MODEL PEMBELAJARAN
MEMBACA APRESIATIF
DALAM WUJUD PROSES ESTETIS-RESEPTIF KRITIS-KREATIF
Dr.
Titin Setiartin R. M.Pd.
ABSTRAK
Pembelajaran membaca apresiatif merupakan proses estetis-reseptif dengan menekankan kegiatan membaca kritis-kreatif. Siswa menjelajahi imajinasi pengarang dalam teks yang dibaca. Secara metakognitif siswa memahami, menangggapi, dan menggali ide pengarang dalam
teks. Siswa merespons, mengkritisi, dan mengevaluasi
ide-ide pengarang dalam teks. Pada tahap pascabaca siswa dapat mentransformasi teks ke dalam bentuk lain (teks
baru). Tujuan strategi ini membekali siswa untuk memahami makna cerita,
menggali ide, merespons secara kritis, dan secara kreatif menuangkan kembali ide
cerita. Strategi membaca estetis-reseptif kritis-kreatif ini menggamit ranah
kognitif, afektif, dan psikomotor ke arah literasi membaca kritis dan menulis
kreatif.
Pembelajaran membaca apresiatif
termasuk ke dalam kegiatan membaca pemahaman. Kegiatan ini melibatkan kepekaan
dan kecakapan mengolah bacaan secara estetis-reseptif dan kritis-kreatif.
Pembaca menjelajah imajinasi pengarang
untuk beroleh pemahaman dan pengalaman yang bermakna dari bacaan. Beberapa model pembelajaran membaca pemahaman yang dikemukakan ahli meliputi tahapan prabaca, saatbaca, dan
pascabaca. Pada tahapan pascabaca
siswa mengaktifkan kemampuan berpikirnya. Kegiatan
yang dapat dilakukan pada tahapan ini, misalnya menguji kembali cerita, menceritakan kembali, membuat
gambar, diagram, ataupun peta konsep bacaan, serta membuat peta perjalanan yang
menggambarkan peristiwa. Kegiatan lain yang dapat dilakukan siswa
adalah mentransformasikan teks cerita
melalui penguatan bentuk cerita bergambar ke dalam bentuk komik misalnya (alih bentuk).
Kata
Kunci: Pembelajaran Membaca Apresiatif, Proses Estetis-Reseptif Kritis-Kreatif,
I. Pendahuluan
Pembelajaran membaca apresiatif memiliki karekteristik
sama dan sejalan dengan karakteristik pembelajaran pemrosesan informasi, yang menekankan kegiatan membaca kritis-kreatif. Proses pembelajaran ini menekankan aktivitas menggali,
memahami, menanggapi, menggkritisi, mengevaluasi, dan menghargai, sampai pada
menghayati, dan menikmati. Sesuai dengan
pendapat Joice & Weil (2009: 252) subrumpun sinektik berdasar pada psikologi kreativitas pendapat
Gordon (Joice & Weil, 2009: 252); Arends (2008: 16); dan Satrock (2012:
351) yang menyatakan bahwa aktivitas
metakognitif mengembangkan kognisi sebagai proses aktif, kritis, dan kreatif. Joyce
& Weil (2011: 7) menyatakan bahwa tujuan pengajaran adalah membantu siswa
memperoleh informasi, ide-ide, keterampilan-keterampilan, nilai-nilai,
cara-cara berpikir, alat-alat untuk mengekspresikan diri.
Kerangka
konseptual kegiatan belajar pada ranah sikap yang diperoleh melalui aktivitas
menerima, menjalankan, menghargai, menghayati, dan mengamalkan. Ranah pengetahuan
diperoleh melalui aktivitas mengingat menerapkan, menganalisis, mengevaluasi,
dan mencipta. Ranah keterampilan diperoleh melalui aktivitas mengamati,
menanya, mencoba, menalar, menyaji, dan mencipta. Proses belajar ini sejalan
dengan pembelajaran pemrosesan informasi dengan strategi sinektik yang termasuk
kategori ini adalah pembelajaran menyelesaikan masalah, berpikir kritis, dan mengembangkan
kreativitas (Slavin, 2011: 25). “Proses pembelajaran
pada satuan pendidikan harus diselenggarakan secara interaktif, inspiratif,
menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif,
serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian
sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta
didik.” (Permendikbud,
No 65 Tahun 2013). Kegiatan pascabaca memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menyalurkan keinginan siswa menciptakan kreasi dalam bentuk
lain. Misalnya cerita bergambar (komik).
