Akselerasi Pembelajaran Nilai-Nilai Karakter dalam Cerita Rakyat
Melalui Pembelajaran Membaca
Apresiatif
Titin Setiartin
Abstrak
Kepribadian
dan jati diri bangsa yang terus berkembang dari
masa ke masa dapat digali melalui
sejarah perkembangan kebudayaan. Perkembangan kebudayaan nasional merupakan
cerminan puncak kebudayaan di daerah-daerah seluruh Indonesia. Dalam rangka
pembangunan budaya bangsa, pengenalan, pemahaman, dan penghayatan terhadap
nilai-nilai kehidupan masyarakat masa lampau perlu terus dikembangkan. Hal ini
diserbabkan, kepribadian dan jati diri bangsa tetap harus bersumber pada budaya
bangsanya sendiri.
Eksistensi setiap kebudayaan mengalami
pergulatan utama melawan resiko dilupakan, hilang dalam sejarah, serta tidak
diingat lagi. Bercerita merupakan cara paling tradisional melawan ‘lupa’ yang
juga bertujuan untuk meneruskan cita-cita, idealisme, nilai-nilai,
adat-istiadat, perilaku, dll, dalam kekayaan budaya suatu masyarakat kepada
generasi selanjutnya. Perjuangan dan usaha mengenang harta warisan kebudayaan
leluhur ini adalah bentuk awal kegiatan pendidikan. Oleh karena pendidikan
selalu berkaitan dengan ingatan (memoria), maka risiko dilupakan merupakan
ancaman konstan bagi setiap budaya lisan, sebab tergantung pada proses
pewarisannya yang bersifat temporal seiring waktu kepunahan manusia sebagai
pelaku.
Karakter merupakan struktur antropologis
manusia, tempat manusia menghayati kebebasannya dan mengatasi keterbatasan
dirinya. Struktur antropologis melihat bahwa karakter bukan sekedar hasil dari
sebuah tindakan, melainkan secara simultan merupakan hasil dan proses. Dinamika
ini menjadi dialektika, terus menerus dalam diri manusia untuk menghayati
kebebasannya dan mengatasi keterbatasannya. Sikap
hidup pragmatis dari sebagian besar masyarakat Indonesia dewasa ini
mengakibatkan terkikisnya nilai luhur budaya bangsa. Demikian pula budaya kekerasan
dan anarkisme sosial turut memperparah kondisi sosial budaya bangsa Indonesia.
Nilai kearifan lokal (local wisdom)
yang santun, ramah, saling menghormati, arif, dan religius seakan terkikis dan
tereduksi gaya hidup instan dan modern.
Kesusastraan
Indonesia merupakan produk kebudayaan bangsa Indonesia. Selanjutnya, dikenal
dengan Kebudayaan Nasional. Produk kebudayaan nasional bersumber dari berbagai
kebudayaan daerah. Kebudayaan nasional yang bersumber dari kebudayaan daerah
memiliki fungsi yang sangat penting dalam memantapkan jati diri bangsa.
Sebagai
produk masyarakat masa lampau yang menyimpan informasi mengenai masa lampau,
naskah cerita rakyat menjadi wahana kesadaran akan hakikat nilai-nilai
kehidupan yang berasas kesinambungan/berkelanjutan.
Cerita rakyat sebagai warisan budaya bangsa memiliki peran kesusastraan dari
generasi ke generasi sebagai pangkal untuk menemukan akar budaya bangsa yang
syarat dengan nilai-nilai jati diri bangsa. Cerita rakyat merupakan bagian
produk sastra Indonesia. Sebagai produk budaya bangsa yang dapat memupuk
kesadaran dan pemahaman tentang nasionalisme terhadap harkat dan martabat
bangsa.
Pengembangan pendidikan karakter menjadi
pionir pemikiran tentang humanisme yang dapat ditanamkan sejak dini dan
berkelanjutan. Hal ini dapat dilakukan
melalui falsafah yang diwariskan Ki
Hajar Dewantara. Guru dituntut untuk kembali seperti yang Ki Hajar Dewantara
katakan yakni seorang yang ing ngarso sing tulodo, ing madyo mangun karso dan
tut wuri handayani. Guru yang bukan hanya mengajar, tapi juga mendidik.
Kata
Kunci: Pembelajaran Nilai Karakter, Cerita Rakyat, membaca apresiatif
I. Purwawacana
Kondisi masyarakat dewasa ini sangat
memprihatinkan. Perkelahian, pembunuhan, kesenjangan sosial, ketidakadilan,
perampokan, korupsi, pelecehan seksual, penipuan, fitnah terjadi di mana-mana.
