Rabu, 29 April 2015

Model Pengajaran Menulis Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing Tingkat Lanjut (Studi Lapangan di SMA Lab School UPI Bandung Tahun 2008/2009)



Model Pengajaran Menulis Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing Tingkat Lanjut
(Studi Lapangan di SMA Lab School UPI Bandung Tahun 2008/2009)


Titin Setiartin
FKIP Universitas Siliwangi Tasikmalaya

A. Pengajaran Keterampilan Menulis
       Mahasiswa asing yang belajar di Indonesia, di samping mempelajari ilmunya, ia juga harus belajar bahasa Indonesia. Belajar bahasa Indonesia berarti ia harus belajar mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia. Menulis adalah sebuah keterampilan berbahasa yang terpadu, yang ditujukan untuk menghasilkan sesuatu yang disebut tulisan.
       Sekurang-kurangnya, ada tiga komponen yang tergabung dalam perbuatan menulis, yaitu: (1) penguasaan bahasa tulis, yang akan berfungsi sebagai media tulisan, meliputi: kosakata, struktur kalimat, paragraf, ejaan, pragmatik, dan sebagainya; (2) penguasaan isi karangan sesuai dengan topik yang akan ditulis; dan (3) penguasaan tentang jenis-jenis tulisan, yaitu bagaimana merangkai isi tulisan dengan menggunakan bahasa tulis sehingga membentuk sebuah komposisi yang diinginkan, seperti esai, artikel, cerita pendek, makalah, dan sebagainya.
       Seorang penutur asing tidak akan mungkin terampil menulis kalau hanya menguasai satu atau dua komponen saja di antara ketiga komponen tersebut. Betapa banyak penutur asing yang menguasai bahasa Indonesia secara tertulis tetapi tidak dapat menghasilkan tulisan karena tidak tahu apa yang akan ditulis dan bagaimana menuliskannya. Betapa banyak pula penutur asing yang mengetahui banyak hal untuk ditulis dan tahu pula menggunakan bahasa tulis tetapi tidak dapat menulis karena tidak tahu caranya. Dalam makalah ini akan dibahas model pengajaran menulis bahasa Indonesia bagi penutur asing tingkat lanjut khususnya mereka yang belajar berbagai ilmu di Indonesia.
       Menulis bukan pekerjaan yang sulit melainkan juga tidak mudah. Untuk memulai menulis, setiap penulis tidak perlu menunggu menjadi seorang penulis yang terampil. Belajar teori menulis itu mudah, tetapi untuk mempraktikkannya tidak cukup sekali dua kali. Frekuensi latihan menulis akan menjadikan seseorang terampil dalam bidang tulis-menulis.
       Tidak ada waktu yang tidak tepat untuk memulai menulis. Artinya, kapan pun, di mana pun, dan dalam situasi yang bagaimana pun seorang penutur asing yang belajar di Indonesia dapat melakukannya. Ketakutan akan kegagalan bukanlah penyebab yang harus dipertahankan. Itulah salah satu kiat, teknik, dan strategi yang ditawarkan oleh David Nunan (1991: 86—90) dalam bukunya Language Teaching Methodology. Dia menawarkan suatu konsep pengembangan keterampilan menulis yang meliputi: (1) perbedaan antara bahasa lisan dan bahasa tulisan, (2) menulis sebagai suatu proses dan menulis sebagai suatu produk, (3) struktur generik wacana tulis,  (4) perbedaan antara penulis terampil dan penulis yang tidak terampil, dan (5) penerapan keterampilan menulis dalam proses pembelajaran.
       Pertama, perbedaan antara bahasa lisan dan bahasa tulisan tampak pada fungsi dan karakteristik yang dimiliki oleh keduanya. Namun demikian, yang patut diperhatikan adalah keduanya harus memiliki fungsi komunikasi. Dari sudut pandang inilah dapat diketahui sejauh mana hubungan antara bahasa lisan dan bahasa tulis, sehingga dapat diaplikasikan dalam kegiatan komunikasi.
       Dalam berkomunikasi sehari-hari, salah satu alat yang paling sering digunakan adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulis. Begitu dekatnya kita kepada bahasa tadi, terutama bahasa Indonesia, sehingga tidak dirasa perlu untuk mendalami dan mempelajari bahasa Indonesia secara lebih jauh dan lebih mendalam. Akibatnya, sebagai pemakai bahasa, orang Indonesia kadang-kadang tidak terampil menggunakan bahasanya sendiri dibandingkan dengan orang asing yang belajar bahasa Indonesia. Hal ini merupakan suatu kelemahan yang tidak kita sadari.
            Kedua, pandangan bahwa keterampilan menulis sebagai suatu proses dan menulis sebagai suatu produk. Pendekatan yang berorientasi pada proses lebih memfokuskan pada aktivitas belajar (proses menulis); sedangkan pendekatan yang berorientasi pada produk lebih memfokuskan pada hasil belajar menulis yaitu wujud tulisan.
       Ketiga, struktur generik wacana dari masing-masing jenis karangan (tulisan) tidak menunjukkan perbedaan yang mencolok. Hanya saja pada jenis karangan narasi menunjukkan struktur yang lengkap, yang meliputi orientasi, komplikasi, dan resolusi. Hal ini menjadi ciri khas jenis karangan/tulisan ini.
       Keempat, untuk menambah wawasan tentang keterampilan menulis, setiap penulis perlu mengetahui penulis yang terampil dan penulis yang tidak terampil. Tujuannya adalah agar dapat mengikuti jalan pikiran (penalaran) dari keduanya. Kita dapat mengetahui kesulitan yang dialami penulis yang tidak terampil (baca: pemula, awal). Salah satu kesulitan yang dihadapinya adalah ia kurang mampu mengantisipasi masalah yang ada pada pembaca. Adapun penulis terampil, ia mampu mengatakan masalah tersebut atau masalah lainnya, yaitu masalah yang berkenaan dengan proses menulis itu sendiri.
      Kelima, sekurang-kurangnya ada tiga proses menulis yang ditawarkan oleh David Nunan, yakni: (1) tahap prapenulisan, (2) tahap penulisan, dan (3) tahap perbaikan. Untuk menerapkan ketiga tahap menulis tersebut diperlukan keterampilan memadukan antara proses dan produk menulis.
       Menulis pada dasarnya merupakan suatu kegiatan yang produktif dan ekspresif. Dalam kegiatan menulis ini seorang penulis harus terampil memanfaatkan grafologi, struktur bahasa, dan kosakata. Keterampilan menulis digunakan untuk mencatat, merekam, meyakinkan, melaporkan, menginformasikan, dan mempengaruhi pembaca. Maksud dan tujuan seperti itu hanya dapat dicapai dengan baik oleh para pembelajar yang dapat menyusun dan merangkai jalan pikiran dan mengemukakannya secara tertulis dengan jelas, lancar, dan komunikatif. Kejelasan ini bergantung pada pikiran, organisasi, pemakaian dan pemilihan kata, dan struktur kalimat (McCrimmon, 1967: 122).

B. Pendekatan Pengajaran Menulis: Tradisional dan Proses


       Pembelajaran menulis dengan pendekatan tradisional lebih menekankan pada hasil berupa tulisan yang telah jadi, tidak pada apa yang dikerjakan pembelajar ketika menulis. Pembelajar berpraktik menulis, mereka tidak mempelajari bagaimana cara menulis yang baik. Temuan penelitian mengenai menulis menyebabkan bergesernya penekanan pembelajaran menulis dari hasil (tulisan) ke proses menulis yang terlibat dalam menghasilkan tulisan. Peran pengajar dalam pembelajaran menulis dengan pendekatan proses tidak hanya memberikan tugas menulis dan menilai tulisan para pembelajar, tetapi juga membimbing pembelajar dalam proses menulis (Tompkins, 1990: 69).
      Perbedaan antara pendekatan tradisional dan pendekatan keterampilan proses dalam pembelajaran menulis bahasa Indonesia bagi penutur asing tingkat lanjut sebagaimana dikemukakan Tompkins (1990: 70) dapat dilihat pada bagan berikut.

