Rabu, 29 April 2015

Akselerasi Pembelajaran Nilai-Nilai Karakter dalam Cerita Rakyat Melalui Pembelajaran Membaca Apresiatif



Akselerasi Pembelajaran Nilai-Nilai Karakter dalam Cerita Rakyat
Melalui Pembelajaran Membaca Apresiatif



Titin Setiartin



Abstrak
       Kepribadian dan jati diri bangsa yang terus berkembang dari  masa ke masa  dapat digali melalui sejarah perkembangan kebudayaan. Perkembangan kebudayaan nasional merupakan cerminan puncak kebudayaan di daerah-daerah seluruh Indonesia. Dalam rangka pembangunan budaya bangsa, pengenalan, pemahaman, dan penghayatan terhadap nilai-nilai kehidupan masyarakat masa lampau perlu terus dikembangkan. Hal ini diserbabkan, kepribadian dan jati diri bangsa tetap harus bersumber pada budaya bangsanya sendiri.
       Eksistensi setiap kebudayaan mengalami pergulatan utama melawan resiko dilupakan, hilang dalam sejarah, serta tidak diingat lagi. Bercerita merupakan cara paling tradisional melawan ‘lupa’ yang juga bertujuan untuk meneruskan cita-cita, idealisme, nilai-nilai, adat-istiadat, perilaku, dll, dalam kekayaan budaya suatu masyarakat kepada generasi selanjutnya. Perjuangan dan usaha mengenang harta warisan kebudayaan leluhur ini adalah bentuk awal kegiatan pendidikan. Oleh karena pendidikan selalu berkaitan dengan ingatan (memoria), maka risiko dilupakan merupakan ancaman konstan bagi setiap budaya lisan, sebab tergantung pada proses pewarisannya yang bersifat temporal seiring waktu kepunahan manusia sebagai pelaku.
       Karakter merupakan struktur antropologis manusia, tempat manusia menghayati kebebasannya dan mengatasi keterbatasan dirinya. Struktur antropologis melihat bahwa karakter bukan sekedar hasil dari sebuah tindakan, melainkan secara simultan merupakan hasil dan proses. Dinamika ini menjadi dialektika, terus menerus dalam diri manusia untuk menghayati kebebasannya dan mengatasi keterbatasannya. Sikap hidup pragmatis dari sebagian besar masyarakat Indonesia dewasa ini mengakibatkan terkikisnya nilai luhur budaya bangsa. Demikian pula budaya kekerasan dan anarkisme sosial turut memperparah kondisi sosial budaya bangsa Indonesia. Nilai kearifan lokal (local wisdom) yang santun, ramah, saling menghormati, arif, dan religius seakan terkikis dan tereduksi gaya hidup instan dan modern.   
       Kesusastraan Indonesia merupakan produk kebudayaan bangsa Indonesia. Selanjutnya, dikenal dengan Kebudayaan Nasional. Produk kebudayaan nasional bersumber dari berbagai kebudayaan daerah. Kebudayaan nasional yang bersumber dari kebudayaan daerah memiliki fungsi yang sangat penting dalam memantapkan jati diri bangsa.      
       Sebagai produk masyarakat masa lampau yang menyimpan informasi mengenai masa lampau, naskah cerita rakyat menjadi wahana kesadaran akan hakikat nilai-nilai kehidupan yang berasas kesinambungan/berkelanjutan. Cerita rakyat sebagai warisan budaya bangsa memiliki peran kesusastraan dari generasi ke generasi sebagai pangkal untuk menemukan akar budaya bangsa yang syarat dengan nilai-nilai jati diri bangsa. Cerita rakyat merupakan bagian produk sastra Indonesia. Sebagai produk budaya bangsa yang dapat memupuk kesadaran dan pemahaman tentang nasionalisme terhadap harkat dan martabat bangsa.
       Pengembangan pendidikan karakter menjadi pionir pemikiran tentang humanisme yang dapat ditanamkan sejak dini dan berkelanjutan.  Hal ini dapat dilakukan melalui falsafah  yang diwariskan Ki Hajar Dewantara. Guru dituntut untuk kembali seperti yang Ki Hajar Dewantara katakan yakni seorang yang ing ngarso sing tulodo, ing madyo mangun karso dan tut wuri handayani. Guru yang bukan hanya mengajar, tapi juga mendidik.  