Hal itu dapat diketahui lewat berbagai media cetak atau elektronik, seperti
surat kabar, televisi atau internet. Bahkan, tidak jarang kondisi seperti
itu dapat disaksikan secara langsung di tengah masyarakat.
Keprihatinan terhadap kondisi masyarakat
yang demikian itu, menumbuhkan semangat untuk mengkaji sebabnya dan mencari
pemecahannya. Penelitian dan seminar mengenai masalah itu telah berkali-kali
yang diselenggarakan oleh berbagai instansi, baik pemerintah maupun swasta.
Ujungnya adalah persamaaan persepsi terhadap pentingnya menggalakkan pendidikan
karakter.
Respon masyarakat terhadap pendidikan
karakter berbeda-beda. Di kalangan kelompok pendidik muncul pendapat tentang
perlunya pendidikan budi pekerti, sedangkan agamawan memandang perlunya
penguatan pendidikan agama. Mereka yang berkecimpung di bidang politik
mengusulkan revitalisasi pendidikan Pancasila. Dalam hal ini, Kemendiknas telah
merespon berbagai pendapat itu dengan membentuk Tim Pengembang Pendidikan
Karakter. Mungkin sudah saatnya kita kembali pada kearifan-kearifan lokal yang
terdapat dalam cerita rakyat yang merupakan produk budaya yang luhur. Tidak ada
salahnya kalau kita kembali menggali nilai karakter yang ada dalam kearifan
lokal itu.
Khazanah
kesusastraan Indonesia yang bersumber dari kebudayaan Indonesia harus tetap menjadi
kesadaran bersama bangsa Indonesia. Kesadaran kolektif sebagai bentuk
pelestarian dan pemeliharaan aset budaya. Pelestarian dan pemeliharaan aset budaya sebagai pengembangan
pembentukan karakter bangsa Indonesia
harus berdasarkan kesadaran, keinginan, dan rekayasa dalam bentuk sastra dan
kesusastraan. Teuw (1984:304) mengemukakan bahwa fungsi
sastra dalam masyarakat bergerak dari fungsi estetik ke fungsi sosial dan
agama. Hal ini menunjukkan bahwa sastra sangat berpengaruh terhadap
pengembangan dan pembentukan karakter
masyarakatnya. Karya sastra sebagai produk budaya bangsa berkembang sejalan
dengan perkembangan pola budaya dan pembentukan karakter bangsanya. “Karya sastra sebagai produk
masa lampau yang diwariskan menyimpan informasi mengenai berbagai kehidupan,
seperti sosial, budaya, hukum, adat istiadat, politik, pemerintahan, ekonomi,
ajaran moral, ajaran agama, dan sebagainya.” (Soeratno, 2011:44) Karya sastra masa lampau dapat dikenali dan
diketahui melalui
sejumlah naskah atau melalui cerita turun-temurun yang berkembang di
masyarakat. Selanjutnya disebut sebagai cerita rakyat.
Cerita rakyat
sebagai produk kisahan bangsa Indonesia dimiliki oleh setiap daerah yang
menggunakan bahasa daerahnya seperti Melayu, Jawa, Sunda, Aceh, Minang, dan
sebagainya tercipta pada masa lampau.
“Cerita rakyat dari zaman dahulu yang hidup di kalangan rakyat dan
diwariskan secara lisan; rekaan cerita yang sengaja dikarang oleh pengarangnya
sebagai hasil khayalan dari pengarang; cerita khayal; fiksi;--sejarah cerita
rekaan yang mengandung unsur-unsur sejarah.” (Depdiknas, 1996:187). Cerita
rakyat, apa pun dan bagaimana pun bentuknya; lisan atau tertulis; kisahan
turun-temurun baik dalam bentuk dongeng, kepercayaan, legenda, fabel,
asal-usul, silsilah raja-raja atau
babad, dsb.
Cerita rakyat merupakan bagian dari produk folklor,
adalah termasuk
ke dalam bentuk kearifan lokal yang syarat
nilai-nilai kehidupan. Nilai-nilai kehidupan masa lalu yang secara
turun-temurun diwariskan untuk dijadikan falsafah budaya bangsa dalam membangun
peradaban dan karakter bangsanya. Dalam kearifal lokal yang tersebar di
Indonesia. Patut dicermati bahwa dalam cerita rakyat lisan yang disebarkan
secara turun-temurun dari mulut ke mulut memiliki nilai-nilai karakter yang
perlu diteladani. Nilai-nilai kehidupan masa lalu, misalnya nilai sosial, moral
dan agama, pendidikan, budi pekerti, perlu kembali digali sebagai upaya
membangun karakter bangsa.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003: 319), folklor memiliki makna
adat istiadat tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan secara turun
temurun, tetapi tidak dibukukan. Sedikit bebeda dengan pendapat Danandjaya
(1997: 2) folklore adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang
tersebar dan diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja,
secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun
contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic
device). Folklor memiliki
karateristik tersendiri yang membuatnya memiliki kedudukan yang berbeda dengan
kebudayaan yang lainnya.
