Minggu, 20 September 2020

 Hubungan  Bahasa dan Kebudayaan

 

       Setelah mengkaji tentang  hubungan  bahasa dan kebudayaan  ternyata  banyak  pertentangan diantara ahli bahasa tersebut. Hipotesis  Safir-Worf (Choer dan Agustina, 2004 : 167) yang menyatakan bahwa bahasa akan menyebabkan  perbedaan berfikir antara masyarakat yang berbeda  budaya. Pendapat ini jelas tidak  diterima bahkan para ahli pun banyak yang menolak. Tidak mungkin seseorang  yang berbeda  bahasanya dan budayanya akan berbeda pemikirannya. Justru dengan bahasa kebudayaan yang berbeda akan dipersatukan dan akan melahirkan  pemikiran yang baru dan pemikiran yang sama. Perbedaan berfikir seseorang  yang berbeda bahasa dan budaya bisa disebabkan oleh kemampuan atau daya nalarnya serta pendidikannya. Sehingga antara kemampuan dan pendidikan  akan membedakan.

        Ahli antropologi Indonesia yaitu Koentjaraningrat (Chaer dan Agustina, 2004 : 169) yang menyatakan bahwa kemampuan masyarakat dalam berbahasa dipengaruhi oleh sifat-sifat negatif yang telah membudaya. Bahkan budaya yang bersifat  negatif tersebut telah turun-temurun. Misalnya., pencopet. Seseorang  yang memiliki  sifat yang kurang terpuji di mata masyarakat, dia juga pasti memiliki bahasa yang  tak enak didengar. Karena dia selalu berada dilingkungan yang tidak memungkinkan dirinya untuk  memiliki bahasa  yang baik. Jadi menurut pendapat di atas, budaya seseorang baik yang negatif maupun yang positif akan menentukan kemampuan berbahasanya. Bisa dikatakan bahasanya merupakan cerminan  dirinya dan cerminan budaya lingkungannya yang dia tinggali cara berpikir seseorang.

       Selain hipotesis tersebut pendapat Masinambouw (Chaer dan Agustina, 2004 : 167) juga mengemukakan pandapatnya  tentang hubunagn bahasa dan  kebudayaan. Menurutnya bahasa hanyalah sebagai alat yang dapat digunakan untuk menyampaikan  pemikiran seseorang. Seseorang yang berbeda bahasa akan tetap mempunyai pemikiran yang sama. Berbeda bahasa dan kebudayaan tidak akan mempengaruhi pemikiran seseorang. Seseorang yang berbeda bahasa akan tetap mempunyai  pemikiran  yang sama.

       Berbeda  bahasa dan kebudayaan tidak akan mempengaruhi  pemikiran seseorang. Pendapat ini dapat diterima  karena banyak contoh konkret yang dapat kita ambil. Misalnya banyak orang yang datang ke pulau Jawa untuk kerja dan meneruskan pendidikannya. Mereka tentu memiliki bahasa dan kebudayaan  yang berbeda tetapi pemikiran mereka akan sama dengan orang-orang yang ada di pulau Jawa. Apabila mereka, memiliki pemikiran yang berbeda tentu mereka  tidak akan ke pulau Jawa. Antara bahasa dan kebudayaan memiliki hubungan  yang terikat karena bahasa merupakan alat penyampai kebudayaan tetapi bahasa yang berbeda belum tentu pemikiran seseorang pun berbeda.

       Banyak ahli yang mengamati  antara hubungan bahasa dan kebudayaan. Hipotesis Safir-Whorf (Chaer dan Agustina, 2004 : 1967) menyatakan  “perbedaan berfikir disebabkan oleh adanya perbedaan bahasa”.

       Pendapat di atas  bertolak belakang dengan pendapat Masinambouw (Chaer dan Agustina, 2004: 1967) “Bahasa itu hanyalah alat untuk  menyatakan atau menyampaikan pikiran. Suatu pikiran bila dinyatakan dengan bahasa yang berbeda-beda tidak akan menjadi berbeda-beda”.

       Berbeda dengan kedua pendapat di atas, Koenjtaraningrat (Choer dan Agustina, 2004 : 169) menyatakan “Buruknya kemampuan berbahasa Indonesia sebagaian  orang Indonesia termasuk kaum inteleknya adalah karena adanya sifat-sifat negatif yang melekat pada mental sebagian besar orang Indonesia (?)

       Melihat pendapat para ahli di atas, ternyata mereka memiliki pandangan berbeda  tentang hubungan bahasa dan kebudayaan. Di antara pendapat di atas yang paling bertentangan adalah pendapat Safir-Worf. Dalam hipotesisnya sangat bertentangan  dengan pendapat para  ahli bahasa lainnya. Jadi antara bahasa dan kebudayaan memiliki hubungan  yang terikat karena bahasa merupakan alat penyampai kebudayaan tetapi bahasa yang berbeda belum tentu pemikiran seseorang pun berbeda.

 

Senin, 13 November 2017

MODEL PEMBELAJARAN MEMBACA APRESIATIF
DALAM WUJUD PROSES ESTETIS-RESEPTIF KRITIS-KREATIF

Dr. Titin Setiartin R. M.Pd.