Pendekatan Tradisional dan Keterampilan Proses dalam Menulis

No.
Komponen
Pendekatan Tradisional
Pendekatan Proses
1
Pilihan Topik
Tugas menulis kreatif yang spesifik diberikan oleh pengajar
Pembelajar memilih topik sendiri, atau topik-topik yang diambil dari bidang studi lain
2
Pembelajaran
Pengajar hanya sedikit atau tidak memberikan pelajaran.
Pembelajar diharapkan menulis sebaik-baiknya
Pengajar mengajar pembelajar mengenai proses menulis dan mengenai bentuk-bentuk tulisan
3
Fokus
Berfokus pada tulisan yang sudah jadi
Berfokus pada proses yang digunakan pembelajar ketika menulis
4
Rasa Memiliki
Pembelajar menulis untuk pengajar dan kurang merasa memiliki  tulisan sendiri
Pembelajar merasa memiliki tulisan sendiri.

5
Pembaca
Pengajar merupakan pembaca utama
Pembelajar menulis untuk pembaca yang sesungguhnya
6
Kerja Sama
Hanya sedikit atau tidak ada kerja sama
Pembelajar menulis dengan bekerja sama dan berbagi tulisan yang dihasilkan masing-masing dengan teman-teman satu kelompok/kelas
7
Draft
Pembelajar menulis draft tunggal dan harus memusatkan pada isi sekaligus segi mekanik (ejaan, tanda baca, tata tulis)
Pembelajar menulis draft kasar (outline) untuk menuangkan gagasan dan kemudian merevisi dan menyunting draft ini sebelum membuat hasil akhir
8
Kesalahan Mekanik
Pembelajar dituntut untuk menghasilkan tulisan yang bebas dari kesalahan
Pembelajar mengoreksi kesalahan sebanyak-banyaknya selama menyunting, tetapi tekanannya lebih besar pada isi daripada segi mekanik
9
Peran Pengajar
Pengajar memberikan tugas menulis dan menilainya jika tulisan sudah jadi
Pengajar mengajarkan cara menulis dan memberikan balikan selama pembelajar merevisi dan mengedit/menyunting
10
Waktu
Pembelajar menyelesaikan tulisan dalam satu jam pelajaran
Pembelajar mungkin menghabiskan waktu tidak hanya satu jam pelajaran untuk mengerjakan setiap tugas menulis
11
Evaluasi
Pengajar mengevaluasi kualitas tulisan setelah tulisan selesai disusun
Pengajar memberikan balikan selama pembelajar menulis, sehingga pembelajar dapat memanfaatkannya untuk memperbaiki tulisannya. Evaluasi berfokus pada proses dan hasil.
               
       Dari kedua pendekatan pengajaran menulis seperti tertera pada bagan di atas dapat diketahui kelemahan dan keunggulannya. Pada pendekatan tradisional, pengajar memberikan topik tulisan dan setelah pembelajar mengerjakan tugas tersebut selama setengah atau tiga per empat jam (satu jam pelajaran), pengajar mengumpulkan pekerjaan pembelajar untuk dievaluasi. Dengan model pembelajaran seperti ini biasanya hanya sedikit saja pembelajar yang dapat menghasilkan tulisan yang baik. Sebagian besar pembelajar biasanya hanya menghasilkan tulisan yang kurang baik. Pengalaman di lapangan dalam memberikan proses pembelajaran terhadap penutur asing menunjukkan bahwa kadang-kadang mereka hanya dapat menghasilkan beberapa kalimat saja. Dalam kondisi semacam ini pembelajar tidak mempelajari bagaimana cara menulis. Mereka dihadapkan pada tugas sulit yang harus mereka kerjakan tanpa memperoleh penjelasan mengenai cara mengatasi kesulitan yang mereka hadapi.
       Menyadari terhadap kenyataan yang tidak menguntungkan bagi upaya pengembangan keterampilan menulis bahasa Indonesia bagi penutur asing tingkat lanjut seperti digambarkan di atas, seyogianya dapat diterapkan model/pendekatan keterampilan proses dalam pembelajaran menulis. Untuk itu, terlebih dahulu perlu diketahui proses kreatif dalam menulis.

C. Proses Kreatif  dalam Menulis

       Menulis merupakan suatu proses kreatif  yang banyak melibatkan cara berpikir divergen (menyebar) daripada konvergen (memusat) (Supriadi, 1997). Menulis tidak ubahnya dengan melukis. Penulis memiliki banyak gagasan dalam menuliskannya. Kendatipun secara teknis ada kriteria-kriteria yang dapat diikutinya, tetapi wujud yang akan dihasilkan itu sangat bergantung pada kepiawaian penulis dalam mengungkapkan gagasan. Banyak orang mempunyai ide-ide bagus di benaknya sebagai hasil dari pengamatan, penelitian, diskusi, atau membaca. Akan tetapi, begitu ide tersebut dilaporkan secara tertulis, laporan itu terasa amat kering, kurang menggigit, dan membosankan. Fokus tulisannya tidak jelas, gaya bahasa yang digunakan monoton, pilihan katanya (diksi) kurang tepat dan tidak mengena sasaran, serta variasi kata dan kalimatnya kering.
       Sebagai proses kreatif yang berlangsung secara kognitif, penyusunan sebuah tulisan memuat empat tahap, yaitu: (1) tahap persiapan (prapenulisan), (2) tahap inkubasi, (3) tahap iluminasi, dan (4) tahap verifikasi/evaluasi. Keempat proses ini tidak selalu disadari oleh para pembelajar bahasa Indonesia sebagai bahasa asing. Namun, jika dilacak lebih jauh lagi, hampir semua proses menulis (esai, opini/artikel, karya ilmiah, artistik, atau bahkan masalah politik sekali pun) melalui keempat tahap ini. Harap diingat, bahwa proses kreatif tidak identik dengan proses atau langkah-langkah mengembangkan laporan tetapi lebih banyak merupakan proses kognitif atau bernalar.
       Pertama, tahap persiapan atau prapenulisan adalah ketika pembelajar menyiapkan diri, mengumpulkan informasi, merumuskan masalah, menentukan fokus, mengolah informasi, menarik tafsiran dan inferensi terhadap realitas yang dihadapinya, berdiskusi, membaca, mengamati, dan lain-lain yang memperkaya masukan kognitifnya yang akan diproses selanjutnya.
       Kedua, tahap inkubasi adalah ketika pembelajar memproses informasi yang dimilikinya sedemikian rupa, sehingga mengantarkannya pada ditemukannya pemecahan masalah atau jalan keluar yang dicarinya. Proses inkubasi ini analog dengan ayam yang mengerami telurnya sampai telur menetas menjadi anak ayam. Proses ini seringkali terjadi secara tidak disadari, dan memang berlangsung dalam kawasan bawah sadar (subconscious) yang pada dasarnya melibatkan proses perluasan pikiran (expanding of the mind). Proses ini dapat berlangsung beberapa detik sampai bertahun-tahun. Biasanya, ketika seorang penulis melalui proses ini seakan-akan ia mengalami kebingungan dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Oleh karena itu, tidak jarang seorang penulis yang tidak sabar mengalami frustrasi karena tidak menemukan pemecahan atas masalah yang dipikirkannya. Seakan-akan kita melupakan apa yang ada dalam benak kita. Kita berekreasi dengan anggota keluarga, melakukan pekerjaan lain, atau hanya duduk termenung. Kendatipun demikian, sesungguhnya di bawah sadar kita sedang mengalami proses pengeraman yang menanti saatnya untuk segera “menetas”.
       Ketiga, tahap iluminasi adalah ketika datangnya inspirasi atau insight, yaitu gagasan datang seakan-akan tiba-tiba dan berloncatan dari pikiran kita. Pada saat ini, apa yang telah lama kita pikirkan menemukan pemecahan masalah atau jalan keluar. Iluminasi tidak mengenal tempat atau waktu. Ia bisa datang ketika kita duduk di kursi, sedang mengendarai mobil, sedang berbelanja di pasar atau di supermarket, sedang makan, sedang mandi, dan lain-lain.
       Jika hal-hal itu terjadi, sebaiknya gagasan yang muncul dan amat dinantikan itu segera dicatat, jangan dibiarkan hilang kembali sebab momentum itu biasanya tidak berlangsung lama. Tentu saja untuk peristiwa tertentu, kita menuliskannya setelah selesai melakukan pekerjaan. Jangan sampai ketika kita sedang mandi, misalnya, kemudian keluar hanya untuk menuliskan gagasan. Agar gagasan tidak menguap begitu saja, seorang pembelajar menulis yang baik selalu menyediakan ballpoint atau pensil dan kertas di dekatnya, bahkan dalam tasnya ke mana pun ia pergi.
       Seringkali orang menganggap iluminasi ini sebagai ilham. Padahal, sesungguhnya ia telah lama atau pernah memikirkannya. Secara kognitif, apa yang dikatakan ilham tidak lebih dari proses berpikir kreatif. Ilham tidak datang dari kevakuman tetapi dari usaha dan ada masukan sebelumnya terhadap referensi kognitif seseorang.
      Keempat, tahap terakhir yaitu verifikasi, apa yang dituliskan sebagai hasil dari tahap iluminasi itu diperiksa kembali, diseleksi, dan disusun sesuai dengan fokus tulisan. Mungkin ada bagian yang tidak perlu dituliskan, atau ada hal-hal yang perlu ditambahkan, dan lain-lain. Mungkin juga ada bagian yang mengandung hal-hal yang peka, sehingga perlu dipilih kata-kata atau kalimat yang lebih sesuai, tanpa menghilangkan esensinya. Jadi, pada tahap ini kita menguji dan menghadapkan apa yang kita tulis itu dengan realitas sosial, budaya, dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.