Kata Kunci: Pembelajaran Nilai Karakter, Cerita Rakyat, membaca apresiatif


I.     Purwawacana
       Kondisi masyarakat dewasa ini sangat memprihatinkan. Perkelahian, pembunuhan, kesenjangan sosial, ketidakadilan, perampokan, korupsi, pelecehan seksual, penipuan, fitnah terjadi di mana-mana. Hal itu dapat diketahui lewat berbagai media cetak atau elektronik, seperti surat kabar, televisi atau  internet. Bahkan, tidak jarang kondisi seperti itu dapat disaksikan secara langsung di tengah masyarakat.
       Keprihatinan terhadap kondisi masyarakat yang demikian itu, menumbuhkan semangat untuk mengkaji sebabnya dan mencari pemecahannya. Penelitian dan seminar mengenai masalah itu telah berkali-kali yang diselenggarakan oleh berbagai instansi, baik pemerintah maupun swasta. Ujungnya adalah persamaaan persepsi terhadap pentingnya menggalakkan pendidikan karakter.
      Respon masyarakat terhadap pendidikan karakter berbeda-beda. Di kalangan kelompok pendidik muncul pendapat tentang perlunya pendidikan budi pekerti, sedangkan agamawan memandang perlunya penguatan pendidikan agama. Mereka yang berkecimpung di bidang politik mengusulkan revitalisasi pendidikan Pancasila. Dalam hal ini, Kemendiknas telah merespon berbagai pendapat itu dengan membentuk Tim Pengembang Pendidikan Karakter. Mungkin sudah saatnya kita kembali pada kearifan-kearifan lokal yang terdapat dalam cerita rakyat yang merupakan produk budaya yang luhur. Tidak ada salahnya kalau kita kembali menggali nilai karakter yang ada dalam kearifan lokal itu.
       Khazanah kesusastraan Indonesia yang bersumber dari kebudayaan Indonesia harus tetap menjadi kesadaran bersama bangsa Indonesia. Kesadaran kolektif sebagai bentuk pelestarian dan pemeliharaan aset budaya. Pelestarian dan  pemeliharaan aset budaya sebagai pengembangan pembentukan  karakter bangsa Indonesia harus berdasarkan kesadaran, keinginan, dan rekayasa dalam bentuk sastra dan kesusastraan. Teuw (1984:304) mengemukakan bahwa fungsi sastra dalam masyarakat bergerak dari fungsi estetik ke fungsi sosial dan agama. Hal ini menunjukkan bahwa sastra sangat berpengaruh terhadap pengembangan dan  pembentukan karakter masyarakatnya. Karya sastra sebagai produk budaya bangsa berkembang sejalan dengan perkembangan pola budaya dan pembentukan karakter bangsanya. Karya sastra sebagai produk masa lampau yang diwariskan menyimpan informasi mengenai berbagai kehidupan, seperti sosial, budaya, hukum, adat istiadat, politik, pemerintahan, ekonomi, ajaran moral, ajaran agama, dan sebagainya. (Soeratno, 2011:44)  Karya sastra masa lampau dapat dikenali dan diketahui melalui sejumlah naskah atau melalui cerita turun-temurun yang berkembang di masyarakat. Selanjutnya disebut sebagai cerita rakyat.
       Cerita rakyat  sebagai produk kisahan bangsa Indonesia dimiliki oleh setiap daerah yang menggunakan bahasa daerahnya seperti Melayu, Jawa, Sunda, Aceh, Minang, dan sebagainya tercipta pada masa lampau.  “Cerita rakyat dari zaman dahulu yang hidup di kalangan rakyat dan diwariskan secara lisan; rekaan cerita yang sengaja dikarang oleh pengarangnya sebagai hasil khayalan dari pengarang; cerita khayal; fiksi;--sejarah cerita rekaan yang mengandung unsur-unsur sejarah.” (Depdiknas, 1996:187). Cerita rakyat, apa pun dan bagaimana pun bentuknya; lisan atau tertulis; kisahan turun-temurun baik dalam bentuk dongeng, kepercayaan, legenda, fabel, asal-usul, silsilah  raja-raja atau babad, dsb.
       Cerita rakyat merupakan bagian dari produk folklor, adalah termasuk ke dalam bentuk kearifan lokal yang syarat nilai-nilai kehidupan. Nilai-nilai kehidupan masa lalu yang secara turun-temurun diwariskan untuk dijadikan falsafah budaya bangsa dalam membangun peradaban dan karakter bangsanya. Dalam kearifal lokal yang tersebar di Indonesia. Patut dicermati bahwa dalam cerita rakyat lisan yang disebarkan secara turun-temurun dari mulut ke mulut memiliki nilai-nilai karakter yang perlu diteladani. Nilai-nilai kehidupan masa lalu, misalnya nilai sosial, moral dan agama, pendidikan, budi pekerti, perlu kembali digali sebagai upaya membangun karakter bangsa.   
        Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003: 319), folklor memiliki makna adat istiadat tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan secara turun temurun, tetapi tidak dibukukan. Sedikit bebeda dengan pendapat Danandjaya (1997: 2) folklore adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device). Folklor  memiliki karateristik tersendiri yang membuatnya memiliki kedudukan yang berbeda dengan kebudayaan yang lainnya.
       Pembelajaran nilai-nilai karakter yang terkandung dalam cerita rakyat sudah seharusnya diajarkan kepada semua siswa pada semua tingkat dan satuan pendidikan  karakter jati diri bangsa dapat diaplikasikan melalui pembelajaran nilai-nilai karakter dalam cerita rakyat. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui pembelajaran membaca apresiatif dalam bentuk penjelajahan imajinasi. Dikatakan penjelajahan imajinasi karena apresiator pada ranah heurmeunetik mencoba menjelajah teks sastra yang mengandung makna-makna simbolik dan konotatif sebagai wujud kreativitas para narator.    
       Cerita rakyat sebagai karya sastra merupakan karya kreatif-imajinatif. Artinya kecendekiaan pengarang dalam mengemas gagasan yang berupa teks di dalamnya diwujudkan imajinasi-imajinasi/pencitraan yang melabelisasi karya sastra sebagai karya seni. Dari kegiatan membaca apresiasi melalui penjelajahan imajinasi diharapkan siswa dapat memahami dan memaknai nilai-nilai yang terdapat dalam cerita rakyat.