Pembelajaran nilai-nilai karakter yang terkandung dalam
cerita rakyat sudah seharusnya diajarkan kepada semua siswa pada semua tingkat
dan satuan pendidikan karakter jati diri
bangsa dapat diaplikasikan melalui pembelajaran nilai-nilai karakter dalam
cerita rakyat. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui pembelajaran membaca
apresiatif dalam bentuk penjelajahan imajinasi. Dikatakan penjelajahan
imajinasi karena apresiator pada ranah heurmeunetik mencoba menjelajah teks
sastra yang mengandung makna-makna simbolik dan konotatif sebagai wujud
kreativitas para narator.
Cerita
rakyat sebagai karya sastra merupakan karya kreatif-imajinatif. Artinya kecendekiaan pengarang dalam
mengemas gagasan yang berupa teks di dalamnya diwujudkan
imajinasi-imajinasi/pencitraan yang melabelisasi karya sastra sebagai karya
seni. Dari kegiatan membaca apresiasi melalui penjelajahan imajinasi diharapkan
siswa dapat memahami dan memaknai nilai-nilai yang terdapat dalam cerita
rakyat.
II. Pembahasan
A.
Kajian Konsep Karakter
Karakter menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti. Karakter
dapat diartikan sebagai tabiat, yaitu perangai atau perbuatan yang selalu
dilakukan atau kebiasaan. Suyanto (2009) mendefinisikan karakter sebagai cara
berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan
bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun
negara. Pritchard (1988: 467) mendefisikan karakter sebagai sesuatu yang
berkaitan dengan kebiasaan hidup individu yang bersifat menetap dan cenderung
positif.
Karakter sebagai akhlak dapat bersifat positif atau negatif. Dalam
pandangan agama terdapat akhlakul karimah (ahlak yang mulia) dan akhlakul
madmumah (akhlak tercela). Dalam akhlakul karimah tercakup 22 sifat
terpuji, yaitu (1) sederhana, (2) rendah hati, (3) giat bekerja, (4) jujur, (5)
memenuhi janji, (6) terpercaya, (7) konsisten/istiqomah, (8) berkemauan keras,
(9) suka berterima kasih, (10) satria, (11) tabah, (12) lemah lembut, (13)
ramah dan simpatik, (14) malu, (15) bersaudara, (16) belas kasih, (17) suka
menolong, (18) menjaga kehormatan, (19) menjauhi syubhat, (20) pasrah kepada
Allah, (21) berkorban untuk orang lain, (22) payayang. Sementara
itu, lawan dari sifat-sifat terpuni itu termasuk akhlakul madmumah, seperti boros,
sombong, malas.
Menurut Zulhan (2010: 2-5) karakter ada dua yaitu karakter positif
baik (sehat) dan karakter buruk (tidak sehat). Tergolong karakter sehat
yaitu (1) afiliasi tinggi: mudah menerima orang lain sebagai sahabat,
toleran, mudah berkerja sama, (2) power tinggi:
cenderung menguasai teman-temannya dalam arti positif (pemimpin); (3) achieve: selalu termotivasi untuk
berprestasi (4) asserte: lugas,
tegas, tidak banyak bicara, (5) adventure: suka petualangan, suka mencoba hal
baru. Sementara itu, karakter kurang sehat yaitu (1) nakal: suka membuat ulah,
memancing kemarahan, (2) tidak teratur, tidak teliti, tidak cermat, meskipun
kadang tidak disadari, (3) provokator: cenderung membuat ulah, mencari
gara-gara, ingin mencari perhatian, (4) penguasa: cenderung menguasai
teman-teman, mengintimidasi, (5) pembangkang: bangga kalau berbeda dengan orang
lain, tidak ingin melakukan hal yang sama dengan orang lain, cenderung
membangkang.