D. Proses Pembelajaran Menulis

       Berdasarkan hasil penelitian yang diadakan terhadap tulisan mahasiswa, Flower dan Hayes (lewat Tompkins, 1990: 71) mengembangkan model proses dalam menulis. Proses menulis dapat dideskripsikan sebagai proses pemecahan masalah yang kompleks, yang mengandung tiga elemen, yaitu lingkungan tugas, memori jangka panjang penulis, dan proses menulis. Pertama, lingkungan tugas adalah tugas yang penulis kerjakan dalam menulis. Kedua, memori jangka panjang penulis adalah pengetahuan mengenai topik, pembaca, dan cara menulis. Ketiga, proses menulis meliputi tiga kegiatan, yaitu: (1) merencanakan (menentukan tujuan untuk mengarahkan tulisan), (2) mewujudkan (menulis sesuai dengan rencana yang sudah dibuat), dan (3) merevisi (mengevaluasi dan merevisi tulisan).
       Ketiga kegiatan tersebut tidak merupakan tahap-tahap yang linear, karena penulis terus-menerus memantau tulisannya dan bergerak maju mundur (Zuchdi, 1997: 6). Peninjauan kembali tulisan yang telah dihasilkan ini dapat dianggap sebagai komponen keempat dalam proses menulis. Hal inilah yang membantu penulis dapat mengungkapkan gagasan secara logis dan sistematis, tidak mengandung bagian-bagian yang kontradiktif. Dengan kata lain, konsistensi (keajegan) isi gagasan dapat terjaga.
       Berkaitan dengan tahap-tahap proses menulis, Tompkins (1990: 73) menyajikan lima tahap, yaitu: (1) pramenulis, (2) pembuatan draft, (3) merevisi, (4) menyunting, dan (5) berbagi (sharing). Tompkins juga menekankan bahwa tahap-tahap menulis ini tidak merupakan kegiatan yang linear. Proses menulis bersifat nonlinier, artinya merupakan putaran berulang. Misalnya, setelah selesai menyunting tulisannya, penulis mungkin ingin meninjau kembali kesesuaiannya dengan kerangka tulisan atau draft awalnya. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada setiap tahap itu dapat dirinci lagi. Dengan demikian, tergambar secara menyeluruh proses menulis, mulai awal sampai akhir menulis seperti berikut.
1.Tahap Pramenulis
            Pada tahap pramenulis, pembelajar melakukan kegiatan sebagai berikut:
  1. Menulis topik berdasarkan pengalaman sendiri
  2. Melakukan kegiatan-kegiatan latihan sebelum menulis
  3. Mengidentifikasi pembaca tulisan yang akan mereka tulis
  4. Mengidentifikasi tujuan kegiatan menulis
  5. Memilih bentuk tulisan yang tepat berdasarkan pembaca dan tujuan yang telah mereka tentukan
2. Tahap Membuat Draft
Kegiatan yang dilakukan oleh pembelajar pada tahap ini adalah sebagai berikut:
  1. Membuat draft kasar
  2. Lebih menekankan isi daripada tata tulis
3. Tahap Merevisi
            Yang perlu dilakukan oleh pembelajar pada tahap merevisi tulisan ini adalah sebagai berikut:
  1. Berbagi tulisan dengan teman-teman (kelompok)
  2. Berpartisipasi secara konstruktif dalam diskusi tentang tulisan teman-teman sekelompok atau sekelas
  3. Mengubah tulisan mereka dengan memperhatikan reaksi dan komentar baik dari pengajar maupun teman
  4. Membuat perubahan yang substantif pada draft pertama dan draft berikutnya, sehingga menghasilkan draft akhir
4. Tahap Menyunting
            Pada tahap menyunting, hal-hal yang perlu dilakukan oleh pembelajar adalah sebagai berikut:
  1. Membetulkan kesalahan bahasa tulisan mereka sendiri
  2. Membantu membetulkan kesalahan bahasa dan tata tulis tulisan mereka sekelas/sekelompok
  3. Mengoreksi kembali kesalahan-kesalahan tata tulis tulisan mereka sendiri
       Dalam kegiatan penyuntingan ini, sekurang-kurangnya ada dua tahap yang harus dilakukan. Pertama, penyuntingan tulisan untuk kejelasan penyajian. Kedua, penyuntingan bahasa dalam tulisan agar sesuai dengan sasarannya (Rifai, 1997: 105—106). Penyuntingan tahap pertama akan berkaitan dengan masalah komunikasi. Tulisan diolah agar isinya dapat dengan jelas diterima oleh pembaca. Pada tahap ini, sering kali penyunting harus mereorganisasi tulisan karena penyajiannya dianggap kurang efektif. Ada kalanya, penyunting terpaksa membuang beberapa paragraf atau sebaliknya, harus menambahkan beberapa kalimat, bahkan beberapa paragraf untuk memperlancar hubungan gagasan. Dalam melakukan penyuntingan pada tahap ini, penyunting sebaiknya berkonsultasi dan berkomunikasi dengan penulis. Pada tahap ini, penyunting harus luwes dan pandai-pandai menjelaskan perubahan yang disarankannya kepada penulis karena hal ini sangat peka. Hal-hal yang berkaitan dengan penyuntingan tahap ini adalah kerangka tulisan, pengembangan tulisan, penyusunan paragraf, dan kalimat.
       Kerangka tulisan merupakan ringkasan sebuah tulisan. Melalui kerangka tulisan, penyunting dapat melihat gagasan, tujuan, wujud, dan sudut pandang penulis. Dalam bentuknya yang ringkas itulah, tulisan dapat diteliti, dianalisis, dan dipertimbangkan secara menyeluruh, dan tidak secara lepas-lepas (Keraf, 1989: 134). Penyunting dapat memperoleh keutuhan sebuah tulisan dengan cara mengkaji daftar isi tulisan dan bagian pendahuluan. Jika ada, misalnya, dalam tulisan ilmiah atau ilmiah populer, sebaiknya bagian simpulan pun dibaca. Dengan demikian, penyunting akan memperoleh gambaran awal mengenai sebuah tulisan dan tujuannya. Gambaran itu kemudian diperkuat dengan membaca secara keseluruhan isi tulisan. Jika tulisan merupakan karya fiksi, misalnya, penyunting langsung membaca keseluruhan karya tersebut. Pada saat itulah, biasanya penyunting sudah dapat menandai bagian-bagian yang perlu disesuaikan.
       Berdasarkan kerangka tulisan tersebut dapat diketahui tujuan penulis. Selanjutnya, berdasarkan pengetahuan atas tujuan penulis, dapat diketahui bentuk tulisan dari sebuah naskah (tulisan). Pada umumnya, tulisan dapat dikelompokkan atas empat macam bentuk, yaitu narasi, deskripsi, eksposisi, dan argumentasi.
       Bentuk tulisan narasi dipilih jika penulis ingin bercerita kepada pembaca. Narasi biasanya ditulis berdasarkan rekaan atau imajinasi. Akan tetapi, narasi dapat juga ditulis berdasarkan pengamatan atau wawancara. Narasi pada umumnya merupakan himpunan peristiwa yang disusun berdasarkan urutan waktu atau urutan kejadian. Dalam tulisan narasi, selalu ada tokoh-tokoh yang terlibat dalam suatu atau berbagai peristiwa.
       Bentuk tulisan deskripsi dipilih jika penulis ingin menggambarkan bentuk, sifat, rasa, corak dari hal yang diamatinya. Deskripsi juga dilakukan untuk melukiskan perasaan, seperti bahagia, takut, sepi, sedih, dan sebagainya. Penggambaran itu mengandalkan pancaindera dalam proses penguraiannya. Deskripsi yang baik harus didasarkan pada pengamatan yang cermat dan penyusunan yang tepat. Tujuan deskripsi adalah membentuk, melalui ungkapan bahasa, imajinasi pembaca agar dapat membayangkan suasana, orang, peristiwa, dan agar mereka dapat memahami suatu sensasi atau emosi. Pada umumnya, deskripsi jarang berdiri sendiri. Bentuk tulisan tersebut selalu menjadi bagian dalam bentuk tulisan lainnya.
       Bentuk tulisan eksposisi dipilih jika penulis ingin memberikan informasi, penjelasan, keterangan atau pemahaman. Berita merupakan bentuk tulisan eksposisi karena memberikan informasi. Tulisan dalam majalah juga merupakan eksposisi. Buku teks merupakan bentuk eksposisi. Pada dasarnya, eksposisi berusaha menjelaskan suatu prosedur atau proses, memberikan definisi, menerangkan, menjelaskan, menafsirkan gagasan, menerangkan bagan atau tabel, mengulas sesuatu.Tulisan eksposisi sering ditemukan bersama-sama dengan bentuk tulisan deskripsi. Laras yang termasuk dalam bentuk tulisan eksposisi adalah buku resep, buku-buku pelajaran, buku teks, dan majalah.
       Tulisan berbentuk argumentasi bertujuan meyakinkan orang, membuktikan pendapat atau pendirian pribadi, atau membujuk pembaca agar pendapat pribadi penulis dapat diterima. Bentuk tulisan tersebut erat kaitannya dengan eksposisi dan ditunjang oleh deskripsi. Bentuk argumentasi dikembangkan untuk memberikan penjelasan dan fakta-fakta yang tepat sebagai alasan untuk menunjang kalimat topik. Kalimat topik, biasanya merupakan sebuah pernyataan untuk meyakinkan atau membujuk pembaca. Dalam sebuah majalah atau surat kabar, misalnya, argumentasi ditemui dalam kolom opini/wacana/gagasan/pendapat.
       Kendatipun keempat bentuk tulisan tersebut memiliki ciri masing-masing, mereka tidak secara ketat terpisah satu sama lain. Dalam sebuah kolom, misalnya, dapat ditemukan berbagai bentuk tulisan tersebut tersebar di dalam paragraf yang membangun kerangka tersebut. Oleh karena itu, penyunting berfungsi untuk mempertajam dan memperkuat pembagian paragraf. Pembagian paragraf terdiri atas paragraf pembuka, paragraf penghubung atau isi, dan paragraf penutup sering kali tidak diketahui oleh penulis. Masih sering ditemukan tulisan yang sulit dipahami karena pemisahan bagian-bagian atau pokok-pokoknya tidak jelas.
       Pemeriksaan atas kalimat merupakan penyuntingan tahap pertama juga. Pada tahap ini pun, sebaiknya penyunting berkonsultasi dengan penulis. Penyunting harus memiliki pengetahuan bahasa yang memadai. Dengan demikian, penyunting dapat menjelaskan dengan baik kesalahan kalimat yang dilakukan oleh penulis. Untuk itu, penyunting harus menguasai persyaratan yang tercakup dalam kalimat yang efektif. Kalimat yang efektif adalah kalimat yang secara jitu atau tepat mewakili gagasan atau perasaan penulis. Untuk dapat membuat kalimat yang efektif, ada tujuh hal yang harus diperhatikan, yaitu kesatuan gagasan, kepaduan, penalaran, kehematan atau ekonomisasi bahasa, penekanan, kesejajaran, dan variasi.
        Penyuntingan tahap kedua berkaitan dengan masalah yang lebih terperinci, lebih khusus. Dalam hal ini, penyunting berhubungan dengan masalah kaidah bahasa, yang mencakup perbaikan dalam kalimat, pilihan kata (diksi), tanda baca, dan ejaan. Pada saat penyunting memperbaiki kalimat dan pilihan kata dalam tulisan, ia dapat berkonsultasi dengan penulis atau langsung memperbaikinya. Hal ini bergantung pada keluasan permasalahan yang harus diperbaiki. Sebaliknya, masalah perbaikan dalam tanda baca dan ejaan dapat langsung dikerjakan oleh penyunting tanpa memberitahukan penulis. Perbaikan dalam tahap ini bersifat kecil, namun sangat mendasar.
5. Tahap Berbagi
       Tahap terakhir dalam proses menulis adalah berbagi (sharing) atau publikasi. Pada tahap berbagi ini, pembelajar:
  1. Mempublikasikan (memajang) tulisan mereka dalam suatu bentuk tulisan yang sesuai, atau
  2. Berbagi tulisan yang dihasilkan dengan pembaca yang telah mereka tentukan.