II.      Pembahasan
A.       Kajian Konsep Karakter
       Karakter menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti. Karakter dapat diartikan sebagai tabiat, yaitu perangai atau perbuatan yang selalu dilakukan atau kebiasaan. Suyanto (2009) mendefinisikan karakter sebagai cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun  negara. Pritchard  (1988: 467) mendefisikan karakter sebagai sesuatu yang berkaitan dengan kebiasaan hidup individu yang bersifat menetap dan cenderung positif.
       Karakter sebagai akhlak dapat bersifat positif atau negatif. Dalam pandangan agama terdapat akhlakul karimah (ahlak yang mulia) dan akhlakul madmumah (akhlak tercela).  Dalam akhlakul karimah tercakup 22 sifat terpuji, yaitu (1) sederhana, (2) rendah hati, (3) giat bekerja, (4) jujur, (5) memenuhi janji, (6) terpercaya, (7) konsisten/istiqomah, (8) berkemauan keras, (9) suka berterima kasih, (10) satria, (11) tabah, (12) lemah lembut, (13) ramah dan simpatik, (14) malu, (15) bersaudara, (16) belas kasih, (17) suka menolong, (18) menjaga kehormatan, (19) menjauhi syubhat, (20) pasrah kepada Allah, (21) berkorban untuk orang lain, (22) payayang.  Sementara  itu, lawan dari sifat-sifat terpuni itu termasuk akhlakul madmumah, seperti boros, sombong, malas.
       Menurut  Zulhan (2010: 2-5) karakter ada dua yaitu karakter positif baik (sehat) dan karakter buruk (tidak sehat). Tergolong karakter sehat yaitu  (1) afiliasi tinggi: mudah menerima orang lain sebagai sahabat, toleran, mudah berkerja sama, (2) power tinggi: cenderung menguasai teman-temannya dalam arti positif (pemimpin); (3) achieve: selalu termotivasi untuk berprestasi (4) asserte: lugas, tegas, tidak banyak bicara, (5) adventure: suka petualangan, suka mencoba hal baru. Sementara itu, karakter kurang sehat yaitu (1) nakal: suka membuat ulah, memancing kemarahan, (2) tidak teratur, tidak teliti, tidak cermat, meskipun kadang tidak disadari, (3) provokator: cenderung membuat ulah, mencari gara-gara, ingin mencari perhatian, (4) penguasa: cenderung menguasai teman-teman, mengintimidasi, (5) pembangkang: bangga kalau berbeda dengan orang lain, tidak ingin melakukan hal yang sama dengan orang lain, cenderung membangkang.
       Pusat Kurikulum Kementerian Pendidikan Nasional (2011:10) telah merumuskan materi pendidikan karakter yang mencakup aspek-aspek sebagai berikut: (1) religius, (2) jujur, (3) toleran, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat atau komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, tanggung jawab.  Sementara itu, Suyanto (2009) berpendapat ada sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu (1) cinta kepada Tuhan dan segenap ciptaannya, (2) kemandirian dan tanggung jawab, (3) kejujuran/amanah, diplomatis, (3) hormat dan santun, (5) dermawan, suka menolong dan gotong royong/kerja sama, (6) percaya diri dan pekerja keras (7) kepemimpinan dan keadilan, (8) baik dan rendah hati, (9) toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
       Pembelajaran nilai-nilai karakter dalam cerita rakyat  yang mengarah pada pengembangan karakter  siswa adalah pembelajaran yang mampu menumbuhkan dan meningkatkan secara fungsional pemahaman dan pengertian tentang manusia dan kemanusiaan. Pengertian manusia dan kemanusiaan akan menuntun siswa  mengenal nilai-nilai (sosial, moral, dan agama, dlam kemendiknas dikembangkan menjadi 17 karakter), mendapatkan ide-ide baru, meningkatkan pengetahuan sosial budaya. Semua ini dapat digali dari cerita rakyat yang diapresiasi siswa.
       Cerita rakyat yang syarat kearifan lokal harusnya diupayakan digali kembali menjadi bahan ajar dan pembelajaran apresiasi sastra,  sekaligus pembelajaran karakter. Di samping itu, pembelajaran nilai-nilai karakter cerita rakyat juga harus memperhatikan segi-segi yang tepat dan sesuai dengan perkembangan kognitif, siswa; membawakan nilai-nilai luhur kemanusiaan, serta dapat mendorong siswa  untuk berbuat baik. Hal ini dimungkinkan karena hakikatnya pembelajaran  sastra adalah sebagai media pencerahan mental dan intelektual siswa .
       Pembelajaran nilai-nilai karater cerita rakyat yang relevan untuk pengembangan karakter siswa adalah pembelajaran yang memungkinkan menumbuhkan kesadaran untuk menghargai budaya masyarakat di lingkungannya. Lebih jauh menghargai kearifan lokal yang ada di daerahnya. 
       Untuk membangun karakter dan kepribadian peserta didik yang berakhlak mulia, berkarakter kuat, seperti kreatif, kompetitif, disiplin, menjunjung semangat kebangsaan, serta siap untuk menjadi manusia yang tangguh dan untuk segera dapat memperbaiki berbagai permasalahan kepribadian dan moral, diperlukan buku-buku sastra cerita rakyat yang memenuhi kriteria keterbacaan siswa.