II. Pembahasan
A.
Estetis-Reseptif Kritis-Kreatif dalam Membaca
Apresiatif
Segers (2000: 35-47) menyatakan bahwa
secara metodologis estetika resepsi berusaha memulai arah baru dalam studi
sastra karena ia berpandangan bahwa sebuah teks sastra seharusnya dipelajari
sehingga memunculkan reaksi pembaca. Segers memetakan estetika resepsi ke dalam
tiga bagian utama, yaitu (1) konsep umum
estetika resepsi; (2) penerapan praktis estetika resepsi; dan (3) kedudukan
estetika resepsi dalam tradisi studi sastra
Estetika dalam karya sastra memainkan peran yang sangat penting. Keindahan,
demikian kata Plato (Teuw, 1988: 347) berada pada dunia ide-ide. Seni
sebagai suatu keindahan sudah berabad-abad menjadi dasar ajaran estetika. Jausz
(Teuw, 1988: 348) berpendapat bahwa keindahan yang mutlak tidak dapat
terjangkau manusia. Akan tetapi, keindahan dapat didekati lewat pemikiran dunia
dan ide dengan harmoni yang ideal. Estetika dunia Barat berkonsekuensi pada
pengabdian seni filsafat dan etika.
Estetika memberikan perspektif pada pengkajian sastra secara semiotik.
Perkembangan estetika secara mutlak objeknya berada pada karya seni sedangkan
pengalaman estetika berada pada penikmat (pendengar, penonton, dan pembaca).
Secara universal teori estetika menjadi sebuah pendekatan karya sastra. Oleh
karena itu, pendekatan estetis menjadi tempat dalam penelitian sastra.
Estetika
pada suatu teks sastra menjadi media pengarang dalam mengajak pembacanya
memasuki dunia imajinatif kreatif.
Ketika imajinasi pembaca mencoba menjelajah sebuah teks, maka pembaca berupaya
mendekati nilai-nilai estetis.
Pendekatan terhadap suatu teks sastra tidak sebatas mendekati
simbol-simbol semiotika. Akan tetapi, pembaca berupaya
meresepsi secara keseluruhan isi teks.
Pendekatan estetis merupakan bentuk kegiatan pembaca untuk mencapai penafsiran
(pemahaman). “Karya sastra adalah sebuah objek estetis yang
mampu membangkitkan pengalaman estetis pembaca.
Apresiator (pembaca) menilai kesastraan karya sastra berdasarkan krtiteria estetis….” (Wellek,
1989: 321). Pengalaman estetis pembaca akan diperoleh melalui interpretasi
dalam proses reseptif membaca.
Resepsi adalah suatu penafsiran penikmat (pendengar, penonton,
pembaca) terhadap sebuah karya. Sebagaimana yang dikemukakan Endraswara (2002: 158) melalui resepsi karya sastra, pembaca sering
berimajinasi lain ketika menyikapi karya sastra. Kondisi kejiwaan pembaca juga
seringkali memengaruhi daya kritisnya. Selanjutnya,
resepsi adalah sebuah pendekatan yang digunakan untuk memahami karya sastra melalui penerimaan pembaca, baik
pembaca yang sezaman dengan penulis, maupun yang berturut-turut pada sesudah masa penciptaannya (Teeuw, 2003: 269). Selden (1986: 112-120) menjelaskan, bahwa dalam pendekatan
resepsi dikenal beberapa istilah pembacaan antara lain: concretization (Fellix Vodicka), horizon harapan (Hans Robert
Jausz), pembaca implisit (Wolfgang, Izer), dan konvensi pembacaan. “…various conventions or expectations are
brought into play, connections are posited, and expectations defeated or
confirmed. To interpret a work is to
tell a story of reading.” (Culler, 2000: 63) bahwa konvensi
diharapkan sebagai wilayah kerja antara harapan, kegagalan atau memperkuat.