ABSTRAK

       Pembelajaran membaca apresiatif merupakan proses estetis-reseptif dengan menekankan kegiatan membaca kritis-kreatif. Siswa menjelajahi imajinasi pengarang dalam teks yang dibaca. Secara metakognitif siswa memahami, menangggapi, dan menggali ide pengarang dalam teks. Siswa merespons, mengkritisi, dan mengevaluasi ide-ide pengarang dalam teks. Pada tahap pascabaca siswa dapat mentransformasi teks ke dalam bentuk lain (teks baru). Tujuan strategi ini membekali siswa untuk memahami makna cerita, menggali ide, merespons secara kritis, dan secara kreatif menuangkan kembali ide cerita. Strategi membaca estetis-reseptif kritis-kreatif ini menggamit ranah kognitif, afektif, dan psikomotor ke arah literasi membaca kritis dan menulis kreatif. 
       Pembelajaran membaca apresiatif termasuk ke dalam kegiatan membaca pemahaman. Kegiatan ini melibatkan kepekaan dan kecakapan mengolah bacaan secara estetis-reseptif dan kritis-kreatif. Pembaca  menjelajah imajinasi pengarang untuk beroleh pemahaman dan pengalaman yang bermakna dari bacaan. Beberapa model pembelajaran membaca pemahaman yang dikemukakan ahli meliputi tahapan prabaca, saatbaca, dan pascabaca. Pada tahapan pascabaca siswa mengaktifkan kemampuan berpikirnya. Kegiatan yang dapat dilakukan pada tahapan ini, misalnya menguji kembali cerita, menceritakan kembali, membuat gambar, diagram, ataupun peta konsep bacaan, serta membuat peta perjalanan yang menggambarkan peristiwa. Kegiatan lain yang dapat dilakukan siswa adalah mentransformasikan teks cerita melalui penguatan bentuk cerita bergambar ke dalam bentuk komik misalnya (alih bentuk).
Kata Kunci:  Pembelajaran Membaca Apresiatif,  Proses Estetis-Reseptif Kritis-Kreatif,

I.   Pendahuluan
     
       Pembelajaran membaca apresiatif memiliki karekteristik sama dan sejalan dengan karakteristik pembelajaran pemrosesan informasi, yang menekankan kegiatan membaca kritis-kreatif. Proses pembelajaran ini menekankan aktivitas menggali, memahami, menanggapi, menggkritisi, mengevaluasi, dan menghargai, sampai pada menghayati, dan menikmati. Sesuai dengan pendapat Joice & Weil (2009: 252) subrumpun sinektik  berdasar pada psikologi kreativitas pendapat Gordon (Joice & Weil, 2009: 252); Arends (2008: 16); dan Satrock (2012: 351) yang menyatakan bahwa  aktivitas metakognitif mengembangkan kognisi sebagai proses aktif, kritis, dan kreatif. Joyce & Weil (2011: 7) menyatakan bahwa tujuan pengajaran adalah membantu siswa memperoleh informasi,  ide-ide,  keterampilan-keterampilan, nilai-nilai, cara-cara berpikir, alat-alat untuk mengekspresikan diri.
       Kerangka konseptual kegiatan belajar pada ranah sikap yang diperoleh melalui aktivitas menerima, menjalankan, menghargai, menghayati, dan mengamalkan. Ranah pengetahuan diperoleh melalui aktivitas mengingat menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Ranah keterampilan diperoleh melalui aktivitas mengamati, menanya, mencoba, menalar, menyaji, dan mencipta. Proses belajar ini sejalan dengan pembelajaran pemrosesan informasi dengan strategi sinektik yang termasuk kategori ini adalah pembelajaran menyelesaikan masalah, berpikir kritis, dan mengembangkan kreativitas (Slavin, 2011: 25). “Proses pembelajaran pada satuan pendidikan harus diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.” (Permendikbud, No 65 Tahun 2013). Kegiatan pascabaca memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyalurkan keinginan siswa menciptakan kreasi dalam bentuk lain. Misalnya cerita bergambar (komik).