B.       Kajian Konsep Membaca Apresiatif (Estetis-Reseptif dan Kritis-Kreatif)

       Membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan, yang hendak disampaikan oleh penulis melalui media kata-kata/ bahasa tulis. Suatu proses yang menuntut agar kelompok kata yang merupakan suatu kesatuan akan terlihat dalam suatu pandangan sekilas, dan agar makna kata-kata secara individual akan dapat diketahui. Kalau hal ini tidak terpenuhi, maka pesan yang tersirat dan yang tersurat tidak akan tertangkap atau dipahami, dan proses membaca itu tidak terlaksana dengan baik (Hodgson,1960: 43-44 dalam Tarigan,1985: 7).
       Konsep Estetis-Reseptif dan Kritis-kreatif dalam Membaca Apresiatif peneliti jadikan tumpuan pengembangan model. Sebagaimana teori yang dikembangkan Segers (2000:35-47) bahwa secara metodologis estetika resepsi berusaha memulai arah baru dalam studi sastra, Segers berpandangan bahwa sebuah teks sastra seharusnya dipelajari (terutama) dalam kaitannya dengan reaksi pembaca. Dalam uraiannya, Segers memetakan estetika resepsi ke dalam tiga bagian utama, yaitu (1) konsep umum estetika resepsi, (2) penerapan praktis estetika resepsi, dan (3) kedudukan estetika resepsi dalam tradisi studi sastra.
       Sejalan dengan pendapat  Segers pada pemetaan (2) penerapan praktis estetika reseptif merupakan proses praktis dalam pembelajaran membaca apresiatif yang perlu dikembangkan. Beberapa alasan peneliti. Pertama,   pemetaan ini menjadi salah satu pendekatan ke arah penggalian interpretasi siswa untuk menemukan makna cerita rakyat. Peneliti berasumsi bahwa, aspek proses estetis-reseptif dalam membaca apresiatif menjadi acuan pertama ke arah kemampuan mentransformasi teks ke dalam bentuk gambar. Kedua,  pendekatan estetis-resepsi memiliki garis besar sebagai berikut: (1) bertolak dari hubungan antara teks sastra dan bagaimana reaksi pembacanya; (2) pengongkritan makna teks dilakukan melalui tanggapan pembacanya, sesuai dengan horizon harapannya; (3) imajinasi pembaca dimungkinkan oleh keakrabannya dengan sastra, kesanggupannya dalam memahami keadaan pada masanya juga masa-masa sebelumnya; dan (4) melalui kesan, pembaca dapat menyatakan tanggapannya terhadap suatu karya yang dibacanya. Garis besar ini, akan membekali siswa ke arah kemampuan membaca kritis-kreatif, sehingga proses kreatif akan lebih berkembang ketika siswa mentransformasikan teks cerita rakyat. Ketiga, penerapan praktis estetika-reseptif, menjadi wahana ke arah proses kritis-kreatif. Membaca kritis-kreatif merupakan suatu strategi membaca bertujuan untuk memahami bacaan dengan pelibatan tinggi tehadap makna  cerita rakyat Karena itu, proses kritis-kreatif secara praktis akan menggali jelajah imajinasi siswa ketika berupaya memvisualkan unsur-unsur teks cerita rakyat.
       Teori belajar mengajar membaca apresiatif ini berorientasi pada peranan siswa yang secara kooperatif dan kolaboratif melakukan pengkajian estetis, pemahaman kritis, dan penuangan kreatif.  Sebagaimana model transformasi teks sastra yang berorientasi pada teori William J.J. Gordon yaitu Synectic Teaching Models yang menurut pengelompokan Joyce dkk (2000: 19) termasuk ke dalam keluarga atau kelompok/rumpun The Information Processing Family Of Models. Tujuan umum dari model ini ialah membantu siswa untuk mengembangkan kreativitasnya terutama dalam hal peningkatan kemampuan membaca apresiatif melalui kerja kreatif.