       Dari tahap-tahap pembelajaran menulis dengan pendekatan/model proses sebagaimana dijabarkan di atas dapat dipahami betapa banyak dan bervariasi kegiatan pembelajar dalam proses menulis. Keterlibatannya dalam berbagai kegiatan tersebut sudah barang tentu merupakan pelajaran yang sangat berharga guna mengembangkan keterampilan menulis. Kesulitan-kesulitan yang dialami oleh pembelajar pada setiap tahap, upaya-upaya mengatasi kesulitan tersebut, dan hasil terbaik yang dicapai oleh para pembelajar membuat mereka lebih tekun dan tidak mudah menyerah dalam mencapai hasil yang terbaik dalam mengembangkan keterampilan menulis.
       Pembelajaran menulis bagi penutur asing dengan menggunakan pendekatan keterampilan proses merupakan suatu alternatif untuk mencapai keterampilan menulis pembelajar secara efektif. Hal ini dimungkinkan karena diterapkannya  proses kreatif dalam menulis yang diimplementasikan melalui tahap-tahap kegiatan yang dapat dilakukan pembelajar (pramenulis, membuat draft, merevisi, menyunting, dan berbagi (sharing). Proses menulis itu tidak selalu bersifat linear tetapi dapat bersifat nonlinier, dan perlu disesuaikan dengan berbagai jenis tulisan yang mereka susun.

Daftar Pustaka


Keraf, Gorys. (1989). Komposisi. Flores: Nusa Indah.

McCrimmon, James M. (1967). Writing With a Purpose. Boston: Houghton Mifflin Company.

Nunan, David. (1991). Language Teaching Methodology. New York: Prentice Hall.

Rifai, Mien A. (1997). Pegangan Gaya Penulisan, Penyuntingan, dan Penerbitan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Supriadi, Dedi. (1997). Isu dan Agenda Pendidikan Tinggi di Indonesia. Jakarta: PT Rosda Jayaputra.

Tompkins, Gail E. (1990). Teaching Writing Balancing Process and Product. New York: Macmillan Publishing Company.

Zuchdi, Darmiyati. (1997). “Pembelajaran Menulis dengan Pendekatan Proses”, Karya Ilmiah disajikan dan dibahas pada Senat Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP Yogyakarta tanggal 15 November 1996 (tidak dipublikasikan). Yogyakarta: IKIP.




Akselerasi Pembelajaran Nilai-Nilai Karakter dalam Cerita Rakyat Melalui Pembelajaran Membaca Apresiatif



Akselerasi Pembelajaran Nilai-Nilai Karakter dalam Cerita Rakyat
Melalui Pembelajaran Membaca Apresiatif