Penafsiran sebagai pekerjaan pembaca
sastra. Selanjutnya “Thinking about
readers and the way they make sense of literature has led to what has been
called ‘readerresponse criticism’, which claims that the meaning of the text is
the experience of the reader.” (Culler, 2000: 63). Vodicka menganggap bahwa dalam karya sastra
ada ruang kosong yang bebas dapat diisi sesuai dengan kondisi sosial
pembacanya, sedangkan Jausz memandang bahwa horizon harapan pembaca (horizon of expectations) akan
memungkinkan terjadinya penerimaan dan pengolahan dalam batin pembaca terhadap
teks sastra yang dibacanya.
Sekaitan
dengan teori resepsi, Iser (1987: ix-xii; 54) mengemukakan konsep keterkaitan
teks, pembaca, dan interaksinya yaitu
terdapat hubungan dialektis antara teks, pembaca, dan interaksinya.
Selanjutnya, Iser (1987: 20 dan 54), menyebutnya sebagai respons estetis
sebab walaupun pusat perhatiannya sekitar teks, tetapi mengarahkan persepsi dan
imajinasi pembaca dalam rangka melakukan penyesuaian dan bahkan membedakan
fokusnya. Konsep dialektika respons estetik, interaksinya dapat dicermati
melalui pengertian implied reder, literary repertoire, dan literary
strategies Implied reader merupakan model, rol, dan standpoint
yang membuat pembaca sebagai real
reader menyusun makna teksnya. Repertoire merupakan seperangkat
norma sosial, historis, dan budaya yang dipakai untuk membaca yang dihadirkan
oleh teks dan merupakan semua wilayah familiar dalam teks berupa acuan pada
karya-karya yang ada lebih dahulu. Dalam
teori resepsi sastra, pembaca mencoba menjelajahi imajinasi pengarang, dengan
penuh gairah, kegembiraan, dan ketegangan sampai pada penikmatan. Sebagaimana Eagleton
(1983: 82-83) menyatakan
…the
raeder simply … cougth up in this exuberant dance of language, delighting in the texture of words
themselves, the reader know less the purposive pleasures of building a coherent system , building textual
elements masterfully together to shore up
a unitary self. Than the masochistic thrills of felling that self shattered and
dispersed throught the tangled webs of the work itself.”
Melalui proses ini, pembaca diberi kebebasan meginterpretasi isi bacaan berdasarkan
skemata pembaca. Melalui proses ini pembaca dapat menjelajah imajinasi
pengarang sehingga pembaca dapat mengonkretkan isi bacaan (cerita) sesuai dengan keinginan
dan kreativitas pembacanya. Segers (2000:
35-47) mengatakan bahwa secara metodologis estetika
resepsi berusaha memulai arah baru dalam studi sastra karena berpandangan bahwa
sebuah teks sastra seharusnya dipelajari (terutama) dalam kaitan dengan reaksi
pembaca. Kata kunci dari konsep yang diperkenalkan Jauss adalah “rezeptions
und wirkungsasthetik“ tanggapan dan efek”. Menurutnya, pembacalah yang menilai, menikmati,
menafsirkan, dan memahami karya sastra.