C.       Kajian Komsep Cerita Rakyat
       Cerita rakyat dapat diartikan sebagai ekspresi budaya suatu masyarakat melalui bahasa tutur yang berhubungan langsung dengan berbagai aspek budaya, seperti agama dan kepercayaan, undang-undang, kegiatan ekonomi, sistem kekeluargaan, dan susunan nilai sosial masyarakat tersebut. Dahulu, cerita rakyat diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam masyarakat tertentu.
       Cerita rakyat biasanya digubah dari bahan-bahan sejarah atau disangkutpautkan dengan hal hal yang bersejarah, dengan bukti bukti seperti asal usul nama desa, senjata atau benda benda lain. Bukti-bukti itu secara langsung atau tidak langsung, berfungsi sebagai  kolektif penuturnya; sebagai identifikasi kebanggaan diri; maupun superioritas kelompok. Hanya bukti itu, tentu bukanlah fakta sejarah (his storiografy) (Rusyana, 1971: 408). Fakta fakta dalam cerita rakyat adalah fakta yang dibangun atau disisipi oleh sejumlah kebebasan imajinasi penuturnya, karena motif penyampaian fakta itu cenderung berbeda dengan motif penuturan fakta menurut ilmu sejarah. Motif dalam cerita rakyat diarahkan kepada fungsi untuk apa cerita itu.
       William Bascom (1965; dikutip pula oleh Danandjaja, 1984: 4) menunjukkan empat fungsi. Keempat fungsi itu ialah: (1) mencerminkan angan-angan, ide-ide kelompok; (2) sebagai sarana pengesahan pranata-pranata dan sistem kebudayaan; (3) sebagai alat pendidikan; dan (4) sebagai alat pemaksa serta pengawas. Pada sisi lain, ia juga bisa berfungsi untuk memberi hiburan, mengukuhkan rasa setiakawanan kelompok, sebagai sarana menyatakan protes sosial atau sebagai sarana memberikan tempat untuk melepaskan diri dari realitas yang dihadapi.
       Menurut Danandjaja (2001), ciri-ciri cerita rakyat, di antaranya sebagai berikut ini.
1.    Penyebaran dan pewarisannya dilakukan secara lisan.
2.    Bersifat tradisional, yakni hidup dalam suatu kebudayaan dalam waktu tidak kurang dari dua generasi.
3.    Bersifat lisan, sehingga terwujud dalam berbagai versi.
4.    Bersifat anonim, yakni nama penciptanya sudah tidak diketahui lagi. Maka, ia menjadi milik bersama dalam masyarakatnya.
5.    Mempunyai fungsi tertentu dalam masyarakatnya, misalnya sebagai media pendidikan, pengajaran moral, hiburan, proses sosial dan sebagainya.
6.    Bersifat pralogis, yakni mempunyai logika tersendiri yang tidak sesuai dengan logika ilmu pengetahuan, misalnya seorang tokoh adalah keturunan dewa atau proses kelahirannya tidak wajar seperti Karna dalam epos Mahabharata yang dilahirkan melalui kuping ibunya.
7.    Pada umumnya bersifat sederhana dan seadanya, terlalu spontan dan kadang kala kelihatan kasar, seperti yang terlihat pada anekdot dan sebagian cerita jenaka. Namun dalam perkembangannya, sebagian cerita rakyat telah disusun dalam bentuk bahasa yang lebih teratur dan halus.
8.    Pada umumnya cerita-cerita rakyat mengisahkan tentang terjadinya berbagai hal, seperti terjadinya alam semesta, manusia pertama, kematian, bentuk khas binatang, bentuk topografi, gejala alam tertentu, tokoh sakti yang lahir dari perkawinan sumbang, tokoh pembawa kebudayaan, makanan pokok (seperti padi, jagung, sagu, dsb.), asal mula nama suatu daerah atau tempat, tarian, upacara, binatang tertentu, dan lain-lain. Adapun tokoh-tokoh dalam cerita rakyat biasanya ditampilkan dalam berbagai wujud, baik berupa binatang, manusia maupun dewa, yang kesemuanya disifatkan seperti manusia.
       Cerita rakyat sangat digemari oleh warga masyarakat karena dapat dijadikan alat keteladanan dan pelipur lara, serta bersifat jenaka. Oleh karena itu, cerita rakyat biasanya mengandung ajaran budi pekerti atau pendidikan moral dan hiburan bagi masyarakat pendukungnya. Pada masa sebelum tersedianya pendidikan secara formal, seperti sekolah, cerita-cerita rakyat memiliki fungsi dan peranan yang amat penting sebagai media pendidikan bagi orang tua untuk mendidik anak dalam keluarga. Meskipun saat ini pendidikan secara formal telah tersedia, namun cerita-cerita rakyat tetap memiliki fungsi dan peranan penting, terutama dalam membina kepribadian anak dan menanamkan budi pekerti secara utuh dalam keluarga.  Umumnya suatu cerita rakyat yang hidup pada masyarakat, memiliki versinya sendiri baik dalam hal nama nama tokoh, perwatakan (characters); latar cerita (setting); dan alur cerita.