Titin Setiartin



Abstrak
       Kepribadian dan jati diri bangsa yang terus berkembang dari  masa ke masa  dapat digali melalui sejarah perkembangan kebudayaan. Perkembangan kebudayaan nasional merupakan cerminan puncak kebudayaan di daerah-daerah seluruh Indonesia. Dalam rangka pembangunan budaya bangsa, pengenalan, pemahaman, dan penghayatan terhadap nilai-nilai kehidupan masyarakat masa lampau perlu terus dikembangkan. Hal ini diserbabkan, kepribadian dan jati diri bangsa tetap harus bersumber pada budaya bangsanya sendiri.
       Eksistensi setiap kebudayaan mengalami pergulatan utama melawan resiko dilupakan, hilang dalam sejarah, serta tidak diingat lagi. Bercerita merupakan cara paling tradisional melawan ‘lupa’ yang juga bertujuan untuk meneruskan cita-cita, idealisme, nilai-nilai, adat-istiadat, perilaku, dll, dalam kekayaan budaya suatu masyarakat kepada generasi selanjutnya. Perjuangan dan usaha mengenang harta warisan kebudayaan leluhur ini adalah bentuk awal kegiatan pendidikan. Oleh karena pendidikan selalu berkaitan dengan ingatan (memoria), maka risiko dilupakan merupakan ancaman konstan bagi setiap budaya lisan, sebab tergantung pada proses pewarisannya yang bersifat temporal seiring waktu kepunahan manusia sebagai pelaku.
       Karakter merupakan struktur antropologis manusia, tempat manusia menghayati kebebasannya dan mengatasi keterbatasan dirinya. Struktur antropologis melihat bahwa karakter bukan sekedar hasil dari sebuah tindakan, melainkan secara simultan merupakan hasil dan proses. Dinamika ini menjadi dialektika, terus menerus dalam diri manusia untuk menghayati kebebasannya dan mengatasi keterbatasannya. Sikap hidup pragmatis dari sebagian besar masyarakat Indonesia dewasa ini mengakibatkan terkikisnya nilai luhur budaya bangsa. Demikian pula budaya kekerasan dan anarkisme sosial turut memperparah kondisi sosial budaya bangsa Indonesia. Nilai kearifan lokal (local wisdom) yang santun, ramah, saling menghormati, arif, dan religius seakan terkikis dan tereduksi gaya hidup instan dan modern.   
       Kesusastraan Indonesia merupakan produk kebudayaan bangsa Indonesia. Selanjutnya, dikenal dengan Kebudayaan Nasional. Produk kebudayaan nasional bersumber dari berbagai kebudayaan daerah. Kebudayaan nasional yang bersumber dari kebudayaan daerah memiliki fungsi yang sangat penting dalam memantapkan jati diri bangsa.      
       Sebagai produk masyarakat masa lampau yang menyimpan informasi mengenai masa lampau, naskah cerita rakyat menjadi wahana kesadaran akan hakikat nilai-nilai kehidupan yang berasas kesinambungan/berkelanjutan. Cerita rakyat sebagai warisan budaya bangsa memiliki peran kesusastraan dari generasi ke generasi sebagai pangkal untuk menemukan akar budaya bangsa yang syarat dengan nilai-nilai jati diri bangsa. Cerita rakyat merupakan bagian produk sastra Indonesia. Sebagai produk budaya bangsa yang dapat memupuk kesadaran dan pemahaman tentang nasionalisme terhadap harkat dan martabat bangsa.
       Pengembangan pendidikan karakter menjadi pionir pemikiran tentang humanisme yang dapat ditanamkan sejak dini dan berkelanjutan.  Hal ini dapat dilakukan melalui falsafah  yang diwariskan Ki Hajar Dewantara. Guru dituntut untuk kembali seperti yang Ki Hajar Dewantara katakan yakni seorang yang ing ngarso sing tulodo, ing madyo mangun karso dan tut wuri handayani. Guru yang bukan hanya mengajar, tapi juga mendidik.  

Kata Kunci: Pembelajaran Nilai Karakter, Cerita Rakyat, membaca apresiatif


I.     Purwawacana
       Kondisi masyarakat dewasa ini sangat memprihatinkan. Perkelahian, pembunuhan, kesenjangan sosial, ketidakadilan, perampokan, korupsi, pelecehan seksual, penipuan, fitnah terjadi di mana-mana. Hal itu dapat diketahui lewat berbagai media cetak atau elektronik, seperti surat kabar, televisi atau  internet. Bahkan, tidak jarang kondisi seperti itu dapat disaksikan secara langsung di tengah masyarakat.
       Keprihatinan terhadap kondisi masyarakat yang demikian itu, menumbuhkan semangat untuk mengkaji sebabnya dan mencari pemecahannya. Penelitian dan seminar mengenai masalah itu telah berkali-kali yang diselenggarakan oleh berbagai instansi, baik pemerintah maupun swasta. Ujungnya adalah persamaaan persepsi terhadap pentingnya menggalakkan pendidikan karakter.
      Respon masyarakat terhadap pendidikan karakter berbeda-beda. Di kalangan kelompok pendidik muncul pendapat tentang perlunya pendidikan budi pekerti, sedangkan agamawan memandang perlunya penguatan pendidikan agama. Mereka yang berkecimpung di bidang politik mengusulkan revitalisasi pendidikan Pancasila. Dalam hal ini, Kemendiknas telah merespon berbagai pendapat itu dengan membentuk Tim Pengembang Pendidikan Karakter. Mungkin sudah saatnya kita kembali pada kearifan-kearifan lokal yang terdapat dalam cerita rakyat yang merupakan produk budaya yang luhur. Tidak ada salahnya kalau kita kembali menggali nilai karakter yang ada dalam kearifan lokal itu.
       Khazanah kesusastraan Indonesia yang bersumber dari kebudayaan Indonesia harus tetap menjadi kesadaran bersama bangsa Indonesia. Kesadaran kolektif sebagai bentuk pelestarian dan pemeliharaan aset budaya. Pelestarian dan  pemeliharaan aset budaya sebagai pengembangan pembentukan  karakter bangsa Indonesia harus berdasarkan kesadaran, keinginan, dan rekayasa dalam bentuk sastra dan kesusastraan. Teuw (1984:304) mengemukakan bahwa fungsi sastra dalam masyarakat bergerak dari fungsi estetik ke fungsi sosial dan agama. Hal ini menunjukkan bahwa sastra sangat berpengaruh terhadap pengembangan dan  pembentukan karakter masyarakatnya. Karya sastra sebagai produk budaya bangsa berkembang sejalan dengan perkembangan pola budaya dan pembentukan karakter bangsanya. Karya sastra sebagai produk masa lampau yang diwariskan menyimpan informasi mengenai berbagai kehidupan, seperti sosial, budaya, hukum, adat istiadat, politik, pemerintahan, ekonomi, ajaran moral, ajaran agama, dan sebagainya. (Soeratno, 2011:44)  Karya sastra masa lampau dapat dikenali dan diketahui melalui sejumlah naskah atau melalui cerita turun-temurun yang berkembang di masyarakat. Selanjutnya disebut sebagai cerita rakyat.
       Cerita rakyat  sebagai produk kisahan bangsa Indonesia dimiliki oleh setiap daerah yang menggunakan bahasa daerahnya seperti Melayu, Jawa, Sunda, Aceh, Minang, dan sebagainya tercipta pada masa lampau.  “Cerita rakyat dari zaman dahulu yang hidup di kalangan rakyat dan diwariskan secara lisan; rekaan cerita yang sengaja dikarang oleh pengarangnya sebagai hasil khayalan dari pengarang; cerita khayal; fiksi;--sejarah cerita rekaan yang mengandung unsur-unsur sejarah.” (Depdiknas, 1996:187). Cerita rakyat, apa pun dan bagaimana pun bentuknya; lisan atau tertulis; kisahan turun-temurun baik dalam bentuk dongeng, kepercayaan, legenda, fabel, asal-usul, silsilah  raja-raja atau babad, dsb.
       Cerita rakyat merupakan bagian dari produk folklor, adalah termasuk ke dalam bentuk kearifan lokal yang syarat nilai-nilai kehidupan. Nilai-nilai kehidupan masa lalu yang secara turun-temurun diwariskan untuk dijadikan falsafah budaya bangsa dalam membangun peradaban dan karakter bangsanya. Dalam kearifal lokal yang tersebar di Indonesia. Patut dicermati bahwa dalam cerita rakyat lisan yang disebarkan secara turun-temurun dari mulut ke mulut memiliki nilai-nilai karakter yang perlu diteladani. Nilai-nilai kehidupan masa lalu, misalnya nilai sosial, moral dan agama, pendidikan, budi pekerti, perlu kembali digali sebagai upaya membangun karakter bangsa.   
        Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003: 319), folklor memiliki makna adat istiadat tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan secara turun temurun, tetapi tidak dibukukan. Sedikit bebeda dengan pendapat Danandjaya (1997: 2) folklore adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device). Folklor  memiliki karateristik tersendiri yang membuatnya memiliki kedudukan yang berbeda dengan kebudayaan yang lainnya.
       Pembelajaran nilai-nilai karakter yang terkandung dalam cerita rakyat sudah seharusnya diajarkan kepada semua siswa pada semua tingkat dan satuan pendidikan  karakter jati diri bangsa dapat diaplikasikan melalui pembelajaran nilai-nilai karakter dalam cerita rakyat. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui pembelajaran membaca apresiatif dalam bentuk penjelajahan imajinasi. Dikatakan penjelajahan imajinasi karena apresiator pada ranah heurmeunetik mencoba menjelajah teks sastra yang mengandung makna-makna simbolik dan konotatif sebagai wujud kreativitas para narator.    
       Cerita rakyat sebagai karya sastra merupakan karya kreatif-imajinatif. Artinya kecendekiaan pengarang dalam mengemas gagasan yang berupa teks di dalamnya diwujudkan imajinasi-imajinasi/pencitraan yang melabelisasi karya sastra sebagai karya seni. Dari kegiatan membaca apresiasi melalui penjelajahan imajinasi diharapkan siswa dapat memahami dan memaknai nilai-nilai yang terdapat dalam cerita rakyat.

II.      Pembahasan
A.       Kajian Konsep Karakter
       Karakter menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti. Karakter dapat diartikan sebagai tabiat, yaitu perangai atau perbuatan yang selalu dilakukan atau kebiasaan. Suyanto (2009) mendefinisikan karakter sebagai cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun  negara. Pritchard  (1988: 467) mendefisikan karakter sebagai sesuatu yang berkaitan dengan kebiasaan hidup individu yang bersifat menetap dan cenderung positif.
       Karakter sebagai akhlak dapat bersifat positif atau negatif. Dalam pandangan agama terdapat akhlakul karimah (ahlak yang mulia) dan akhlakul madmumah (akhlak tercela).  Dalam akhlakul karimah tercakup 22 sifat terpuji, yaitu (1) sederhana, (2) rendah hati, (3) giat bekerja, (4) jujur, (5) memenuhi janji, (6) terpercaya, (7) konsisten/istiqomah, (8) berkemauan keras, (9) suka berterima kasih, (10) satria, (11) tabah, (12) lemah lembut, (13) ramah dan simpatik, (14) malu, (15) bersaudara, (16) belas kasih, (17) suka menolong, (18) menjaga kehormatan, (19) menjauhi syubhat, (20) pasrah kepada Allah, (21) berkorban untuk orang lain, (22) payayang.  Sementara  itu, lawan dari sifat-sifat terpuni itu termasuk akhlakul madmumah, seperti boros, sombong, malas.
       Menurut  Zulhan (2010: 2-5) karakter ada dua yaitu karakter positif baik (sehat) dan karakter buruk (tidak sehat). Tergolong karakter sehat yaitu  (1) afiliasi tinggi: mudah menerima orang lain sebagai sahabat, toleran, mudah berkerja sama, (2) power tinggi: cenderung menguasai teman-temannya dalam arti positif (pemimpin); (3) achieve: selalu termotivasi untuk berprestasi (4) asserte: lugas, tegas, tidak banyak bicara, (5) adventure: suka petualangan, suka mencoba hal baru. Sementara itu, karakter kurang sehat yaitu (1) nakal: suka membuat ulah, memancing kemarahan, (2) tidak teratur, tidak teliti, tidak cermat, meskipun kadang tidak disadari, (3) provokator: cenderung membuat ulah, mencari gara-gara, ingin mencari perhatian, (4) penguasa: cenderung menguasai teman-teman, mengintimidasi, (5) pembangkang: bangga kalau berbeda dengan orang lain, tidak ingin melakukan hal yang sama dengan orang lain, cenderung membangkang.
       Pusat Kurikulum Kementerian Pendidikan Nasional (2011:10) telah merumuskan materi pendidikan karakter yang mencakup aspek-aspek sebagai berikut: (1) religius, (2) jujur, (3) toleran, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat atau komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, tanggung jawab.  Sementara itu, Suyanto (2009) berpendapat ada sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu (1) cinta kepada Tuhan dan segenap ciptaannya, (2) kemandirian dan tanggung jawab, (3) kejujuran/amanah, diplomatis, (3) hormat dan santun, (5) dermawan, suka menolong dan gotong royong/kerja sama, (6) percaya diri dan pekerja keras (7) kepemimpinan dan keadilan, (8) baik dan rendah hati, (9) toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
       Pembelajaran nilai-nilai karakter dalam cerita rakyat  yang mengarah pada pengembangan karakter  siswa adalah pembelajaran yang mampu menumbuhkan dan meningkatkan secara fungsional pemahaman dan pengertian tentang manusia dan kemanusiaan. Pengertian manusia dan kemanusiaan akan menuntun siswa  mengenal nilai-nilai (sosial, moral, dan agama, dlam kemendiknas dikembangkan menjadi 17 karakter), mendapatkan ide-ide baru, meningkatkan pengetahuan sosial budaya. Semua ini dapat digali dari cerita rakyat yang diapresiasi siswa.
       Cerita rakyat yang syarat kearifan lokal harusnya diupayakan digali kembali menjadi bahan ajar dan pembelajaran apresiasi sastra,  sekaligus pembelajaran karakter. Di samping itu, pembelajaran nilai-nilai karakter cerita rakyat juga harus memperhatikan segi-segi yang tepat dan sesuai dengan perkembangan kognitif, siswa; membawakan nilai-nilai luhur kemanusiaan, serta dapat mendorong siswa  untuk berbuat baik. Hal ini dimungkinkan karena hakikatnya pembelajaran  sastra adalah sebagai media pencerahan mental dan intelektual siswa .
       Pembelajaran nilai-nilai karater cerita rakyat yang relevan untuk pengembangan karakter siswa adalah pembelajaran yang memungkinkan menumbuhkan kesadaran untuk menghargai budaya masyarakat di lingkungannya. Lebih jauh menghargai kearifan lokal yang ada di daerahnya. 
       Untuk membangun karakter dan kepribadian peserta didik yang berakhlak mulia, berkarakter kuat, seperti kreatif, kompetitif, disiplin, menjunjung semangat kebangsaan, serta siap untuk menjadi manusia yang tangguh dan untuk segera dapat memperbaiki berbagai permasalahan kepribadian dan moral, diperlukan buku-buku sastra cerita rakyat yang memenuhi kriteria keterbacaan siswa.

B.       Kajian Konsep Membaca Apresiatif (Estetis-Reseptif dan Kritis-Kreatif)

       Membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan, yang hendak disampaikan oleh penulis melalui media kata-kata/ bahasa tulis. Suatu proses yang menuntut agar kelompok kata yang merupakan suatu kesatuan akan terlihat dalam suatu pandangan sekilas, dan agar makna kata-kata secara individual akan dapat diketahui. Kalau hal ini tidak terpenuhi, maka pesan yang tersirat dan yang tersurat tidak akan tertangkap atau dipahami, dan proses membaca itu tidak terlaksana dengan baik (Hodgson,1960: 43-44 dalam Tarigan,1985: 7).
       Konsep Estetis-Reseptif dan Kritis-kreatif dalam Membaca Apresiatif peneliti jadikan tumpuan pengembangan model. Sebagaimana teori yang dikembangkan Segers (2000:35-47) bahwa secara metodologis estetika resepsi berusaha memulai arah baru dalam studi sastra, Segers berpandangan bahwa sebuah teks sastra seharusnya dipelajari (terutama) dalam kaitannya dengan reaksi pembaca. Dalam uraiannya, Segers memetakan estetika resepsi ke dalam tiga bagian utama, yaitu (1) konsep umum estetika resepsi, (2) penerapan praktis estetika resepsi, dan (3) kedudukan estetika resepsi dalam tradisi studi sastra.
       Sejalan dengan pendapat  Segers pada pemetaan (2) penerapan praktis estetika reseptif merupakan proses praktis dalam pembelajaran membaca apresiatif yang perlu dikembangkan. Beberapa alasan peneliti. Pertama,   pemetaan ini menjadi salah satu pendekatan ke arah penggalian interpretasi siswa untuk menemukan makna cerita rakyat. Peneliti berasumsi bahwa, aspek proses estetis-reseptif dalam membaca apresiatif menjadi acuan pertama ke arah kemampuan mentransformasi teks ke dalam bentuk gambar. Kedua,  pendekatan estetis-resepsi memiliki garis besar sebagai berikut: (1) bertolak dari hubungan antara teks sastra dan bagaimana reaksi pembacanya; (2) pengongkritan makna teks dilakukan melalui tanggapan pembacanya, sesuai dengan horizon harapannya; (3) imajinasi pembaca dimungkinkan oleh keakrabannya dengan sastra, kesanggupannya dalam memahami keadaan pada masanya juga masa-masa sebelumnya; dan (4) melalui kesan, pembaca dapat menyatakan tanggapannya terhadap suatu karya yang dibacanya. Garis besar ini, akan membekali siswa ke arah kemampuan membaca kritis-kreatif, sehingga proses kreatif akan lebih berkembang ketika siswa mentransformasikan teks cerita rakyat. Ketiga, penerapan praktis estetika-reseptif, menjadi wahana ke arah proses kritis-kreatif. Membaca kritis-kreatif merupakan suatu strategi membaca bertujuan untuk memahami bacaan dengan pelibatan tinggi tehadap makna  cerita rakyat Karena itu, proses kritis-kreatif secara praktis akan menggali jelajah imajinasi siswa ketika berupaya memvisualkan unsur-unsur teks cerita rakyat.
       Teori belajar mengajar membaca apresiatif ini berorientasi pada peranan siswa yang secara kooperatif dan kolaboratif melakukan pengkajian estetis, pemahaman kritis, dan penuangan kreatif.  Sebagaimana model transformasi teks sastra yang berorientasi pada teori William J.J. Gordon yaitu Synectic Teaching Models yang menurut pengelompokan Joyce dkk (2000: 19) termasuk ke dalam keluarga atau kelompok/rumpun The Information Processing Family Of Models. Tujuan umum dari model ini ialah membantu siswa untuk mengembangkan kreativitasnya terutama dalam hal peningkatan kemampuan membaca apresiatif melalui kerja kreatif.

