi gagasan pokok yang dibicarakan dalam bait sawer tersebut.
b) Nilai Budi Pekerti/Moral
(6) | Tigin eulis kumawula Ka raka ulah bahula Bisi raka meunang bahla Kudu bisa silih bela | Setia kamu meladeni/mengurus Kepada suami jangan menentang Nanti suami mendapat celaka Harus dapat saling membela | |
(16) | Saban poe ulah lali Titih rintih suci ati Tembongkeun sing bear budi Ciri nyaah ka salaki | Setiap hari jangan lupa Berhati-hati dalam hati Perlihatkan agar berperangai baik Tanda kasih sayang kepada suami | |
(43) | Mun akur ka sadayana Tembongkeun budi basana Nu bener tingkah polahna Supaya hirup sampurna | Kalau rukun kepada semuanya Pelihatkan budi bahasanya Yang benar tingkah lakunya Supaya hidup sampurna |
Dari tiga bait di atas terungkap gagasan-gagasan pokok tentang budi pekerti/moral. Bait (6) mengungkap persoalan bahwa dalam berumah tangga keduanya (istri dan suami) harus setia terhadap janji dan juga harus saling membela jika berada dalam kesulitan. Bait (16) mengungkap persoalan bahwa dalam kehidupan sehari-hari di rumah tangga harus selalu menunjukkan budi pekerti yang luhur. Demikian juga pada bait (43) yang mengungkap persoalan bahwa agar hidup di dunia sempurna kita harus selalu menunjukkan tingkah laku dan berbahasa yang sopan agar hidup tentram dan nyaman. Persoalan-persoalan tersebut berkaitan dengan aspek-aspek ajaran budi pekerti/moral dan menjadi gagasan pokok yang dibicarakan dalam bait sawer tersebut.
c) Nilai Kecerdasan
Nilai kecerdasan dapat diartikan sebagai ukuran tingkah laku manusia tentang kepandaian dan ketajaman pikiran yang harus dipertahankan dalam pola kehidupan bermasyarakat. Berikut ini bait-bait sawer yang mengandung nilai didaktis aspek kecerdasan yang terdapat pada 89 bait naskah Sawer Pengantin dari Desa Bojong Kecamatan Nagreg Kabupaten Bandung.
(35) | Gusti Allah nu kawasa Ngayakeun dunya tiasa Pepek eusi dunya rosa Sayagi pikeun manusa | Gusti Allah yang berkuasa Mengadakan dunia bisa Dengan segala isi dunia Disediakan buat manusia | |
(36) | Manusa mahluk punjulna Pinter pangabisana Ngakalan eusi dunyana Nu kantun tumarimana | Manusia makhluk tertinggi Pintar ilmu pengetahuan Memikirkan isi dunia Yang tinggal hanya berterimanya |
Dari dua bait sawer di atas dapat terungkap nilai-nilai didaktis yang berkaitan dengan aspek kecerdasan. Pada bait (35) terungkap bahwa Allah yang Maha Kuasa menciptakan alam dunia ini dengan segala isinya yang diperuntukkan bagi umat manusia. untuk memanfaatkannya maka manusia harus mampu mengolah dan memanfaatkan dengan kecerdasan dan ilmu pengetahuan yang dianugrahkan Allah kepada manusia. Demikian juga pada bait (36) terungkap sebuah nilai kecerdasan yaitu bahwa manusia diberi akal pikiran yang lebih jika dibandingkan dengan makhluk lainnya di dunia ini. Karena itulah manusia harus mampu menggunakan akal kelebihannya itu untuk kehidupan di dunia.
Berdasarkan analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam naskah Sawer Pengantin terdapat nilai-nilai didaktis yang berkaitan dengan aspek kecerdasan, yaitu nilai-nilai yang berkaitan dengan bagaimana ukuran tingkah laku manusia dalam menggunakan kepandaian dan ketajaman pikiran dalam menjalani kehidupan di masyarakat.
d) Nilai Ilmiah
Nilai ilmiah dapat diartikan sebagai ukuran tingkah laku manusia tentang berpikir yang didasarkan ilmu pengetahuan yang harus dipertahankan dalam kehidupan di masyarakat. Sebagai gambaran nilai-nilai ilmiah dalam naskah sawer pengantin dapat dilihat pada bait sawer berikut ini.