Pusat Kurikulum Kementerian Pendidikan Nasional (2011:10) telah merumuskan
materi pendidikan karakter yang mencakup aspek-aspek sebagai berikut: (1)
religius, (2) jujur, (3) toleran, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif,
(7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan,
(11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat atau
komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17)
peduli sosial, tanggung jawab. Sementara itu, Suyanto (2009) berpendapat
ada sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal,
yaitu (1) cinta kepada Tuhan dan segenap ciptaannya, (2) kemandirian dan
tanggung jawab, (3) kejujuran/amanah, diplomatis, (3) hormat dan santun, (5)
dermawan, suka menolong dan gotong royong/kerja sama, (6) percaya diri dan
pekerja keras (7) kepemimpinan dan keadilan, (8) baik dan rendah hati, (9)
toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
Pembelajaran
nilai-nilai karakter dalam cerita rakyat
yang mengarah pada pengembangan karakter siswa adalah
pembelajaran yang mampu menumbuhkan dan meningkatkan secara fungsional pemahaman
dan pengertian tentang manusia dan kemanusiaan. Pengertian
manusia dan kemanusiaan akan menuntun siswa mengenal
nilai-nilai (sosial, moral, dan agama, dlam kemendiknas dikembangkan menjadi 17
karakter), mendapatkan ide-ide baru, meningkatkan pengetahuan sosial budaya.
Semua ini dapat digali dari cerita rakyat yang diapresiasi siswa.
Cerita rakyat yang syarat kearifan lokal
harusnya diupayakan digali kembali menjadi bahan ajar dan pembelajaran
apresiasi sastra, sekaligus pembelajaran
karakter. Di samping itu, pembelajaran nilai-nilai karakter cerita rakyat juga
harus memperhatikan segi-segi yang tepat dan sesuai dengan perkembangan
kognitif, siswa;
membawakan nilai-nilai luhur kemanusiaan, serta dapat mendorong siswa untuk
berbuat baik. Hal ini dimungkinkan karena hakikatnya pembelajaran sastra adalah sebagai media
pencerahan mental dan intelektual siswa .
Pembelajaran
nilai-nilai karater cerita rakyat yang relevan untuk pengembangan karakter
siswa adalah pembelajaran yang memungkinkan menumbuhkan kesadaran untuk
menghargai budaya masyarakat di lingkungannya. Lebih jauh menghargai kearifan
lokal yang ada di daerahnya.
Untuk membangun karakter dan kepribadian
peserta didik yang berakhlak mulia, berkarakter kuat, seperti kreatif,
kompetitif, disiplin, menjunjung semangat kebangsaan, serta siap untuk menjadi
manusia yang tangguh dan untuk segera dapat memperbaiki berbagai permasalahan
kepribadian dan moral, diperlukan buku-buku sastra cerita rakyat yang memenuhi
kriteria keterbacaan siswa.
B. Kajian Konsep Membaca Apresiatif (Estetis-Reseptif
dan Kritis-Kreatif)
Membaca adalah suatu proses yang dilakukan
serta dipergunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan, yang hendak disampaikan
oleh penulis melalui media kata-kata/ bahasa tulis. Suatu proses yang menuntut
agar kelompok kata yang merupakan suatu kesatuan akan terlihat dalam suatu
pandangan sekilas, dan agar makna kata-kata secara individual akan dapat
diketahui. Kalau hal ini tidak terpenuhi, maka pesan yang tersirat dan yang
tersurat tidak akan tertangkap atau dipahami, dan proses membaca itu tidak
terlaksana dengan baik (Hodgson,1960: 43-44 dalam Tarigan,1985: 7).
Konsep Estetis-Reseptif dan Kritis-kreatif dalam Membaca Apresiatif
peneliti jadikan tumpuan pengembangan model. Sebagaimana teori yang
dikembangkan Segers (2000:35-47) bahwa secara metodologis estetika resepsi
berusaha memulai arah baru dalam studi sastra, Segers berpandangan bahwa sebuah
teks sastra seharusnya dipelajari (terutama) dalam kaitannya dengan reaksi
pembaca. Dalam uraiannya, Segers memetakan estetika resepsi ke dalam tiga
bagian utama, yaitu (1) konsep umum estetika resepsi, (2) penerapan praktis
estetika resepsi, dan (3) kedudukan estetika resepsi dalam tradisi studi
sastra.
Sejalan dengan pendapat Segers pada pemetaan (2) penerapan praktis estetika reseptif merupakan proses praktis dalam
pembelajaran membaca apresiatif yang perlu dikembangkan. Beberapa alasan
peneliti. Pertama, pemetaan ini menjadi salah satu pendekatan
ke arah penggalian interpretasi siswa untuk menemukan makna cerita rakyat.