C.       Kajian Komsep Cerita Rakyat
       Cerita rakyat dapat diartikan sebagai ekspresi budaya suatu masyarakat melalui bahasa tutur yang berhubungan langsung dengan berbagai aspek budaya, seperti agama dan kepercayaan, undang-undang, kegiatan ekonomi, sistem kekeluargaan, dan susunan nilai sosial masyarakat tersebut. Dahulu, cerita rakyat diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam masyarakat tertentu.
       Cerita rakyat biasanya digubah dari bahan-bahan sejarah atau disangkutpautkan dengan hal hal yang bersejarah, dengan bukti bukti seperti asal usul nama desa, senjata atau benda benda lain. Bukti-bukti itu secara langsung atau tidak langsung, berfungsi sebagai  kolektif penuturnya; sebagai identifikasi kebanggaan diri; maupun superioritas kelompok. Hanya bukti itu, tentu bukanlah fakta sejarah (his storiografy) (Rusyana, 1971: 408). Fakta fakta dalam cerita rakyat adalah fakta yang dibangun atau disisipi oleh sejumlah kebebasan imajinasi penuturnya, karena motif penyampaian fakta itu cenderung berbeda dengan motif penuturan fakta menurut ilmu sejarah. Motif dalam cerita rakyat diarahkan kepada fungsi untuk apa cerita itu.
       William Bascom (1965; dikutip pula oleh Danandjaja, 1984: 4) menunjukkan empat fungsi. Keempat fungsi itu ialah: (1) mencerminkan angan-angan, ide-ide kelompok; (2) sebagai sarana pengesahan pranata-pranata dan sistem kebudayaan; (3) sebagai alat pendidikan; dan (4) sebagai alat pemaksa serta pengawas. Pada sisi lain, ia juga bisa berfungsi untuk memberi hiburan, mengukuhkan rasa setiakawanan kelompok, sebagai sarana menyatakan protes sosial atau sebagai sarana memberikan tempat untuk melepaskan diri dari realitas yang dihadapi.
       Menurut Danandjaja (2001), ciri-ciri cerita rakyat, di antaranya sebagai berikut ini.
1.    Penyebaran dan pewarisannya dilakukan secara lisan.
2.    Bersifat tradisional, yakni hidup dalam suatu kebudayaan dalam waktu tidak kurang dari dua generasi.
3.    Bersifat lisan, sehingga terwujud dalam berbagai versi.
4.    Bersifat anonim, yakni nama penciptanya sudah tidak diketahui lagi. Maka, ia menjadi milik bersama dalam masyarakatnya.
5.    Mempunyai fungsi tertentu dalam masyarakatnya, misalnya sebagai media pendidikan, pengajaran moral, hiburan, proses sosial dan sebagainya.
6.    Bersifat pralogis, yakni mempunyai logika tersendiri yang tidak sesuai dengan logika ilmu pengetahuan, misalnya seorang tokoh adalah keturunan dewa atau proses kelahirannya tidak wajar seperti Karna dalam epos Mahabharata yang dilahirkan melalui kuping ibunya.
7.    Pada umumnya bersifat sederhana dan seadanya, terlalu spontan dan kadang kala kelihatan kasar, seperti yang terlihat pada anekdot dan sebagian cerita jenaka. Namun dalam perkembangannya, sebagian cerita rakyat telah disusun dalam bentuk bahasa yang lebih teratur dan halus.
8.    Pada umumnya cerita-cerita rakyat mengisahkan tentang terjadinya berbagai hal, seperti terjadinya alam semesta, manusia pertama, kematian, bentuk khas binatang, bentuk topografi, gejala alam tertentu, tokoh sakti yang lahir dari perkawinan sumbang, tokoh pembawa kebudayaan, makanan pokok (seperti padi, jagung, sagu, dsb.), asal mula nama suatu daerah atau tempat, tarian, upacara, binatang tertentu, dan lain-lain. Adapun tokoh-tokoh dalam cerita rakyat biasanya ditampilkan dalam berbagai wujud, baik berupa binatang, manusia maupun dewa, yang kesemuanya disifatkan seperti manusia.
       Cerita rakyat sangat digemari oleh warga masyarakat karena dapat dijadikan alat keteladanan dan pelipur lara, serta bersifat jenaka. Oleh karena itu, cerita rakyat biasanya mengandung ajaran budi pekerti atau pendidikan moral dan hiburan bagi masyarakat pendukungnya. Pada masa sebelum tersedianya pendidikan secara formal, seperti sekolah, cerita-cerita rakyat memiliki fungsi dan peranan yang amat penting sebagai media pendidikan bagi orang tua untuk mendidik anak dalam keluarga. Meskipun saat ini pendidikan secara formal telah tersedia, namun cerita-cerita rakyat tetap memiliki fungsi dan peranan penting, terutama dalam membina kepribadian anak dan menanamkan budi pekerti secara utuh dalam keluarga.  Umumnya suatu cerita rakyat yang hidup pada masyarakat, memiliki versinya sendiri baik dalam hal nama nama tokoh, perwatakan (characters); latar cerita (setting); dan alur cerita.