(12) | Mun catur sing seueur bukur Ulah ngan kalah ka saur Napsuna ulah takabur Hirup resep loba batur | Kalau bicara banyak nyata Jangan hanya bicara saja Sapsunya jangan sombong Hidup suka banyak teman | |
(34) | Boga rasa kudu ngarti Tata titi surti ati Kudu silih beuli ati Pikiran dadamelan gusti | Punya rasa harus mengerti Prilaku mawas diri Harus saling menyenangkan hati Ingatkan ciptaan Tuhan |
Dari dua bait sawer di atas terungkap nilai-nilai didaktis yang berkaitan dengan aspek ilmiah, yaitu bagaimana manusia bisa berpikir tentang kehidupan bermasyarakat yang didasarkan pada konsep ilmu pengetahuan. Pada bait (12) terungkap sebuah nilai keilmuan yaitu bahwa dalam kehidupan bermasyarakat jangan hanya pintar berbicara tetapi harus dibuktikan dengan hasil pekerjaan yang tentu saja memerlukan ilmu pengetahuan. Demikian pula halnya, pada bait (34) terungkap sebuah nilai keilmuan yaitu bahwa manusia sebagai ciptaan Tuhan harus mampu menggunakan ilmu pengetahuannya untuk mengolah segala sesuatu di sekeliling kehidupannya.
Berdasarkan bait sawer di atas dapat disimpulkan bahwa dalam naskah Sawer Pengantin terdapat nilai-nilai didaktis yang berkaitan dengan aspek keilmuan, yaitu nilai-nilai yang berkaitan dengan bagaimana ukuran tingkah laku manusia dalam berpikir yang didasarkan ilmu pengetahuan yang harus dipertahankan dalam kehidupan di masyarakat.
Selain keempat nilai yang terkandung dalam naskah Sawer Pengantin di atas, masih terdapat nilai-nilai lain yang bisa kita kaji dan diaplikasikan dalam pendidikan karakter. Hanya kemauan kitalah yang biasanya menjadi tantangan terbesar dalam menggali nilai-nilai tersebut.
E. Purnawacana
Betapa banyak hal yang dapat kita ambil dari ragam budaya yang ada di Indonesia. Salah satu yang bisa kita jadikan sebagai bahan perenungan adalah banyaknya kearifan-kearifan lokal yang berupa folklor yang memiliki nilai filosofis yang tinggi baik itu berupa karya sastra tertulis maupun lisan. Bahkan kearifan-kearifan lokal itu sempat menjadi azas kehidupan dan falsafah hidup di masyarakat.
Kecenderungan masyarakat Indonesia pada saat ini, lebih condong pada kebudayaan-kebudayaan yang datang dari luar negara ini. Hal ini akan mengelupas instisari budaya sendiri, dan diganti dengan kebudayaan luar, yang akhirnya bangsa ini akan kehilangan jati diri yang sebenarnya. Hal ini dapat dikatakan bahwa bangsa ini telah mengalami “evolusi” kehidupan yang modern.
Sebagai salah satu contoh kearifan lokal (folklore) yang dapat dijadikan falsafah hidup, kita dapat melihat budaya sawer panganten yang terdapat di tatar Sunda. Budaya seperti ini akan menumbuhkan nilai karakter, baik dari sisi ketuhanan, moral, keerdasan, maupun keilmiahan. Dengan hal ini pula, masyarakat secara tidak langsung telah dididik dirinya untuk dapat menjalani hidup dengan lebih baik, serta memiliki jati diri.
F. Pustaka Rujukan
Adimihardja, Kusnaka. 1999. Mendayagunakan Kearifan Tradisi dalamPertanian yang Berwawasan Lingkungan dan Berkelanjutan, Artikel dalam Petani, Merajut Tradisi Era Globalisasi Bandung: HUP
Adimihardja, Kusnaka. 1999. Pupuhunan: Simbol Kesatuan Makro-Mikrokosmos di Kalangan Warga Kasepuhan di Gunung Halimun Jawa Barat, Artikel dalam Petani, Merajut Tradisi Era Globalisasi Bandung: HUP
Danandjaja, James. 2007. Folklor Indonesia. Jakarta : Graffiti Press
Rusyana, Yus. 1981. Sastra Lisan Nusantara. Bandung: Bandung: CV.Dipenogoro.
Rusyana, Yus. 1978. Sastra Lisan Sunda. Jakarta : Pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa Indonesia
Rusyana. Yus. 1984. Metode Pengajaran sastra. Bandung: Gunung Larang.
Semi, M. Atar. 1990. Metode Penelitian Sastra, Bandung: Angkasa
Soekanto, S. 1998. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali P
Supendi, Usman. 2006. Folklore Sunda. Makalah perkuliahan. Universitas Islam Nusantara Bandung
Zuchdi, Darmiyati. 2011. Pendidikan Karakter dalam Perspektif Teori dan Praktik. Yogyakarta: UNY Press.
Zuhlan, Najib. 2011. Pendidikan Berbasis Karakter. Surabaya: JePe Press Media Utama