D.   Pembelajaran Nilai-Nilai Karakter dalam Cerita Rakyat
 Melalui Kegiatan Membaca Apresiatif

       Pembelajaran nilai-nilai karakter dalam cerita rakyat  yang mengarah pada pengembangan karakter  siswa adalah pembelajaran yang mampu menumbuhkan dan meningkatkan secara fungsional pemahaman dan pengertian tentang manusia dan kemanusiaan. Pengertian manusia dan kemanusiaan akan menuntun siswa  mengenal nilai-nilai (sosial, moral, dan agama, dalam kemendiknas dikembangkan menjadi 17 karakter), mendapatkan ide-ide baru, meningkatkan pengetahuan sosial budaya. Semua ini dapat digali dari cerita rakyat yang diapresiasi siswa.
       Cerita rakyat yang syarat kearifan lokal harusnya diupayakan digali kembali menjadi bahan ajar dan pembelajaran apresiasi sastra,  sekaligus pembelajaran karakter. Di samping itu, pembelajaran nilai-nilai karakter cerita rakyat juga harus memperhatikan segi-segi yang tepat dan sesuai dengan perkembangan kognitif, siswa; membawakan nilai-nilai luhur kemanusiaan, serta dapat mendorong siswa  untuk berbuat baik. Hal ini dimungkinkan karena hakikatnya pembelajaran  sastra adalah sebagai media pencerahan mental dan intelektual siswa .
       Pembelajaran nilai-nilai karater cerita rakyat yang relevan untuk pengembangan karakter siswa adalah pembelajaran yang memungkinkan menumbuhkan kesadaran untuk menghargai budaya masyarakat di lingkungannya. Lebih jauh menghargai kearifan lokal yang ada di daerahnya. 
       Untuk membangun karakter dan kepribadian peserta didik yang berakhlak mulia, berkarakter kuat, seperti kreatif, kompetitif, disiplin, menjunjung semangat kebangsaan, serta siap untuk menjadi manusia yang tangguh dan untuk segera dapat memperbaiki berbagai permasalahan kepribadian dan moral, diperlukan buku-buku sastra cerita rakyat yang memenuhi kriteria keterbacaan siswa.
       Cerita-cerita rakyat di Jawa Barat amat kaya, isinya tentang mitos, siluman, legenda, kehidupan rakyat sehari-hari, dan dongeng binatang yang  bersifat lokal. Sebagai contoh yang menarik, adalah cerita-cerita binatang yang khas Sunda, yakni Sakadang Kuya jeung Sakadang Monyet. Cerita binatang ini sering dilambangkan dalam alam pikir masyarakat Sunda. Yang terkenal adalah cerita kedua binatang tersebut, kura-kura dan kera, dalam tema mencuri hasil kebun pak tani. Dalam usaha mereka mencuri tanaman, kura-kura berhasil ditangkap pak tani. Ketika kura-kura dikurung pak tani, monyet datang dan diberi tahu kura-kura bahwa dirinya dikurung agar tak lari untuk dikawinkan dengan putri pak tani yang cantik.     
       Monyet bersedia bertukar tempat untuk menggantikan kura-kura di dalam kurungan. Pagi hari pak tani menjumpai kura-kura telah berganti monyet dan bermaksud untuk memotongnya. Mengetahui hal ini monyet pura-pura mati, dan pak tani membuang "mayat" monyet itu di sungai. Dengan begitu, monyet dan kura-kura pun bebas kembali.  Dalam cerita Sunda justru kedua binatang itu selamat semua akibat kecerdikan keduanya. Kura-kura dan monyet dalam cerita rakyat Sunda merupakan pasangan antagonis. Keduanya selalu berselisih adu kecerdasan. Namun selalu saling bertemu kembali.