D.   Pembelajaran Nilai-Nilai Karakter dalam Cerita Rakyat
 Melalui Kegiatan Membaca Apresiatif

       Pembelajaran nilai-nilai karakter dalam cerita rakyat  yang mengarah pada pengembangan karakter  siswa adalah pembelajaran yang mampu menumbuhkan dan meningkatkan secara fungsional pemahaman dan pengertian tentang manusia dan kemanusiaan. Pengertian manusia dan kemanusiaan akan menuntun siswa  mengenal nilai-nilai (sosial, moral, dan agama, dalam kemendiknas dikembangkan menjadi 17 karakter), mendapatkan ide-ide baru, meningkatkan pengetahuan sosial budaya. Semua ini dapat digali dari cerita rakyat yang diapresiasi siswa.
       Cerita rakyat yang syarat kearifan lokal harusnya diupayakan digali kembali menjadi bahan ajar dan pembelajaran apresiasi sastra,  sekaligus pembelajaran karakter. Di samping itu, pembelajaran nilai-nilai karakter cerita rakyat juga harus memperhatikan segi-segi yang tepat dan sesuai dengan perkembangan kognitif, siswa; membawakan nilai-nilai luhur kemanusiaan, serta dapat mendorong siswa  untuk berbuat baik. Hal ini dimungkinkan karena hakikatnya pembelajaran  sastra adalah sebagai media pencerahan mental dan intelektual siswa .
       Pembelajaran nilai-nilai karater cerita rakyat yang relevan untuk pengembangan karakter siswa adalah pembelajaran yang memungkinkan menumbuhkan kesadaran untuk menghargai budaya masyarakat di lingkungannya. Lebih jauh menghargai kearifan lokal yang ada di daerahnya. 
       Untuk membangun karakter dan kepribadian peserta didik yang berakhlak mulia, berkarakter kuat, seperti kreatif, kompetitif, disiplin, menjunjung semangat kebangsaan, serta siap untuk menjadi manusia yang tangguh dan untuk segera dapat memperbaiki berbagai permasalahan kepribadian dan moral, diperlukan buku-buku sastra cerita rakyat yang memenuhi kriteria keterbacaan siswa.
       Cerita-cerita rakyat di Jawa Barat amat kaya, isinya tentang mitos, siluman, legenda, kehidupan rakyat sehari-hari, dan dongeng binatang yang  bersifat lokal. Sebagai contoh yang menarik, adalah cerita-cerita binatang yang khas Sunda, yakni Sakadang Kuya jeung Sakadang Monyet. Cerita binatang ini sering dilambangkan dalam alam pikir masyarakat Sunda. Yang terkenal adalah cerita kedua binatang tersebut, kura-kura dan kera, dalam tema mencuri hasil kebun pak tani. Dalam usaha mereka mencuri tanaman, kura-kura berhasil ditangkap pak tani. Ketika kura-kura dikurung pak tani, monyet datang dan diberi tahu kura-kura bahwa dirinya dikurung agar tak lari untuk dikawinkan dengan putri pak tani yang cantik.     
       Monyet bersedia bertukar tempat untuk menggantikan kura-kura di dalam kurungan. Pagi hari pak tani menjumpai kura-kura telah berganti monyet dan bermaksud untuk memotongnya. Mengetahui hal ini monyet pura-pura mati, dan pak tani membuang "mayat" monyet itu di sungai. Dengan begitu, monyet dan kura-kura pun bebas kembali.  Dalam cerita Sunda justru kedua binatang itu selamat semua akibat kecerdikan keduanya. Kura-kura dan monyet dalam cerita rakyat Sunda merupakan pasangan antagonis. Keduanya selalu berselisih adu kecerdasan. Namun selalu saling bertemu kembali.
       Kura-kura di pihak protagonis dan monyet pihak antagonis. Kura-kura simbol binatang air, monyet binatang gunung dan hutan. Apakah ini simbol budaya sawah Sunda melawan budaya ladang Sunda? Cerita binatang Kuya Jeung Monyet (kura-kura dan monyet) disatukan dalam bentuk paradoks dalam tokoh Si Kabayan. Tokoh ini kesatuan watak kura-kura dan monyet, kecerdasan dan kebodohan. Cerdas bagai kuya dan bodoh bagai monyet. Si Kabayan bisa jadi simbol Sunda-air dan Sunda-gunung sekaligus serta menjadi jati diri Sunda secara budaya. Si Kabayan adalah tokoh bodoh-pintar. Terkadang begitu bodohnya dan di lain saat begitu cerdasnya. Jika kita perhatikan, Kabayan sebagai tokoh bodoh selalu berhubungan dengan nilai-nilai rohaniah, sedangkan sebagai tokoh pintar selalu berhubungan dengan manusia lain. Kebodohan Kabayan adalah juga kebodohan kita secara rohani. Di hadapan nilai-nilai rohaniah-ketuhanan dan Illahiah, Kabayan digambarkan begitu bodohnya sehingga tidak mampu membedakan antara bayangan dan kenyataan.

III.   Purnawacana

Betapa banyak hal yang dapat kita ambil dari ragam budaya yang ada di Indonesia. Salah satu yang bisa kita jadikan sebagai bahan perenungan adalah banyaknya kearifan-kearifan lokal yang berupa folklor yang memiliki nilai filosofis yang tinggi baik itu berupa karya sastra tertulis maupun lisan berupa cerita rakyat. Cerita rakyat sebagai warisan nenek moyang bangsa Indonesia sebagai salah satu bentuk  kearifan lokal dapat menjadi pionir dalam mempercepat peningkatan pengembangan pendidikan karakter bangsa yang unggul. Cerita rakyat dapat menjadi wahana dalam mewujudkan  azas kehidupan dan falsafah hidup di masyarakat.
Kecenderungan masyarakat Indonesia pada saat ini, lebih condong pada kebudayaan-kebudayaan yang datang dari luar negara ini. Hal ini akan mengelupas instisari budaya sendiri, dan diganti dengan kebudayaan luar, yang akhirnya bangsa ini akan kehilangan jati diri yang sebenarnya. Hal ini dapat dikatakan bahwa bangsa ini telah mengalami “evolusi” kehidupan yang modern.
Sudah seharusnya kita sebagai pendidik  menggali dan menghidupkan kembali falsafah yang diwariskan Ki Hajar Dewantara. Tentu saja karena kita sebagai pendidi menjadi wajib mengembangkan pendidikan karakter kegiatan pembelajaran. Pengembangan pendidikan karakter bangsa akan berhasil jika semua guru memiliki komitmen dan secara professional bertanggung jawab terhadap kemajuan bangsa dan menanamkan karakter unggul.
       Aktualisasi ajaran Ki Hajar Dewantara di era globalisasi ini untuk membangun karakter bangsa, sudah sangat mendesak diterapkan. Kalau itu dilakukan, Indonesia akan bebas dari predikat negara terkorup, birokrasi terburuk, dan lainnya, yang kesemuanya itu disebabkan lemahnya sistem pendidikan yang berkarakter budaya Indonesia. Perlu langkah bersama untuk mewujudkannya, sehingga Indonesia berubah jadi bangsa berkarakter tinggi.


Sebagai salah satu bentuk kearifan lokal (folklorecerita rakyat) yang dapat dijadikan falsafah hidup, dapat diajarkan melalui kegiatan membaca apresiatif. Hal ini tentu saja dilakukan dalam kegiatan pembelajaran membaca. Dari kegiatan membaca apresiatif  ini akan menumbuhkan nilai karakter, baik dari sisi ketuhanan, moral, kecerdasan, maupun keilmiahan. Dengan hal ini pula, masyarakat secara tidak langsung telah dididik dirinya untuk dapat menjalani hidup dengan lebih baik, serta memiliki jati diri.
       Kegiatan pembelajaran membaca apresiatif akan lebih bermakna, apabila bacaan yang disajikan guru sarat nilai-nilai karakter dan memiliki keterbacan yang sesuai dengan psikologis semua tingkatan dalam satuan pendidikan siswa. Dalam hal ini, guru harus kreatif memilih dan memilah bahan bacaan. Banyak cerita rakyat  yang tersebar di masyarakat. Setiap daerah memiliki kearifan lokal cerita rakyat baik yang sudah dibukukan maupun yang belum (masih dalam cerita lisan). Pandai-pandailah guru mencari, memilih, dan memilah.
       Keberhasilan tidak akan terwujud apabila tidak ada usaha dan kerja keras. Untuk itu kita sebagai guru yang nota bene sebagai pendidik harus bertanggung jawab dan memiliki komitmen untuk keberhasilan pengembangan pendidikan karakter untuk anak-anak kita. Sudah waktunya guru melaksanakan tugas dengan berkarakter, tidak  sekedar melaksanakan tututan tugas hanya untuk mencapai target kurikulum.

IV.  Pustaka Acuan

Baried,  St. B., dkk. 1985.  Memahami Hikayat dalam Sastra Indonesia.  Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Bogdan, Robert C. dan Sari Knoop Biklen (1982) Qualitative Research for Education to Theory and Method, Boston: Allyn and Bacon Inc.
Brown, D. 2000. Principles of Language Learning and Teaching. San Fracisco: Longman.
Brown, D. 2001. Teaching By Prinsiple: An Interactive Approach to Language Pedagogy. San Fracisco: Longman.

Bunanta. 2004. Buku, Mendongeng, dan Minat Membaca. Jakarta : Pustaka Tangga.
Cox, C. 1999. Teaching Language Arts: A Student–and Response–Centered Clasroom. Boston: Allyn and Bacon.

Danandjaja, James. 2007. Folklor Indonesia. Jakarta : Graffiti Press
Endraswara, Suwardi.2002. Metode Penelitian Psikologi Sastra. Teori, Langkah, dan Penerapannya. Yogyakarta: MedPress.
Fang, L.Y. 1991. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta : Erlangga.
 Kakimashu, O. 2008.  Stories Behind  Bestseller Mangga, Kisah yang Tak Terungkap, Wawancara Mangaka, Karakter Expose, Proses Kreatif. Bandung : Bukukita.
 Rusyana, Yus. 1981. Sastra Lisan Nusantara. Bandung: Bandung: CV.Dipenogoro.
Rusyana. Yus. 1984. Metode Pengajaran sastra. Bandung: Gunung Larang.
Soekanto, S. 1998. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali P
Suyanto. 2009. Urgensi Pendidikan Karakter. www.andikdasmen.depdiknas.go.id/web/pages/urgensi.html.
Teeuw, A. 1984. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta : Gramedia.
Zuchdi, Darmiyati. 2011. Pendidikan Karakter dalam Perspektif Teori dan Praktik. Yogyakarta: UNY Press.

Zuhlan, Najib. 2011. Pendidikan Berbasis Karakter. Surabaya: JePe Press Media Utama