Peneliti berasumsi bahwa, aspek proses estetis-reseptif dalam membaca
apresiatif menjadi acuan pertama ke arah kemampuan mentransformasi teks ke
dalam bentuk gambar. Kedua, pendekatan estetis-resepsi memiliki garis
besar sebagai berikut: (1) bertolak dari hubungan antara teks sastra dan
bagaimana reaksi pembacanya; (2) pengongkritan makna teks dilakukan melalui
tanggapan pembacanya, sesuai dengan horizon harapannya; (3) imajinasi pembaca
dimungkinkan oleh keakrabannya dengan sastra, kesanggupannya dalam memahami
keadaan pada masanya juga masa-masa sebelumnya; dan (4) melalui kesan, pembaca
dapat menyatakan tanggapannya terhadap suatu karya yang dibacanya. Garis besar
ini, akan membekali siswa ke arah kemampuan membaca kritis-kreatif, sehingga
proses kreatif akan lebih berkembang ketika siswa mentransformasikan teks
cerita rakyat. Ketiga, penerapan
praktis estetika-reseptif,
menjadi wahana ke arah proses kritis-kreatif. Membaca kritis-kreatif merupakan suatu strategi membaca bertujuan
untuk memahami bacaan dengan pelibatan tinggi tehadap makna cerita rakyat Karena itu, proses
kritis-kreatif secara praktis akan menggali jelajah imajinasi siswa ketika
berupaya memvisualkan unsur-unsur teks cerita rakyat.
Teori belajar mengajar membaca
apresiatif ini berorientasi pada peranan siswa yang secara kooperatif dan
kolaboratif melakukan pengkajian estetis, pemahaman kritis, dan penuangan
kreatif. Sebagaimana model transformasi teks sastra yang berorientasi
pada teori William J.J. Gordon yaitu Synectic
Teaching Models yang menurut pengelompokan Joyce dkk (2000: 19) termasuk ke
dalam keluarga atau kelompok/rumpun The
Information Processing Family Of Models. Tujuan umum dari model ini ialah
membantu siswa untuk mengembangkan kreativitasnya terutama dalam hal
peningkatan kemampuan membaca apresiatif melalui kerja kreatif.
C. Kajian
Komsep Cerita Rakyat
Cerita rakyat dapat diartikan sebagai ekspresi
budaya suatu masyarakat melalui bahasa tutur yang berhubungan langsung dengan
berbagai aspek budaya, seperti agama dan kepercayaan, undang-undang, kegiatan
ekonomi, sistem kekeluargaan, dan susunan nilai sosial masyarakat tersebut.
Dahulu, cerita rakyat diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke
generasi berikutnya dalam masyarakat tertentu.
Cerita
rakyat biasanya digubah dari bahan-bahan
sejarah atau disangkutpautkan dengan hal hal yang bersejarah, dengan bukti
bukti seperti asal usul nama desa, senjata atau benda benda lain. Bukti-bukti itu secara langsung atau tidak langsung,
berfungsi sebagai kolektif penuturnya; sebagai identifikasi kebanggaan diri; maupun superioritas kelompok. Hanya bukti itu, tentu bukanlah fakta sejarah (his storiografy)
(Rusyana, 1971: 408). Fakta fakta dalam cerita rakyat adalah fakta yang
dibangun atau disisipi oleh sejumlah kebebasan imajinasi penuturnya, karena
motif penyampaian fakta itu cenderung berbeda dengan motif penuturan fakta
menurut ilmu sejarah. Motif dalam cerita rakyat diarahkan kepada fungsi untuk
apa cerita itu.
William
Bascom (1965; dikutip pula oleh Danandjaja, 1984: 4) menunjukkan empat fungsi.
Keempat fungsi itu ialah: (1) mencerminkan angan-angan, ide-ide kelompok; (2) sebagai sarana pengesahan
pranata-pranata
dan sistem kebudayaan; (3) sebagai alat pendidikan; dan (4) sebagai alat
pemaksa serta pengawas. Pada sisi lain, ia juga bisa berfungsi untuk memberi
hiburan, mengukuhkan rasa setiakawanan kelompok, sebagai sarana menyatakan
protes sosial atau sebagai sarana memberikan tempat untuk melepaskan diri dari
realitas yang dihadapi.
Menurut Danandjaja
(2001), ciri-ciri cerita rakyat, di antaranya sebagai berikut ini.
1.
Penyebaran
dan pewarisannya dilakukan secara lisan.
2.
Bersifat
tradisional, yakni hidup dalam suatu kebudayaan dalam waktu tidak kurang dari
dua generasi.
3.
Bersifat
lisan, sehingga terwujud dalam berbagai versi.
4.
Bersifat
anonim, yakni nama penciptanya sudah tidak diketahui lagi. Maka, ia menjadi
milik bersama dalam masyarakatnya.