       Kura-kura di pihak protagonis dan monyet pihak antagonis. Kura-kura simbol binatang air, monyet binatang gunung dan hutan. Apakah ini simbol budaya sawah Sunda melawan budaya ladang Sunda? Cerita binatang Kuya Jeung Monyet (kura-kura dan monyet) disatukan dalam bentuk paradoks dalam tokoh Si Kabayan. Tokoh ini kesatuan watak kura-kura dan monyet, kecerdasan dan kebodohan. Cerdas bagai kuya dan bodoh bagai monyet. Si Kabayan bisa jadi simbol Sunda-air dan Sunda-gunung sekaligus serta menjadi jati diri Sunda secara budaya. Si Kabayan adalah tokoh bodoh-pintar. Terkadang begitu bodohnya dan di lain saat begitu cerdasnya. Jika kita perhatikan, Kabayan sebagai tokoh bodoh selalu berhubungan dengan nilai-nilai rohaniah, sedangkan sebagai tokoh pintar selalu berhubungan dengan manusia lain. Kebodohan Kabayan adalah juga kebodohan kita secara rohani. Di hadapan nilai-nilai rohaniah-ketuhanan dan Illahiah, Kabayan digambarkan begitu bodohnya sehingga tidak mampu membedakan antara bayangan dan kenyataan.

III.   Purnawacana

Betapa banyak hal yang dapat kita ambil dari ragam budaya yang ada di Indonesia. Salah satu yang bisa kita jadikan sebagai bahan perenungan adalah banyaknya kearifan-kearifan lokal yang berupa folklor yang memiliki nilai filosofis yang tinggi baik itu berupa karya sastra tertulis maupun lisan berupa cerita rakyat. Cerita rakyat sebagai warisan nenek moyang bangsa Indonesia sebagai salah satu bentuk  kearifan lokal dapat menjadi pionir dalam mempercepat peningkatan pengembangan pendidikan karakter bangsa yang unggul. Cerita rakyat dapat menjadi wahana dalam mewujudkan  azas kehidupan dan falsafah hidup di masyarakat.
Kecenderungan masyarakat Indonesia pada saat ini, lebih condong pada kebudayaan-kebudayaan yang datang dari luar negara ini. Hal ini akan mengelupas instisari budaya sendiri, dan diganti dengan kebudayaan luar, yang akhirnya bangsa ini akan kehilangan jati diri yang sebenarnya. Hal ini dapat dikatakan bahwa bangsa ini telah mengalami “evolusi” kehidupan yang modern.
Sudah seharusnya kita sebagai pendidik  menggali dan menghidupkan kembali falsafah yang diwariskan Ki Hajar Dewantara. Tentu saja karena kita sebagai pendidi menjadi wajib mengembangkan pendidikan karakter kegiatan pembelajaran. Pengembangan pendidikan karakter bangsa akan berhasil jika semua guru memiliki komitmen dan secara professional bertanggung jawab terhadap kemajuan bangsa dan menanamkan karakter unggul.
       Aktualisasi ajaran Ki Hajar Dewantara di era globalisasi ini untuk membangun karakter bangsa, sudah sangat mendesak diterapkan. Kalau itu dilakukan, Indonesia akan bebas dari predikat negara terkorup, birokrasi terburuk, dan lainnya, yang kesemuanya itu disebabkan lemahnya sistem pendidikan yang berkarakter budaya Indonesia. Perlu langkah bersama untuk mewujudkannya, sehingga Indonesia berubah jadi bangsa berkarakter tinggi.


Sebagai salah satu bentuk kearifan lokal (folklorecerita rakyat) yang dapat dijadikan falsafah hidup, dapat diajarkan melalui kegiatan membaca apresiatif. Hal ini tentu saja dilakukan dalam kegiatan pembelajaran membaca. Dari kegiatan membaca apresiatif  ini akan menumbuhkan nilai karakter, baik dari sisi ketuhanan, moral, kecerdasan, maupun keilmiahan. Dengan hal ini pula, masyarakat secara tidak langsung telah dididik dirinya untuk dapat menjalani hidup dengan lebih baik, serta memiliki jati diri.
       Kegiatan pembelajaran membaca apresiatif akan lebih bermakna, apabila bacaan yang disajikan guru sarat nilai-nilai karakter dan memiliki keterbacan yang sesuai dengan psikologis semua tingkatan dalam satuan pendidikan siswa. Dalam hal ini, guru harus kreatif memilih dan memilah bahan bacaan. Banyak cerita rakyat  yang tersebar di masyarakat. Setiap daerah memiliki kearifan lokal cerita rakyat baik yang sudah dibukukan maupun yang belum (masih dalam cerita lisan). Pandai-pandailah guru mencari, memilih, dan memilah.
       Keberhasilan tidak akan terwujud apabila tidak ada usaha dan kerja keras. Untuk itu kita sebagai guru yang nota bene sebagai pendidik harus bertanggung jawab dan memiliki komitmen untuk keberhasilan pengembangan pendidikan karakter untuk anak-anak kita. Sudah waktunya guru melaksanakan tugas dengan berkarakter, tidak  sekedar melaksanakan tututan tugas hanya untuk mencapai target kurikulum.

IV.  Pustaka Acuan

Baried,  St. B., dkk. 1985.  Memahami Hikayat dalam Sastra Indonesia.  Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Bogdan, Robert C. dan Sari Knoop Biklen (1982) Qualitative Research for Education to Theory and Method, Boston: Allyn and Bacon Inc.
Brown, D. 2000. Principles of Language Learning and Teaching. San Fracisco: Longman.
Brown, D. 2001. Teaching By Prinsiple: An Interactive Approach to Language Pedagogy. San Fracisco: Longman.

Bunanta. 2004. Buku, Mendongeng, dan Minat Membaca. Jakarta : Pustaka Tangga.
Cox, C. 1999. Teaching Language Arts: A Student–and Response–Centered Clasroom. Boston: Allyn and Bacon.

Danandjaja, James. 2007. Folklor Indonesia. Jakarta : Graffiti Press
Endraswara, Suwardi.2002. Metode Penelitian Psikologi Sastra. Teori, Langkah, dan Penerapannya. Yogyakarta: MedPress.
Fang, L.Y. 1991. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta : Erlangga.
 Kakimashu, O. 2008.  Stories Behind  Bestseller Mangga, Kisah yang Tak Terungkap, Wawancara Mangaka, Karakter Expose, Proses Kreatif. Bandung : Bukukita.
 Rusyana, Yus. 1981. Sastra Lisan Nusantara. Bandung: Bandung: CV.Dipenogoro.
Rusyana. Yus. 1984. Metode Pengajaran sastra. Bandung: Gunung Larang.
Soekanto, S. 1998. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali P
Suyanto. 2009. Urgensi Pendidikan Karakter. www.andikdasmen.depdiknas.go.id/web/pages/urgensi.html.
Teeuw, A. 1984. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta : Gramedia.
Zuchdi, Darmiyati. 2011. Pendidikan Karakter dalam Perspektif Teori dan Praktik. Yogyakarta: UNY Press.

Zuhlan, Najib. 2011. Pendidikan Berbasis Karakter. Surabaya: JePe Press Media Utama



Tidak ada komentar:

Posting Komentar