II.   Pembahasan
A.      Estetis-Reseptif Kritis-Kreatif dalam Membaca Apresiatif
       Segers (2000: 35-47) menyatakan bahwa secara metodologis estetika resepsi berusaha memulai arah baru dalam studi sastra karena ia berpandangan bahwa sebuah teks sastra seharusnya dipelajari sehingga memunculkan reaksi pembaca. Segers memetakan estetika resepsi ke dalam tiga bagian utama, yaitu  (1) konsep umum estetika resepsi; (2) penerapan praktis estetika resepsi; dan (3) kedudukan estetika resepsi dalam tradisi studi sastra
       Estetika dalam karya sastra memainkan peran yang sangat penting. Keindahan, demikian kata Plato (Teuw, 1988: 347) berada pada dunia ide-ide. Seni sebagai suatu keindahan sudah berabad-abad menjadi dasar ajaran estetika. Jausz (Teuw, 1988: 348) berpendapat bahwa keindahan yang mutlak tidak dapat terjangkau manusia. Akan tetapi, keindahan dapat didekati lewat pemikiran dunia dan ide dengan harmoni yang ideal. Estetika dunia Barat berkonsekuensi pada pengabdian seni filsafat dan etika.  Estetika memberikan perspektif pada pengkajian sastra secara semiotik. Perkembangan estetika secara mutlak objeknya berada pada karya seni sedangkan pengalaman estetika berada pada penikmat (pendengar, penonton, dan pembaca). Secara universal teori estetika menjadi sebuah pendekatan karya sastra. Oleh karena itu, pendekatan estetis menjadi tempat dalam penelitian sastra.
       Estetika pada suatu teks sastra menjadi media pengarang dalam mengajak pembacanya memasuki dunia imajinatif kreatif. Ketika imajinasi pembaca mencoba menjelajah sebuah teks, maka pembaca berupaya mendekati nilai-nilai estetis.  Pendekatan terhadap suatu teks sastra tidak sebatas mendekati simbol-simbol semiotika. Akan tetapi, pembaca berupaya meresepsi secara keseluruhan isi  teks. Pendekatan estetis merupakan bentuk kegiatan pembaca untuk mencapai penafsiran (pemahaman). “Karya sastra adalah sebuah objek estetis yang mampu membangkitkan pengalaman estetis pembaca. Apresiator (pembaca) menilai kesastraan karya sastra berdasarkan krtiteria estetis….” (Wellek, 1989: 321). Pengalaman estetis pembaca akan diperoleh melalui interpretasi dalam proses reseptif membaca.
       Resepsi adalah suatu penafsiran penikmat (pendengar, penonton, pembaca) terhadap sebuah karya. Sebagaimana yang dikemukakan Endraswara (2002: 158) melalui resepsi karya sastra, pembaca sering berimajinasi lain ketika menyikapi karya sastra. Kondisi kejiwaan pembaca juga seringkali memengaruhi daya kritisnya. Selanjutnya, resepsi adalah sebuah pendekatan yang digunakan untuk memahami karya sastra melalui penerimaan pembaca, baik pembaca yang sezaman dengan penulis, maupun yang berturut-turut pada sesudah masa penciptaannya (Teeuw, 2003: 269). Selden (1986: 112-120) menjelaskan, bahwa dalam pendekatan resepsi dikenal beberapa istilah pembacaan antara lain: concretization (Fellix Vodicka), horizon harapan (Hans Robert Jausz), pembaca implisit (Wolfgang, Izer), dan konvensi pembacaan. “…various conventions or expectations are brought into play, connections are posited, and expectations defeated or confirmed. To interpret a work is to tell a story of reading.” (Culler, 2000: 63) bahwa  konvensi diharapkan sebagai wilayah kerja antara harapan, kegagalan atau memperkuat. Penafsiran sebagai pekerjaan  pembaca sastra. Selanjutnya “Thinking about readers and the way they make sense of literature has led to what has been called ‘readerresponse criticism’, which claims that the meaning of the text is the experience of the reader.” (Culler, 2000: 63).  Vodicka menganggap bahwa dalam karya sastra ada ruang kosong yang bebas dapat diisi sesuai dengan kondisi sosial pembacanya, sedangkan Jausz memandang bahwa horizon harapan pembaca (horizon of expectations) akan memungkinkan terjadinya penerimaan dan pengolahan dalam batin pembaca terhadap teks sastra yang dibacanya.
       Sekaitan dengan teori resepsi, Iser (1987: ix-xii; 54) mengemukakan konsep keterkaitan teks, pembaca, dan interaksinya  yaitu terdapat hubungan dialektis antara teks, pembaca, dan interaksinya. Selanjutnya, Iser (1987: 20 dan 54), menyebutnya sebagai respons estetis sebab walaupun pusat perhatiannya sekitar teks, tetapi mengarahkan persepsi dan imajinasi pembaca dalam rangka melakukan penyesuaian dan bahkan membedakan fokusnya. Konsep dialektika respons estetik, interaksinya dapat dicermati melalui pengertian implied reder, literary repertoire, dan literary strategies Implied reader merupakan model, rol, dan standpoint yang membuat pembaca sebagai real reader menyusun makna teksnya. Repertoire merupakan seperangkat norma sosial, historis, dan budaya yang dipakai untuk membaca yang dihadirkan oleh teks dan merupakan semua wilayah familiar dalam teks berupa acuan pada karya-karya yang ada lebih dahulu. Dalam teori resepsi sastra, pembaca mencoba menjelajahi imajinasi pengarang, dengan penuh gairah, kegembiraan, dan ketegangan sampai pada penikmatan. Sebagaimana Eagleton (1983: 82-83)  menyatakan 
     …the raeder simply … cougth up in this exuberant dance of  language, delighting in the texture of words themselves, the reader know less the purposive pleasures of  building a coherent system , building textual elements  masterfully together to shore up a unitary self. Than the masochistic thrills of felling that self shattered and dispersed throught the tangled webs of the work itself.”
Melalui proses ini, pembaca diberi kebebasan  meginterpretasi isi bacaan berdasarkan skemata pembaca. Melalui proses ini pembaca dapat menjelajah imajinasi pengarang sehingga pembaca dapat mengonkretkan  isi bacaan (cerita) sesuai dengan keinginan dan kreativitas pembacanya. Segers (2000: 35-47) mengatakan bahwa secara metodologis estetika resepsi berusaha memulai arah baru dalam studi sastra karena berpandangan bahwa sebuah teks sastra seharusnya dipelajari (terutama) dalam kaitan dengan reaksi pembaca. Kata kunci dari konsep yang diperkenalkan Jauss adalah “rezeptions und wirkungsasthetik“ tanggapan dan efek”. Menurutnya, pembacalah yang menilai, menikmati, menafsirkan, dan memahami karya sastra.
       Dari berbagai pendapat ahli (Iser, Culler, Selden, dan Segers) pendekatan resepsi memiliki garis besar sebagai berikut: (1) bertolak dari hubungan antara teks sastra dan bagaimana reaksi pembacanya; (2) pengongkretan makna teks dilakukan melalui tanggapan pembacanya, sesuai dengan horizon harapannya; (3) imajinasi pembaca dimungkinkan oleh keakrabannya dengan sastra, kesanggupannya dalam memahami keadaan pada masanya juga masa-masa sebelumnya; dan (4) melalui kesan, pembaca dapat menyatakan tanggapannya terhadap suatu karya yang dibacanya.  Dengan demikian, estetika-resepsi merupakan penerimaan dan sambutan pembaca terhadap sebuah karya sastra. Untuk itu, Teuw (1991: 12) berpendapat, “Proses membaca yaitu memberi makna pada sebuah teks tertentu, yang kita pilih, atau yang dipaksakan kepada kita (dalam pengajaran misalnya) adalah proses yang memerlukan pengetahuan sistem kode yang cukup rumit, kompleks, dan beraneka ragam.”
       ”Interpretasi dari kata Latin interpretatio yang berarti ‘penafsiran’ pada umumnya sebuah analisis yang menerangkan sebuah teks menurut satu atau berbagai pendekatan ideologis, perwujudan bahasa, kebenaran historis, dan sebagainya” Konsep apresiasi sastra merupakan berbagai bentuk penafsiran terhadap teks yang dilakukan pembaca. Selanjutnya dari penafsiran atau dengan istilah interpretasi. Penerimaan dan penafsiran, kemudian penelaahan, penilaian, dan tanggapan merupakan konkretisasi proses pembacaan dengan memadukan pemahaman estetis, pemahaman reseptif, pemahanan kritis, dan pemahaman kreatif. Dalam membaca keseluruhan aspek itu terproses untuk mencapai tujuan tertentu melalui tahapan (1) persepsi, (2) rekognisi, (3) komprehensi, (4) interpretasi, (5) evaluasi, dan ( 6) kreasi atau utilisasi.