5.
Mempunyai
fungsi tertentu dalam masyarakatnya, misalnya sebagai media pendidikan,
pengajaran moral, hiburan, proses sosial dan sebagainya.
6.
Bersifat
pralogis, yakni mempunyai logika tersendiri yang tidak sesuai dengan logika
ilmu pengetahuan, misalnya seorang tokoh adalah keturunan dewa atau proses
kelahirannya tidak wajar seperti Karna dalam epos Mahabharata yang dilahirkan
melalui kuping ibunya.
7.
Pada
umumnya bersifat sederhana dan seadanya, terlalu spontan dan kadang kala
kelihatan kasar, seperti yang terlihat pada anekdot dan sebagian cerita jenaka.
Namun dalam perkembangannya, sebagian cerita rakyat telah disusun dalam bentuk
bahasa yang lebih teratur dan halus.
8.
Pada umumnya cerita-cerita
rakyat mengisahkan tentang terjadinya berbagai hal, seperti terjadinya alam
semesta, manusia pertama, kematian, bentuk khas binatang, bentuk topografi,
gejala alam tertentu, tokoh sakti yang lahir dari perkawinan sumbang, tokoh
pembawa kebudayaan, makanan pokok (seperti padi, jagung, sagu, dsb.), asal mula
nama suatu daerah atau tempat, tarian, upacara, binatang tertentu, dan
lain-lain. Adapun tokoh-tokoh dalam cerita rakyat biasanya ditampilkan dalam berbagai
wujud, baik berupa binatang, manusia maupun dewa, yang kesemuanya disifatkan
seperti manusia.
Cerita rakyat sangat
digemari oleh warga masyarakat karena dapat dijadikan alat keteladanan dan
pelipur lara, serta bersifat jenaka. Oleh karena itu, cerita rakyat biasanya
mengandung ajaran budi pekerti atau pendidikan moral dan hiburan bagi
masyarakat pendukungnya. Pada masa sebelum tersedianya pendidikan secara
formal, seperti sekolah, cerita-cerita rakyat memiliki fungsi dan peranan yang
amat penting sebagai media pendidikan bagi orang tua untuk mendidik anak dalam
keluarga. Meskipun saat ini pendidikan secara formal telah tersedia, namun
cerita-cerita rakyat tetap memiliki fungsi dan peranan penting, terutama dalam
membina kepribadian anak dan menanamkan budi pekerti secara utuh dalam
keluarga. Umumnya suatu cerita rakyat
yang hidup pada masyarakat, memiliki versinya sendiri baik dalam hal nama nama
tokoh, perwatakan (characters); latar
cerita (setting); dan alur cerita.
D.
Pembelajaran Nilai-Nilai Karakter dalam Cerita
Rakyat
Melalui Kegiatan Membaca Apresiatif
Pembelajaran
nilai-nilai karakter dalam cerita rakyat
yang mengarah pada pengembangan karakter siswa adalah
pembelajaran yang mampu menumbuhkan dan meningkatkan secara fungsional pemahaman
dan pengertian tentang manusia dan kemanusiaan. Pengertian
manusia dan kemanusiaan akan menuntun siswa mengenal
nilai-nilai (sosial, moral, dan agama, dalam
kemendiknas dikembangkan menjadi 17 karakter), mendapatkan ide-ide baru,
meningkatkan pengetahuan sosial budaya. Semua ini dapat digali dari cerita
rakyat yang diapresiasi siswa.
Cerita rakyat yang syarat kearifan lokal
harusnya diupayakan digali kembali menjadi bahan ajar dan pembelajaran
apresiasi sastra, sekaligus pembelajaran
karakter. Di samping itu, pembelajaran nilai-nilai karakter cerita rakyat juga
harus memperhatikan segi-segi yang tepat dan sesuai dengan perkembangan
kognitif, siswa;
membawakan nilai-nilai luhur kemanusiaan, serta dapat mendorong siswa untuk
berbuat baik. Hal ini dimungkinkan karena hakikatnya pembelajaran sastra adalah sebagai media
pencerahan mental dan intelektual siswa .
Pembelajaran
nilai-nilai karater cerita rakyat yang relevan untuk pengembangan karakter
siswa adalah pembelajaran yang memungkinkan menumbuhkan kesadaran untuk
menghargai budaya masyarakat di lingkungannya. Lebih jauh menghargai kearifan
lokal yang ada di daerahnya.