Dari berbagai pendapat ahli (Iser,
Culler, Selden, dan Segers) pendekatan
resepsi memiliki garis besar sebagai berikut: (1) bertolak dari hubungan antara
teks sastra dan bagaimana reaksi pembacanya; (2) pengongkretan makna teks dilakukan melalui tanggapan pembacanya,
sesuai dengan horizon harapannya; (3) imajinasi pembaca dimungkinkan oleh
keakrabannya dengan sastra, kesanggupannya dalam memahami keadaan pada masanya
juga masa-masa sebelumnya; dan (4) melalui kesan, pembaca dapat menyatakan
tanggapannya terhadap suatu karya yang dibacanya. Dengan demikian,
estetika-resepsi merupakan penerimaan dan sambutan pembaca terhadap sebuah
karya sastra. Untuk itu, Teuw (1991: 12) berpendapat, “Proses membaca yaitu
memberi makna pada sebuah teks tertentu, yang kita pilih, atau yang dipaksakan
kepada kita (dalam pengajaran misalnya) adalah proses yang memerlukan
pengetahuan sistem kode yang cukup rumit, kompleks, dan beraneka ragam.”
”Interpretasi
dari kata Latin interpretatio yang
berarti ‘penafsiran’ pada umumnya sebuah analisis yang menerangkan sebuah teks
menurut satu atau berbagai pendekatan ideologis, perwujudan bahasa, kebenaran
historis, dan sebagainya” Konsep apresiasi sastra merupakan berbagai bentuk
penafsiran terhadap teks yang dilakukan pembaca. Selanjutnya dari penafsiran atau dengan
istilah interpretasi. Penerimaan dan penafsiran, kemudian penelaahan,
penilaian, dan tanggapan merupakan konkretisasi proses pembacaan dengan
memadukan pemahaman estetis, pemahaman reseptif, pemahanan kritis, dan
pemahaman kreatif. Dalam membaca keseluruhan aspek
itu terproses untuk mencapai tujuan tertentu melalui tahapan (1) persepsi, (2)
rekognisi, (3) komprehensi, (4) interpretasi, (5) evaluasi, dan ( 6) kreasi
atau utilisasi.
Sumardjo
(2000: 80)
“Kreativitas adalah suatu kondisi, suatu sikap, atau keaadaan mental yang sangat khusus sifatnya dan
hampir tak mungkin dirumuskan. Kreativitas adalah kegiatan mental yang sangat
individual yang merupakan manisfestasi kebebasan dirinya secara mutlak.” Ratna
(2011: 15) “Proses kreatif adalah aktivitas yang sepenuhnya disadari oleh
subjek, proses kreatif merupakan akumulasi pengalaman-pengalaman masa lampau
seperti dilihat melalui kehidupan sekarang, hari ini”. Proses kreatif
didominasi oleh imajinasi, tetapi perlu dipahami bahwa menurut visi kontemporer
imajinasi bukan semata-mata proses individual melainkan transindividual,
imajinasi yang juga diimajinasikan oleh orang lain”. Dengan demikian, sebuah
karya (seni) sastra merupakan produk kritis-kreatif seorang pengarang terhadap
kenyataan hidup (fenomena) yang dilihat dan dirasakan seseorang (pengarang).
Proses
membaca kritis kreatif adalah suatu proses membaca yang dilakukan seseorang
yang tidak hanya melakukan analisis, tetapi juga sintetis; bukan hanya memahami
apa yang tersurat, tetapi juga yang tersirat. Berdasarkan sudut pandang
pendekatan/kritik pragmatis, proses estetis-reseptif dan kritis-kreatif dalam
membaca apresiatif adalah melakukan penggalian terhadap aspek ekstrinsik dan
aspek intrinsik sebuah karya sastra. Hal ini, sesuai dengan yang dinyatakan
Abrams (Pradopo, 1997: 34) “Kritik pragmatik (pragmatic criticism) memandang karya sastra sebagai suatu yang
dibangun untuk mencapai (mendapatkan) efek-efek tertentu pada audience (pendengar, pembaca), baik
berupa efek-efek kesenangan estetik ataupun pendidikan, maupun efek-efek yang
lain.”