       Sumardjo (2000: 80)  “Kreativitas adalah suatu kondisi, suatu sikap, atau keaadaan mental yang sangat khusus sifatnya dan hampir tak mungkin dirumuskan. Kreativitas adalah kegiatan mental yang sangat individual yang merupakan manisfestasi kebebasan dirinya secara mutlak.” Ratna (2011: 15) “Proses kreatif adalah aktivitas yang sepenuhnya disadari oleh subjek, proses kreatif merupakan akumulasi pengalaman-pengalaman masa lampau seperti dilihat melalui kehidupan sekarang, hari ini”. Proses kreatif didominasi oleh imajinasi, tetapi perlu dipahami bahwa menurut visi kontemporer imajinasi bukan semata-mata proses individual melainkan transindividual, imajinasi yang juga diimajinasikan oleh orang lain”. Dengan demikian, sebuah karya (seni) sastra merupakan produk kritis-kreatif seorang pengarang terhadap kenyataan hidup (fenomena) yang dilihat dan dirasakan seseorang (pengarang).
       Proses membaca kritis kreatif adalah suatu proses membaca yang dilakukan seseorang yang tidak hanya melakukan analisis, tetapi juga sintetis; bukan hanya memahami apa yang tersurat, tetapi juga yang tersirat. Berdasarkan sudut pandang pendekatan/kritik pragmatis, proses estetis-reseptif dan kritis-kreatif dalam membaca apresiatif adalah melakukan penggalian terhadap aspek ekstrinsik dan aspek intrinsik sebuah karya sastra. Hal ini, sesuai dengan yang dinyatakan Abrams (Pradopo, 1997: 34) “Kritik pragmatik (pragmatic criticism) memandang karya sastra sebagai suatu yang dibangun untuk mencapai (mendapatkan) efek-efek tertentu pada audience (pendengar, pembaca), baik berupa efek-efek kesenangan estetik ataupun pendidikan, maupun efek-efek yang lain.”
B.      Model Pembelajaran Membaca  Apresiatif
       Secara strategis model pembelajaran menggambarkan prosedur sistematis dalam memanajemen proses belajar mengajar untuk mencapai kompetensi tertentu. Model pembelajaran berfungsi sebagai pedoman para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran. Joyce & Weil (2011: 7) model pembelajaran adalah model pengajaran yang dirancang untuk membantu siswa memperoleh informasi, ide-ide,  keterampilan-keterampilan, nilai-nilai, cara-cara berpikir, alat-alat untuk mengekspresikan diri, serta cara-cara belajar. Lebih jauh fungsi terpenting model pembelajaran agar siswa mampu meningkatkan kemampuan belajar ke arah lebih mudah dan efektif. Pengetahuan-pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang diperoleh siswa  melalui proses belajar dapat dikembangkan melalui aktivitas dan kreativitasnya.
       Model Pembelajaran membaca apresiatif termasuk ke dalam pembelajaran membaca pemahaman. Pembelajaran ini terkategori pembelajaran berbahasa. Melalui proses membaca pemahaman (berbahasa) memiliki konsep kompetensi komunikatif. Brown (2001: 69) menyatakan konsep kompetensi komunikatif dengan pendekatan fungsional pengajaran bahasa,
       Given that communicative competence is the goal of a language classroom, instruction needs to point toward all its components: organization, pragmatic, strategic, and psychomotor. Communcative goals are best achieved by giving due attention to language use and not just usage, to fluency and not just accuracy, to authentic language and contexts, and students’eventual need to apply classroom learning to previously unrehearsed contexts in  the real world.
Pembelajaran bahasa memiliki tujuan kompetensi komunikatif, memperkenalkan dan memerlukan  semua komponen pembelajaran bahasa. Untuk mencapai suatu komunikasi yang terbaik yaitu dengan memberikan arahan apa yang harus  diperhatikan dalam  berbahasa. Selain itu, siswa memerhatikan kepantasan pemakaian, kefasihan, dan ketepatan dalam konteks yang sebenarnya.  Pembelajaran ini termasuk ke dalam rumpun  The Information Processing Family Of Models.
       Tujuan umum model The Information Processing Family Of Models ialah membantu siswa mengembangkan kreativitasnya dalam mengolah informasi yang diperoleh melalui kegiatan membaca. Dalam hal ini, pengembangan  kemampuan membaca apresiatif melalui kerja kreatif (membaca dan menulis kreatif). Konsep pengolahan informasi (the information processing) termasuk ke dalam teori belajar kognisi yang dikemukakan Slavin  (2011: 217-218) bahwa poses kerja memori ketika menerima rangsangan akan memunculkan persepsi yang melibatkan penafsiran pikiran, pengalaman, pengetahuan, motivasi, dan minat, bahkan imajinasi. Informasi yang dipahami dan  diberi perhatian  kemudian dipindahkan dan disimpan memori penyimpanan. Informasi yang tersimpan selanjutnya diolah dan ditanggapi,  untuk menarik kesimpulan dalam konteks verbal atau visual. 
       Proses kerja pengolahan informasi merupakan proses kerja pikiran dan perasaan.  Slavin (2011: 243-245) menyatakan bahwa dalam pembelajaran verbal terdapat di antaranya pembelajaran visualisasi gambar ke dalam pikiran untuk meningkatkan memori. Banyak teknik memori yang didasarkan pada pembentukan citra mental untuk membantu mengingat hubungan. Salah satu metode untuk meningkatkan memori dengan menggunakan penggambaran ialah dengan menciptakan cerita untuk  menggabungkan informasi. Faktor yang membuat informasi bermakna adalah informasi yang mengandung makna lebih mudah dipelajari.
       Pembelajaran membaca apresiatif sebagai aktivitas apresiasi sastra. Siswa melakukan resepsi dan interpretasi (penafsiran) terhadap suatu teks. Pada proses estetis-reseptif kritis-kreatif siswa merespons karya sastra. Siswa diberi kesempatan untuk menuliskan kembali apa yang dinikmati, dihayati, dipahami, dan interpretasi  dari cerita. Interpretasi dan pemahamannya terhadap alur, latar, tema, tokoh, konflik antartokoh, dan pemecahannya (resolusi) cerita dibacanya. 
       Sejalan dengan pendapat pada tataran praksis, estetika reseptif dan kritis-kreatif merupakan proses praktis dalam pembelajaran membaca apresiatif. Beberapa alasan, Pertama, pemetaan ini menjadi salah satu pendekatan ke arah penggalian interpretasi siswa untuk menemukan makna cerita rakyat. Aspek proses estetis-reseptif dalam membaca apresiatif menjadi acuan pertama ke arah kemampuan mentransformasi teks. Kedua,  pendekatan estetis-resepsi memiliki garis besar sebagai berikut: a) bertolak dari hubungan antara teks sastra dan bagaimana reaksi pembacanya; b) pengongkretan makna teks dilakukan melalui tanggapan pembacanya, sesuai dengan horizon harapannya; c) imajinasi pembaca dimungkinkan oleh keakrabannya dengan sastra, kesanggupannya dalam memahami keadaan pada masanya juga masa-masa sebelumnya; dan d) melalui kesan, pembaca dapat menyatakan tanggapannya terhadap suatu karya yang dibacanya.  
       Sejalan dengan pendapat Slavin dan Santrock (2012: 351), Joice and Weil, mengemukakan bahwa pendekatan pemrosesan informasi menekankan anak-anak memanipulasi informasi, memonitor, dan menyiasati. Inti dari pendekatan ini adalah proses memori dan pikiran. Bertemali dengan pendekatan perosesan informasi, Allan Paivio (Santrock, 2012: 362) juga, berpendapat bahwa memori disimpan dalam dua cara: sebagi kode verbal atau sebagai kode gambar  atau melalui gambaran dalam pikiran. Semakin detail khusus kode gambar, semakin baik memori terhadap informasi tersebut mendorong anak-anak untuk menggunakan imajinasi guna mengingat informasi verbal. Berdasarkan sudut pandang teori kreativitas bersastra, model ini  berorientasi pada teori membaca sastra dan teori belajar mengajar membaca apresiatif yang berorientasi pada peranan siswa. tahapan  membaca apresiatif melalui proses estetis-reseptif dan kritis-kreatif digambarkan dalam skema berikut ini.



(teks lisan/ tertulis)



Pengenalan Karya. Siswa menerima informasi karya yang akan dibahas serta menerima informasi tentang prosedur pembelajaran yang akan dilakukannya. Guru memberikan informasi tentang cerita yang akan ditransformasikan dan langkah kerja transformasi teks. Fase 2.  Siswa membaca apresiatif (mengapresiasi karya sastra) yang diberikan guru baik secara pragmentaris, ringkasan cerita, atau penyederhanaan cerita. untuk menentukan unsur intrinsik tokoh/penokohan, latar cerita, alur cerita, tema, dan amanat. Fase 3. Siswa mendiskusikan unsur intrinsik (tokoh/penokohan, latar, alur, tema dan amanat, serta nilai moral, sosial, pendidikan). Selanjutnya siswa berbagi tugas mengerjakan LKS dan membuat perencanaan (langkah) mentransformasi teks cerita.  Kreasi transformasi mengubah karya sastra menjadi bentuk gambar atau visual sesuai dengan langkah: (1) perencanaan (sesuai urutan tabel), (2) menyusun Skenario, panduan fitur-fitur gambar (karakter tokoh, latar adegan, dan balon kata),  (3) me-lay out gambar, narasi, dan balon kata.  Fase  4. Siswa  secara berkelompok  saling mengomentari gambar yang dibuat kelompok lain. Dengan bimbingan guru praktik siswa mendiskusikan fitur-fitur gambar yang sesuai dengan karakter dalam cerita. Fase 5. Revisi dan editing gambar berdasarkan masukan dari kelompok lain dan guru. Fase  6. Fase terakhir adalah publikasi hasil. Gambar diharapkan selesai dengan baik. Sesuai dengan proses kreatif siswa diberi kebebasan berimajinasi. Fitur-fitur yang disediakan boleh diubah atau disesuaikan derngan minat siswa.Proses kerja model pembelajaran membaca apresiatif terdiri atas 6 Fase. Fase  1