Untuk membangun karakter dan
kepribadian peserta didik yang berakhlak mulia, berkarakter kuat, seperti kreatif,
kompetitif, disiplin, menjunjung semangat kebangsaan, serta siap untuk menjadi
manusia yang tangguh dan untuk segera dapat memperbaiki berbagai permasalahan
kepribadian dan moral, diperlukan buku-buku sastra cerita rakyat yang memenuhi
kriteria keterbacaan siswa.
Cerita-cerita rakyat di Jawa Barat amat kaya, isinya
tentang mitos, siluman, legenda, kehidupan rakyat sehari-hari, dan dongeng
binatang yang bersifat lokal. Sebagai contoh
yang menarik, adalah cerita-cerita binatang yang khas
Sunda, yakni Sakadang Kuya jeung Sakadang
Monyet. Cerita binatang ini sering dilambangkan dalam alam pikir masyarakat Sunda. Yang terkenal
adalah cerita kedua binatang tersebut, kura-kura dan kera, dalam tema mencuri hasil kebun pak tani. Dalam
usaha mereka mencuri tanaman, kura-kura berhasil ditangkap pak tani. Ketika kura-kura dikurung pak tani, monyet datang dan
diberi tahu kura-kura bahwa dirinya dikurung agar tak lari untuk dikawinkan
dengan putri pak tani yang cantik.
Monyet bersedia bertukar tempat untuk
menggantikan kura-kura di dalam kurungan. Pagi hari pak tani menjumpai
kura-kura telah berganti monyet dan bermaksud untuk memotongnya. Mengetahui hal
ini monyet pura-pura mati, dan pak tani membuang "mayat" monyet itu
di sungai. Dengan begitu, monyet dan kura-kura pun bebas kembali. Dalam cerita Sunda justru kedua binatang itu
selamat semua akibat kecerdikan keduanya. Kura-kura dan monyet dalam cerita
rakyat Sunda merupakan pasangan antagonis. Keduanya selalu berselisih adu
kecerdasan. Namun selalu saling bertemu kembali.
Kura-kura di pihak protagonis dan monyet
pihak antagonis. Kura-kura simbol binatang air, monyet binatang gunung dan
hutan. Apakah ini simbol budaya sawah Sunda melawan budaya ladang Sunda? Cerita binatang Kuya Jeung Monyet
(kura-kura dan monyet) disatukan dalam bentuk paradoks dalam tokoh Si Kabayan.
Tokoh ini kesatuan watak kura-kura dan monyet, kecerdasan dan kebodohan. Cerdas
bagai kuya dan bodoh bagai monyet. Si Kabayan bisa jadi simbol Sunda-air dan
Sunda-gunung sekaligus serta menjadi jati diri Sunda secara budaya. Si Kabayan adalah tokoh bodoh-pintar.
Terkadang begitu bodohnya dan di lain saat begitu cerdasnya. Jika kita perhatikan, Kabayan sebagai tokoh
bodoh selalu berhubungan dengan nilai-nilai rohaniah, sedangkan sebagai tokoh
pintar selalu berhubungan dengan manusia lain. Kebodohan Kabayan adalah juga
kebodohan kita secara rohani. Di hadapan nilai-nilai rohaniah-ketuhanan dan Illahiah, Kabayan digambarkan begitu
bodohnya sehingga tidak mampu membedakan antara bayangan dan kenyataan.
III.
Purnawacana
Betapa banyak hal
yang dapat kita ambil dari ragam budaya yang ada di Indonesia. Salah satu yang
bisa kita jadikan sebagai bahan perenungan adalah banyaknya kearifan-kearifan
lokal yang berupa folklor yang memiliki nilai filosofis yang tinggi baik itu
berupa karya sastra tertulis maupun lisan berupa cerita rakyat. Cerita rakyat
sebagai warisan nenek moyang bangsa Indonesia sebagai salah satu bentuk kearifan lokal dapat menjadi pionir dalam
mempercepat peningkatan pengembangan pendidikan karakter bangsa yang unggul.
Cerita rakyat dapat menjadi wahana dalam mewujudkan azas kehidupan dan falsafah hidup di
masyarakat.
Kecenderungan
masyarakat Indonesia pada saat ini, lebih condong pada kebudayaan-kebudayaan
yang datang dari luar negara ini. Hal ini akan mengelupas instisari budaya
sendiri, dan diganti dengan kebudayaan luar, yang akhirnya bangsa ini akan
kehilangan jati diri yang sebenarnya. Hal ini dapat dikatakan bahwa bangsa ini
telah mengalami “evolusi” kehidupan yang modern.