B. Model Pembelajaran Membaca Apresiatif
Secara
strategis model pembelajaran menggambarkan prosedur sistematis dalam
memanajemen proses belajar mengajar untuk mencapai kompetensi tertentu. Model
pembelajaran berfungsi sebagai pedoman para perancang pembelajaran dan para
pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran. Joyce & Weil (2011: 7)
model pembelajaran
adalah model pengajaran yang dirancang untuk membantu siswa memperoleh informasi,
ide-ide, keterampilan-keterampilan,
nilai-nilai, cara-cara berpikir, alat-alat untuk mengekspresikan diri, serta
cara-cara belajar. Lebih jauh fungsi terpenting model pembelajaran agar siswa mampu meningkatkan kemampuan
belajar ke arah lebih mudah dan efektif. Pengetahuan-pengetahuan, keterampilan,
dan nilai-nilai yang diperoleh siswa
melalui proses belajar dapat dikembangkan melalui aktivitas dan
kreativitasnya.
Model
Pembelajaran
membaca apresiatif termasuk
ke dalam pembelajaran membaca pemahaman. Pembelajaran ini terkategori
pembelajaran berbahasa. Melalui proses membaca pemahaman (berbahasa) memiliki
konsep kompetensi komunikatif. Brown (2001: 69)
menyatakan konsep kompetensi komunikatif dengan pendekatan fungsional
pengajaran bahasa,
Given that communicative competence is the goal of a
language classroom, instruction needs to point toward all its components:
organization, pragmatic, strategic, and psychomotor. Communcative goals are
best achieved by giving due attention to language use and not just usage, to
fluency and not just accuracy, to authentic language and contexts, and
students’eventual need to apply classroom learning to previously unrehearsed
contexts in the real world.
Pembelajaran bahasa memiliki tujuan kompetensi komunikatif, memperkenalkan
dan memerlukan semua komponen
pembelajaran bahasa. Untuk mencapai suatu komunikasi yang terbaik yaitu dengan
memberikan arahan apa yang harus
diperhatikan dalam berbahasa.
Selain itu, siswa memerhatikan kepantasan pemakaian, kefasihan, dan ketepatan dalam konteks yang sebenarnya. Pembelajaran ini termasuk ke dalam rumpun The Information Processing Family Of Models.
Tujuan umum model The Information Processing Family Of Models ialah membantu siswa
mengembangkan kreativitasnya dalam mengolah informasi yang diperoleh melalui kegiatan membaca.
Dalam hal ini, pengembangan kemampuan
membaca apresiatif melalui kerja kreatif
(membaca dan menulis kreatif).
Konsep pengolahan informasi (the information processing) termasuk ke dalam teori belajar kognisi
yang dikemukakan
Slavin (2011: 217-218) bahwa poses kerja
memori ketika menerima rangsangan akan memunculkan persepsi yang melibatkan
penafsiran pikiran, pengalaman, pengetahuan, motivasi, dan minat, bahkan
imajinasi. Informasi yang dipahami dan
diberi perhatian kemudian
dipindahkan dan disimpan memori penyimpanan. Informasi yang tersimpan
selanjutnya diolah dan ditanggapi, untuk
menarik kesimpulan dalam konteks verbal atau visual.
Proses kerja pengolahan informasi
merupakan proses kerja pikiran dan perasaan.
Slavin (2011: 243-245) menyatakan bahwa dalam pembelajaran verbal
terdapat di antaranya pembelajaran visualisasi gambar ke dalam pikiran untuk
meningkatkan memori. Banyak
teknik memori yang didasarkan pada pembentukan citra mental untuk membantu
mengingat hubungan. Salah satu metode untuk meningkatkan memori dengan
menggunakan penggambaran ialah dengan menciptakan cerita untuk menggabungkan informasi. Faktor yang membuat
informasi bermakna adalah informasi yang mengandung makna lebih mudah
dipelajari.
Pembelajaran membaca
apresiatif sebagai aktivitas apresiasi
sastra. Siswa melakukan resepsi dan
interpretasi (penafsiran) terhadap suatu teks. Pada proses estetis-reseptif kritis-kreatif
siswa merespons karya sastra. Siswa diberi kesempatan untuk menuliskan
kembali apa yang dinikmati, dihayati, dipahami, dan interpretasi dari cerita. Interpretasi dan pemahamannya
terhadap alur, latar, tema, tokoh, konflik antartokoh, dan pemecahannya (resolusi) cerita dibacanya.
Sejalan dengan pendapat
pada tataran praksis,
estetika reseptif dan kritis-kreatif merupakan proses praktis dalam
pembelajaran membaca apresiatif. Beberapa alasan, Pertama,
pemetaan ini menjadi salah satu pendekatan ke arah penggalian interpretasi
siswa untuk menemukan makna cerita rakyat. Aspek proses estetis-reseptif dalam
membaca apresiatif menjadi acuan pertama ke arah kemampuan mentransformasi
teks. Kedua, pendekatan estetis-resepsi memiliki garis
besar sebagai berikut: a) bertolak dari hubungan antara teks sastra dan
bagaimana reaksi pembacanya; b) pengongkretan makna teks dilakukan melalui
tanggapan pembacanya, sesuai dengan horizon harapannya; c) imajinasi pembaca
dimungkinkan oleh keakrabannya dengan sastra, kesanggupannya dalam memahami
keadaan pada masanya juga masa-masa sebelumnya; dan d) melalui kesan, pembaca
dapat menyatakan tanggapannya terhadap suatu karya yang dibacanya.
Sejalan dengan pendapat Slavin
dan Santrock (2012: 351),
Joice and Weil, mengemukakan
bahwa pendekatan pemrosesan informasi menekankan anak-anak
memanipulasi informasi, memonitor, dan menyiasati. Inti dari pendekatan ini
adalah proses memori dan pikiran. Bertemali dengan pendekatan perosesan informasi, Allan Paivio (Santrock,
2012: 362) juga, berpendapat bahwa memori disimpan dalam dua cara: sebagi kode
verbal atau sebagai kode gambar atau melalui gambaran dalam pikiran.
Semakin detail khusus kode gambar, semakin baik memori terhadap informasi
tersebut
mendorong anak-anak untuk menggunakan imajinasi guna
mengingat informasi verbal. Berdasarkan sudut pandang teori kreativitas bersastra,
model ini berorientasi pada teori membaca sastra
dan teori belajar mengajar membaca apresiatif yang
berorientasi pada peranan siswa. tahapan membaca apresiatif melalui proses
estetis-reseptif dan kritis-kreatif digambarkan dalam skema berikut ini.
Pengenalan Karya. Siswa menerima informasi karya yang akan dibahas serta
menerima informasi tentang prosedur pembelajaran yang akan dilakukannya. Guru
memberikan informasi tentang cerita yang akan ditransformasikan dan langkah
kerja transformasi teks. Fase 2. Siswa membaca apresiatif (mengapresiasi karya sastra)
yang diberikan guru baik secara pragmentaris, ringkasan cerita, atau
penyederhanaan cerita. untuk menentukan unsur intrinsik tokoh/penokohan, latar
cerita, alur cerita, tema, dan amanat. Fase
3. Siswa
mendiskusikan unsur intrinsik (tokoh/penokohan, latar, alur, tema dan amanat,
serta nilai moral, sosial, pendidikan). Selanjutnya siswa berbagi tugas
mengerjakan LKS dan membuat perencanaan (langkah) mentransformasi teks cerita. Kreasi transformasi mengubah karya sastra menjadi bentuk
gambar atau visual sesuai dengan langkah: (1) perencanaan (sesuai urutan
tabel), (2) menyusun
Skenario, panduan fitur-fitur gambar (karakter tokoh, latar adegan, dan balon
kata), (3)
me-lay out gambar, narasi, dan balon kata. Fase 4. Siswa secara berkelompok saling mengomentari gambar yang dibuat
kelompok lain. Dengan bimbingan guru praktik siswa mendiskusikan fitur-fitur
gambar yang sesuai dengan karakter dalam cerita. Fase 5. Revisi dan editing gambar berdasarkan masukan dari kelompok
lain dan guru. Fase 6. Fase terakhir adalah publikasi hasil.
Gambar diharapkan selesai dengan baik. Sesuai dengan proses kreatif siswa
diberi kebebasan berimajinasi. Fitur-fitur yang disediakan boleh diubah atau
disesuaikan derngan minat siswa.Proses kerja model
pembelajaran membaca apresiatif terdiri atas 6 Fase. Fase 1
III. Simpulan
Dari kegiatan estetis-reseptif kritis-kreatif tercipta
pembelajaran yang mampu mendorong siswa untuk mencurahkan berbagai ide dan
berimajinasi secara kritis dan kreatif. Siswa memperoleh pengalaman berapresiasi dan berekspresi sastra.
Pembelajaran membaca apresiatif merupakan suatu tindakan
dalam melakukan pengembangan kemampuan menuju suatu kondisi yang diharapkan. Penyusunan
dan penerapan model pembelajaran ini didasarkan
atas kajian terhadap kesesuaian desain
pembelajaran dengan kriteria penyusunan, urutan isi, dan susunan materi
pembelajaran.
Pembelajaran membaca apresiatif dengan
strategi (proses) estetis-reseptif kritis-kreatif terdiri atas 6 fase. Kegiatan awal
pembelajaran merupakan kegiatan
pendahuluan dan pengatar ke arah pelaksanakan model. Kegiatan inti
pembelajaran terdidi
atas 3 fase utama (fase 1 sampai
dengan fase 3). Proses kegiatan secara berkelompok siswa berbagi tugas mengerjakan LKS dan membuat perencanaan
(langkah) mentransformasi teks cerita: (a) perencanaan (sesuai urutan tabel),
(b) Menyusun Skenario, (c) Me-layout
gambar, narasi, dan balon kata. Dengan
panduan fitur-fitur gambar siswa berkreasi menyusun adegan gambar sesuai dengan
alur cerita. Kegiatan akhir, guru
dan siswa merefleksi pembelajaran. Selanjutnya, siswa melaksanakan teks akhir
(pascates).
Kesesuaian
antara langkah-langkah yang ditempuh guru dan siswa dengan prosedur
pembelajaran didasarkan
pada kesesuaian
alat evaluasi dalam mengukur: (1) kemampuan membaca apresiatif siswa sebagai
kegiatan estetik-reseptif dan kritis-kreatif; (2) kemampuan mentransformasi teks cerita rakyat melalui
penguatan bentuk cerita bergambar, sebagai kegiatan produk.
IV. Pustaka Rujukan
Arends, Richard I.
2008. Learning to Teach. Belajar untuk Mengajar. Buku Satu dan Buku Dua Terjemahan, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Culler,
Jonatahan. 2000. Literary Theory A Verry Short Introduction. New York: by Oxford University Press Inc.
Eagleton,
Terry. 2008. Literary Theory An
Introduction. (Teori Sastra Pengantar Komprehensif) (Edisi Terbaru).
Terjemahan Harfiah Widyawati dan Evi Setyarini. Yogyakarta dan Bandung:
Percetakan Jalasutra.
Iser, Wolfgang. 1987. The Act of Reading.
Baltimore and London: The Johns Hopkins University Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Antropologi
Sastra Peranan Unsur-Unsur
Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Riffaterre, M. 1978. Semiotics
of Poetry. ‘Penciptaan Teks’
Diterjemahkan Oleh Suminto A. Sayuti. London : Routledge & Kegan Paul.
Santrock, John W. Psikologi Pendidikan. Educational
Psychology. Buku1. Jakarta: Salemba Humanika.
Segers,
Rien T. Evaluasi Teks Sastra. 2000. Diterjemahkan oleh Suminto A.
Sayuti. Yogyakarta: AdiCinta.
Slavin,
Robert E. 2011 Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik. Jilid 1 dan Jilis 2. Terjemahan.
Jakarta: PT Indeks.
Teeuw. A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Wellek,
R. dan Warren, A. 1956. Theory of Literature. New York: Harcout, Barance
and Company.