III.  Simpulan
       Dari kegiatan estetis-reseptif kritis-kreatif tercipta pembelajaran yang mampu mendorong siswa untuk mencurahkan berbagai ide dan berimajinasi secara kritis dan kreatif. Siswa memperoleh pengalaman  berapresiasi dan berekspresi sastra. Pembelajaran membaca apresiatif merupakan suatu tindakan dalam melakukan pengembangan kemampuan menuju suatu kondisi yang diharapkan. Penyusunan dan penerapan model pembelajaran ini didasarkan atas kajian terhadap kesesuaian desain pembelajaran dengan kriteria penyusunan, urutan isi, dan susunan materi pembelajaran.
      Pembelajaran membaca apresiatif dengan strategi (proses) estetis-reseptif kritis-kreatif terdiri atas  6 fase. Kegiatan awal pembelajaran merupakan kegiatan pendahuluan dan pengatar ke arah pelaksanakan model. Kegiatan  inti  pembelajaran terdidi atas 3 fase utama (fase 1 sampai dengan fase 3). Proses kegiatan secara berkelompok siswa berbagi tugas mengerjakan LKS dan membuat perencanaan (langkah) mentransformasi teks cerita: (a) perencanaan (sesuai urutan tabel), (b) Menyusun Skenario, (c) Me-layout gambar, narasi, dan balon kata.  Dengan panduan fitur-fitur gambar siswa berkreasi menyusun adegan gambar sesuai dengan alur cerita. Kegiatan akhir, guru dan siswa merefleksi pembelajaran. Selanjutnya, siswa melaksanakan teks akhir (pascates). 
       Kesesuaian antara langkah-langkah yang ditempuh guru dan siswa dengan prosedur pembelajaran didasarkan pada kesesuaian alat evaluasi dalam mengukur: (1) kemampuan membaca apresiatif siswa sebagai kegiatan estetik-reseptif dan kritis-kreatif; (2) kemampuan mentransformasi teks cerita rakyat melalui penguatan bentuk cerita bergambar, sebagai kegiatan produk.
IV.  Pustaka Rujukan
Arends, Richard I. 2008. Learning  to Teach. Belajar untuk Mengajar. Buku Satu dan Buku Dua Terjemahan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Culler, Jonatahan.  2000. Literary Theory A Verry Short Introduction. New York:  by Oxford University Press Inc.
Eagleton, Terry. 2008. Literary Theory An Introduction. (Teori Sastra Pengantar Komprehensif) (Edisi Terbaru). Terjemahan Harfiah Widyawati dan Evi Setyarini. Yogyakarta dan Bandung: Percetakan Jalasutra.
Iser, Wolfgang. 1987. The Act of Reading. Baltimore and London: The Johns Hopkins University Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Antropologi Sastra Peranan Unsur-Unsur      Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Riffaterre, M. 1978. Semiotics of Poetry. ‘Penciptaan Teks’ Diterjemahkan Oleh Suminto A. Sayuti. London : Routledge &  Kegan Paul.
Santrock, John W. Psikologi Pendidikan. Educational Psychology. Buku1. Jakarta: Salemba Humanika.
Segers, Rien T. Evaluasi Teks Sastra. 2000. Diterjemahkan oleh Suminto A. Sayuti. Yogyakarta: AdiCinta.
Slavin, Robert E. 2011  Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik. Jilid 1 dan Jilis 2. Terjemahan. Jakarta: PT Indeks.
Teeuw. A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta:  Pustaka Jaya.
Wellek, R. dan Warren, A. 1956. Theory of Literature. New York: Harcout, Barance and Company.
Bahasa, Identitas, dan Kearifan Lokal dalam Perspektif Global


Salah satu kecenderungan yang tampak dengan jelas dari dinamika kehidupan manusia dewasa ini ialah perubahan-perubahan yang disebabkan oleh upaya-upaya manusia di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang berlangsung kian cepat. Perubahan-perubahan tersebut terasa besar sekali pengaruhnya bagi berbagai aspek kehidupan, termasuk di dalamnya adalah pengaruhnya yang tak terhindarkan pada kehidupan bahasa dalam berbagai seginya. Pada sisi lain, persemukaan kita dengan budaya asing melalui media cetak dan elektronik, sebagai akibat yang tak terhindarkan dari proses tersebut, telah memberi warna dan corak tersendiri pada sendi-sendi kehidupan budaya kita yang tengah berada dalam proses transformasi. Akibatnya, kita pun dihadapkan pada berbagai keniscayaan: penetrasi nilai-nilai baru yang avant garde yang acapkali bertentangan dengan nilai lama yang konvensional; kecenderungan pragmatik, materialistik, dan hedonik yang menjadi dominan di tengah masyarakat yang makin konsumeristik yang ujung-ujungnya sampai pada pemiskinan spiritual; dan sederet panjang fenomen lainnya. Oleh karena itu, yang penting bagi kita kini ialah berpikir strategis tentang kebudayaan, yakni menempatkan kembali kebudayaan sebagai kerja perencanaan manusia berikut tindakan nyatanya demi kesejahteraan bersama. Persoalannya, bagaimanakah bahasa daerah menjadi komponen yang layak dipertimbangkan dalam rangka strategi kebudayaan itu; dan jika ya, seberapa jauh, dan imperatif yang bagaimanakah yang mustinya ditunaikan bersama.
Fenomena budaya, apapun bentuknya, termasuk bahasa, posisinya bersifat tidak stabil. Ketidakstabilannya, dengan demikian, menuntut kita untuk tidak memperhitungkannya sebagai sesuatu yang bersifat tetap. Ia selalu dalam posisi berubah dan berubah terus. Apalagi jika hal ini diletakkan dalam perspektif globalisasi. Karena, sebagai sebuah proses, globalisasi menyediakan ruang yang begitu luas bagi siapapun untuk melakukan apa yang disebut konstruksi identitas. Dikatakan demikian karena lewat proses itu peristiwa pertukaran benda dan atau simbol menjadi amat mudah. Demikian juga halnya dengan perpindahan dari tempat yang satu ke tempat lainnya. Belum lagi dengan pencanggihan teknologi komunikasi yang membuat fertilisasi silang antarbudaya juga semakin mudah. Itulah sebabnya, dalam globalisasi sifat translokal menjadi sifat kebudayaan dan identitas.
Situasi kehidupan kita kini mengisyaratkan bahwa terminologi tempat sebagai sandaran bagi pemahaman terhadap kebudayaan dan identitas tidaklah cukup. Pencapaian pemahaman yang baik terhadapnya akan terlaksana jika diposisikan dalam terminologi “pelancongan.” Terminologi ini mencakupi budaya dan manusia yang selalu dalam pengembaraan dari satu terminal ke terminal lainnya. Akibatnya, ruang-ruang budaya juga merupakan “medan” tempat para pelancong menjadi pengembara pulang balik. Tidak mustahil bahwa bahasa pun menjadi sebuah “rumah bersama.”
            Mengapa gagasan tentang ketidakstabilan kebudayaan dan identitas dalam wacana global harus diperhitungkan tatkala kita memperbincangkan bahasa berikut aspek yang terkait dengannya? Karena, situasi itu membawa kita pada pemahaman bahwa kebudayaan dan identitas, seperti dinyatakan para ahli di bidangnya, selalu merupakan pertemuan dan percampuran dari berbagai kebudayaan dan identitas yang berbeda-beda melalui proses hibridasi, yang berakibat kabur dan labilnya batas-batas kebudayaan yang mapan karena dikaburkan dan dilabilkan oleh proses hibridasi itu. Inilah tantangan sekaligus peluang yang kini terbentang dan mengepung kita.
Ketika etnisitas dipahami sebagai sebuah konsep kultural yang berpusat pada pembagian norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan, simbol, dan praktik-praktik kultural, maka bahasa sesungguhnya menjadi sarana yang utama. Bukankah etnisitas teraktualisasikan juga dalam “cara kita berbicara” tentang identitas kelompok? Sementara di dalam etnisitas itu sendiri juga selalu terandaikan adanya relasi, yakni relasi dengan identifikasi diri dan sangkan-paran sosial. Dalam konteks inilah menyiasati kembali bahasa daerah akan menemukan signifikansi dan relevansinya. Harkat suatu masyarakat begitu ditentukan oleh budayanya sendiri. Budaya akan tumbuh dan berkembang apabila didukung oleh masyarakatnya. Dikatakan demikian karena masyarakatlah yang menjadi “ahli waris,” dan sekaligus sebagai pelaku menuju tercipta dan tercapainya situasi yang disebut “sadar budaya,” yakni kesadaran atau pemahaman di kalangan masyarakat bahwa sebagai individu yang berada di tengah tata pergaulan, posisinya tidak pernah bersifat singular, tetapi plural. Di samping itu, suatu masyarakat tidak akan mampu menjaga eksistensinya apabila tidak bergaul dengan masyarakat lain, juga tidak akan mampu apabila tidak menghayati budayanya sendiri. Persoalan hakiki ini pun menjadi sesuatu yang penting dan tak terhindarkan bagi budaya-budaya lokal. Oleh karena itu, masalah tersebut tidak cukup hanya diwacanakan, tetapi harus diaktualisasikan dengan cara apa pun yang dipandang baik.
Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat dua hal pokok yang perlu diperhatikan. Pertama, situasi kehidupan kita kini yang semakin meng-global. Bersamaan dengannya, diandaikan pula akan terbentuk nilai-nilai budaya baru yang bersifat mondial, trans-nasional, atau pranata nilai budaya yang berada di jalur utama (mainstream). Nilai-nilai budaya tersebut dijadikan acuan dan tolok ukur yang dapat diterapkan di mana-mana. Kedua, pemikiran yang bertolak dari kekhawatiran munculnya dampak budaya yang disebabkan oleh globalisasi, terutama sekali, tata ekonomi dan tata informasi. Pemikiran kedua ini mewaspadai berbagai akibat yang mungkin timbul dan tidak menguntungkan bagi sektor-sektor kehidupan yang tidak berada di jalur utama.  Mereka yang tetap menghayati nilai-nilai budaya lokalnya akan menjadi kaum marginal yang kurang dimunculkan dalam konstelasi informasi dunia, dan seringkali kurang diuntungkan secara material. Oleh karena itu, upaya untuk mendudukkan identitas lokal, yang ditandai oleh kebudayaannya, sudah seharusnya menjadi isu utama. Apabila dikaitkan dengan budaya lokal tertentu – Cirebon misalnya -- berikut kearifan-kerifan lokal yang terkandung di dalamnya, sesungguhnya budaya lokal sekarang ini ibarat berada di “simpang empat,” yang penuh dengan berbagai tantangan dan pilihan.
Dalam konstelasi global, kearifan lokal dapat diperhitungkan sebagai realitas nilai budaya alternatif karena kita memang memiliki, dan berada dalam dua macam sistem budaya yang keduanya harus dipelihara dan dikembangkan, yakni sistem budaya nasional dan sistem budaya etnik lokal. Nilai budaya nasional berlaku secara umum untuk seluruh bangsa, dan sekaligus berada di luar ikatan budaya etnik lokal yang manapun.
Nilai-nilai kearifan lokal tertentu akan menjadi bercitra Indonesia karena dipadu dengan nilai-nilai lain yang sesungguhnya diderivasikan dari nilai-nilai budaya lama yang terdapat dalam berbagai nilai budaya etnik lokal. Hal-hal yang terdapat dalam budaya etnik lokal pada dasarnya dapat dipandang sebagai landasan bagi pembentukan identitas nasional. Budaya semacam itulah yang membuat budaya masyarakat dan bangsa memiliki akar.
Budaya etnik lokal seringkali berfungsi sebagai sumber atau acuan bagi penciptaan-penciptaan baru, misalnya dalam bahasa, seni, tata masyarakat, teknologi, dan sebagainya, yang kemudian ditampilkan dalam perikehidupan lintasbudaya.  Dengan demikian, upaya mencipta dan mencipta ulang identitas lokal yang merdeka, merupakan proses tegur-sapa kultural yang perlu dibangun secara berkesinambungan.
Keinginan untuk membangun kembali identitas lokal, pada hakikatnya dapat dipertimbangkan sebagai salah satu sarana yang penting untuk menyeleksi, dan bukannya melawan, pengaruh budaya “ yang lain, liyan.” Gerakan nativisme bisa saja dipandang naif, akan tetapi ia merupakan suatu reaksi logis apabila diletakkan dalam perspektif budaya yang berubah sangat cepat. Oleh karena itu, menggali dan menanamkan kembali kearifan lokal dapat pula dikatakan sebagai gerakan kembali pada basis nilai budaya lokalnya sendiri sebagai bagian dari upaya membangun identitas. Fungsinya sebagai semacam filter dalam menyeleksi berbagai budaya “liyan.” Nilai-nilai kearifan lokal itu meniscayakan fungsi yang strategis bagi pembentukan karakter dan identitas.
Nilai kearifan lokal yang berupa seluruh budaya daerah atau etnis yang sudah lama hidup dan berkembang hendaknya tetap menjadi unsur budaya yang dipelihara dan diupayakan untuk diintegrasikan menjadi budaya baru secara keseluruhan. Kasus bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang dijunjung tinggi adalah misal yang cukup jelas. Bahasa yang hingga kini kita sebut sebagai bahasa nasional sebagai salah satu wujud budaya nasional, karena perkembangannya, sebenarnya berasal dari sesuatu yang lokal, yakni bahasa Melayu yang digunakan oleh saudara-saudara kita di  Riau dan sekitarnya. Sebagai bahasa nasional, ia telah diterima oleh etnik-etnik lain dan memperoleh pengayaan dari bahasa-bahasa lokal yang lain. Bahasa Cirebon (-an), misalnya, yang juga kaya dengan ekspresi suasana emosi dan seringkali penuh dengan perasaan, meniscayakan kebermaknaan tertentu dalam memperkaya bahasa nasional.
        Apa yang disebut sebagai kearifan lokal, meniscayakan adanya muatan budaya masa lalu. Ini dapat juga berfungsi untuk membangun kerinduan pada kehidupan nenek moyang, yang menjadi tonggak kehidupan masa sekarang. Dengan cara demikian, kesadaran budaya dan sejarah dapat ditumbuhkan. Anggapan bahwa yang relevan dengan kehidupan hanyalah “masa kini dan di sini” juga dapat dihindari. Kearifan lokal dapat dijadikan jembatan yang menghubungkan antara masa lalu dan masa sekarang, antara generasi nenek moyang dan generasi sekarang, demi menyiapkan masa depan dan generasi mendatang.
            Di samping mempunyai arti penting bagi identitas daerah yang memilikinya, pengembangan kearifan lokal memiliki arti penting pula bagi berkembangannya budaya bangsa. Koreografi, musik, dan sastra yang menempatkan nilai-nilai lokal sebagai sumber inspirasi kreatif, misalnya saja,  akan mendorong rasa kebanggaan masyarakat  terhadap budayanya, dan sekaligus bangga terhadap daerahnya karena telah berperan serta dalam menyumbang pengembangan budaya secara luas. Karya-karya seni budaya yang digali dari sumber-sumber lokal, jika ditampilkan dalam wajah atau wacana nasional niscaya memiliki sumbangan yang tidak sedikit bagi terciptanya identitas baru. Akhirnya, ketika budaya lokal berada di “simpang empat” yang penuh tantangan, kita semua diharapkan mampu memilah dan memilih, jalan mana yang tepat dan harus dilalui, dan mana pula yang harus dihindari. Semoga.