Sudah seharusnya kita
sebagai pendidik menggali dan
menghidupkan kembali falsafah yang diwariskan Ki Hajar Dewantara. Tentu saja
karena kita sebagai pendidi menjadi wajib mengembangkan pendidikan karakter
kegiatan pembelajaran. Pengembangan pendidikan karakter bangsa akan berhasil
jika semua guru memiliki komitmen dan secara professional bertanggung jawab
terhadap kemajuan bangsa dan menanamkan karakter unggul.
Aktualisasi
ajaran Ki Hajar Dewantara di era globalisasi ini untuk membangun karakter
bangsa, sudah sangat mendesak diterapkan. Kalau itu dilakukan, Indonesia akan
bebas dari predikat negara terkorup, birokrasi terburuk, dan lainnya, yang
kesemuanya itu disebabkan lemahnya sistem pendidikan yang berkarakter budaya
Indonesia. Perlu langkah bersama untuk mewujudkannya, sehingga Indonesia
berubah jadi bangsa berkarakter tinggi.
Sebagai salah satu bentuk
kearifan lokal (folklorecerita rakyat) yang dapat dijadikan falsafah hidup, dapat
diajarkan melalui kegiatan membaca apresiatif. Hal ini tentu saja dilakukan
dalam kegiatan pembelajaran membaca. Dari kegiatan membaca apresiatif ini akan menumbuhkan nilai karakter, baik dari
sisi ketuhanan, moral, kecerdasan, maupun keilmiahan. Dengan hal ini pula,
masyarakat secara tidak langsung telah dididik dirinya untuk dapat menjalani
hidup dengan lebih baik, serta memiliki jati diri.
Kegiatan pembelajaran membaca apresiatif akan lebih bermakna, apabila
bacaan yang disajikan guru sarat nilai-nilai karakter dan memiliki keterbacan
yang sesuai dengan psikologis semua tingkatan dalam satuan pendidikan siswa.
Dalam hal ini, guru harus kreatif memilih dan memilah bahan bacaan. Banyak
cerita rakyat yang tersebar di
masyarakat. Setiap daerah memiliki kearifan lokal cerita rakyat baik yang sudah
dibukukan maupun yang belum (masih dalam cerita lisan). Pandai-pandailah guru
mencari, memilih, dan memilah.
Keberhasilan tidak akan terwujud apabila tidak ada usaha dan kerja
keras. Untuk itu kita sebagai guru yang nota bene sebagai pendidik harus
bertanggung jawab dan memiliki komitmen untuk keberhasilan pengembangan
pendidikan karakter untuk anak-anak kita. Sudah
waktunya guru melaksanakan tugas dengan berkarakter, tidak sekedar melaksanakan tututan tugas hanya
untuk mencapai target kurikulum.
IV. Pustaka Acuan
Baried, St. B., dkk. 1985. Memahami Hikayat dalam Sastra Indonesia. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa.
Bogdan,
Robert C. dan Sari Knoop Biklen (1982) Qualitative
Research for Education to Theory and Method, Boston: Allyn and Bacon Inc.
Brown,
D. 2000. Principles of Language Learning and Teaching. San Fracisco:
Longman.
Brown,
D. 2001. Teaching By Prinsiple: An Interactive Approach to Language Pedagogy.
San Fracisco: Longman.
Bunanta. 2004. Buku, Mendongeng, dan Minat
Membaca. Jakarta : Pustaka Tangga.
Cox,
C. 1999. Teaching Language Arts: A Student–and Response–Centered Clasroom.
Boston: Allyn and Bacon.
Danandjaja, James. 2007. Folklor
Indonesia. Jakarta : Graffiti Press
Endraswara, Suwardi.2002. Metode Penelitian
Psikologi Sastra. Teori, Langkah, dan Penerapannya. Yogyakarta: MedPress.
Fang, L.Y. 1991.
Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta : Erlangga.
Kakimashu, O.
2008. Stories Behind Bestseller
Mangga, Kisah yang Tak Terungkap, Wawancara Mangaka, Karakter Expose, Proses Kreatif. Bandung : Bukukita.
Rusyana,
Yus. 1981. Sastra Lisan Nusantara. Bandung:
Bandung: CV.Dipenogoro.
Rusyana. Yus. 1984. Metode Pengajaran sastra. Bandung: Gunung Larang.
Soekanto, S. 1998. Sosiologi
Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali P
Teeuw, A. 1984. Membaca dan Menilai Sastra.
Jakarta : Gramedia.
Zuchdi, Darmiyati. 2011. Pendidikan
Karakter dalam Perspektif Teori dan Praktik. Yogyakarta: UNY Press.
Zuhlan, Najib. 2011. Pendidikan
Berbasis Karakter. Surabaya: JePe Press Media Utama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar