Bahasa,
Identitas, dan Kearifan Lokal dalam Perspektif Global
Salah satu kecenderungan
yang tampak dengan jelas dari dinamika kehidupan manusia dewasa ini ialah
perubahan-perubahan yang disebabkan oleh upaya-upaya manusia di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi yang berlangsung kian cepat. Perubahan-perubahan tersebut
terasa besar sekali pengaruhnya bagi berbagai aspek kehidupan, termasuk di
dalamnya adalah pengaruhnya yang tak terhindarkan pada kehidupan bahasa dalam
berbagai seginya. Pada sisi lain, persemukaan kita dengan budaya asing melalui
media cetak dan elektronik, sebagai akibat yang tak terhindarkan dari proses
tersebut, telah memberi warna dan corak tersendiri pada sendi-sendi kehidupan
budaya kita yang tengah berada dalam proses transformasi. Akibatnya, kita pun
dihadapkan pada berbagai keniscayaan: penetrasi nilai-nilai baru yang avant garde yang acapkali bertentangan
dengan nilai lama yang konvensional; kecenderungan pragmatik, materialistik,
dan hedonik yang menjadi dominan di tengah masyarakat yang makin konsumeristik
yang ujung-ujungnya sampai pada pemiskinan spiritual; dan sederet panjang
fenomen lainnya. Oleh karena itu, yang penting bagi kita kini ialah berpikir
strategis tentang kebudayaan, yakni menempatkan kembali kebudayaan sebagai
kerja perencanaan manusia berikut tindakan nyatanya demi kesejahteraan bersama.
Persoalannya, bagaimanakah bahasa daerah menjadi komponen yang layak
dipertimbangkan dalam rangka strategi kebudayaan itu; dan jika ya, seberapa
jauh, dan imperatif yang bagaimanakah yang mustinya ditunaikan bersama.
Fenomena budaya, apapun bentuknya,
termasuk bahasa, posisinya bersifat tidak stabil. Ketidakstabilannya, dengan
demikian, menuntut kita untuk tidak memperhitungkannya sebagai sesuatu yang
bersifat tetap. Ia selalu dalam posisi berubah dan berubah terus. Apalagi jika
hal ini diletakkan dalam perspektif globalisasi. Karena, sebagai sebuah proses,
globalisasi menyediakan ruang yang begitu luas bagi siapapun untuk melakukan
apa yang disebut konstruksi identitas. Dikatakan demikian karena lewat proses
itu peristiwa pertukaran benda dan atau simbol menjadi amat mudah. Demikian
juga halnya dengan perpindahan dari tempat yang satu ke tempat lainnya. Belum
lagi dengan pencanggihan teknologi komunikasi yang membuat fertilisasi silang
antarbudaya juga semakin mudah. Itulah sebabnya, dalam globalisasi sifat
translokal menjadi sifat kebudayaan dan identitas.
Situasi kehidupan kita
kini mengisyaratkan bahwa terminologi tempat sebagai sandaran bagi pemahaman
terhadap kebudayaan dan identitas tidaklah cukup. Pencapaian pemahaman yang
baik terhadapnya akan terlaksana jika diposisikan dalam terminologi
“pelancongan.” Terminologi ini mencakupi budaya dan manusia yang selalu dalam
pengembaraan dari satu terminal ke terminal lainnya. Akibatnya, ruang-ruang
budaya juga merupakan “medan” tempat para pelancong menjadi pengembara pulang
balik. Tidak mustahil bahwa bahasa pun menjadi sebuah “rumah bersama.”
Mengapa
gagasan tentang ketidakstabilan kebudayaan dan identitas dalam wacana global
harus diperhitungkan tatkala kita memperbincangkan bahasa berikut aspek yang
terkait dengannya? Karena, situasi itu membawa kita pada pemahaman bahwa
kebudayaan dan identitas, seperti dinyatakan para ahli di bidangnya, selalu
merupakan pertemuan dan percampuran dari berbagai kebudayaan dan identitas yang
berbeda-beda melalui proses hibridasi, yang berakibat kabur dan labilnya
batas-batas kebudayaan yang mapan karena dikaburkan dan dilabilkan oleh proses
hibridasi itu. Inilah tantangan sekaligus peluang yang kini terbentang dan
mengepung kita.
Ketika etnisitas dipahami
sebagai sebuah konsep kultural yang berpusat pada pembagian norma-norma,
nilai-nilai, kepercayaan, simbol, dan praktik-praktik kultural, maka bahasa
sesungguhnya menjadi sarana yang utama. Bukankah etnisitas teraktualisasikan
juga dalam “cara kita berbicara” tentang identitas kelompok? Sementara di dalam
etnisitas itu sendiri juga selalu terandaikan adanya relasi, yakni relasi
dengan identifikasi diri dan sangkan-paran sosial. Dalam konteks inilah
menyiasati kembali bahasa daerah akan menemukan signifikansi dan relevansinya.
Harkat suatu masyarakat begitu ditentukan oleh budayanya sendiri. Budaya akan
tumbuh dan berkembang apabila didukung oleh masyarakatnya. Dikatakan demikian
karena masyarakatlah yang menjadi “ahli waris,” dan sekaligus sebagai pelaku
menuju tercipta dan tercapainya situasi yang disebut “sadar budaya,” yakni
kesadaran atau pemahaman di kalangan masyarakat bahwa sebagai individu yang
berada di tengah tata pergaulan, posisinya tidak pernah bersifat singular,
tetapi plural. Di samping itu, suatu masyarakat tidak akan mampu menjaga
eksistensinya apabila tidak bergaul dengan masyarakat lain, juga tidak akan
mampu apabila tidak menghayati budayanya sendiri. Persoalan hakiki ini pun
menjadi sesuatu yang penting dan tak terhindarkan bagi budaya-budaya lokal.
Oleh karena itu, masalah tersebut tidak cukup hanya diwacanakan, tetapi harus
diaktualisasikan dengan cara apa pun yang dipandang baik.
Berkaitan dengan hal
tersebut, terdapat dua hal pokok yang perlu diperhatikan. Pertama, situasi kehidupan kita kini yang semakin meng-global.
Bersamaan dengannya, diandaikan pula akan terbentuk nilai-nilai budaya baru
yang bersifat mondial, trans-nasional, atau pranata nilai budaya yang berada di
jalur utama (mainstream). Nilai-nilai budaya tersebut dijadikan acuan dan
tolok ukur yang dapat diterapkan di mana-mana. Kedua, pemikiran yang bertolak dari kekhawatiran munculnya dampak
budaya yang disebabkan oleh globalisasi, terutama sekali, tata ekonomi dan tata
informasi. Pemikiran kedua ini mewaspadai berbagai akibat yang mungkin timbul
dan tidak menguntungkan bagi sektor-sektor kehidupan yang tidak berada di jalur
utama. Mereka yang tetap menghayati
nilai-nilai budaya lokalnya akan menjadi kaum marginal yang kurang dimunculkan
dalam konstelasi informasi dunia, dan seringkali kurang diuntungkan secara
material. Oleh karena itu, upaya untuk mendudukkan identitas lokal, yang
ditandai oleh kebudayaannya, sudah seharusnya menjadi isu utama. Apabila
dikaitkan dengan budaya lokal tertentu – Cirebon misalnya -- berikut kearifan-kerifan
lokal yang terkandung di dalamnya, sesungguhnya budaya lokal sekarang ini
ibarat berada di “simpang empat,” yang penuh dengan berbagai tantangan dan
pilihan.
Dalam konstelasi global,
kearifan lokal dapat diperhitungkan sebagai realitas nilai budaya alternatif
karena kita memang memiliki, dan berada dalam dua macam sistem budaya yang
keduanya harus dipelihara dan dikembangkan, yakni sistem budaya nasional dan
sistem budaya etnik lokal. Nilai budaya nasional berlaku secara umum untuk
seluruh bangsa, dan sekaligus berada di luar ikatan budaya etnik lokal yang
manapun.
Nilai-nilai kearifan
lokal tertentu akan menjadi bercitra Indonesia karena dipadu dengan nilai-nilai
lain yang sesungguhnya diderivasikan dari nilai-nilai budaya lama yang terdapat
dalam berbagai nilai budaya etnik lokal. Hal-hal yang terdapat dalam budaya
etnik lokal pada dasarnya dapat dipandang sebagai landasan bagi pembentukan
identitas nasional. Budaya semacam itulah yang membuat budaya masyarakat dan
bangsa memiliki akar.
Budaya etnik lokal
seringkali berfungsi sebagai sumber atau acuan bagi penciptaan-penciptaan baru,
misalnya dalam bahasa, seni, tata masyarakat, teknologi, dan sebagainya, yang
kemudian ditampilkan dalam perikehidupan lintasbudaya. Dengan demikian, upaya mencipta dan mencipta
ulang identitas lokal yang merdeka, merupakan proses tegur-sapa kultural yang
perlu dibangun secara berkesinambungan.
Keinginan untuk membangun
kembali identitas lokal, pada hakikatnya dapat dipertimbangkan sebagai salah
satu sarana yang penting untuk menyeleksi, dan bukannya melawan, pengaruh
budaya “ yang lain, liyan.” Gerakan
nativisme bisa saja dipandang naif, akan tetapi ia merupakan suatu reaksi logis
apabila diletakkan dalam perspektif budaya yang berubah sangat cepat. Oleh
karena itu, menggali dan menanamkan kembali kearifan lokal dapat pula dikatakan
sebagai gerakan kembali pada basis nilai budaya lokalnya sendiri sebagai bagian
dari upaya membangun identitas. Fungsinya sebagai semacam filter dalam
menyeleksi berbagai budaya “liyan.”
Nilai-nilai kearifan lokal itu meniscayakan fungsi yang strategis bagi
pembentukan karakter dan identitas.
Nilai kearifan lokal yang
berupa seluruh budaya daerah atau etnis yang sudah lama hidup dan berkembang
hendaknya tetap menjadi unsur budaya yang dipelihara dan diupayakan untuk
diintegrasikan menjadi budaya baru secara keseluruhan. Kasus bahasa Indonesia
sebagai bahasa persatuan yang dijunjung tinggi adalah misal yang cukup jelas.
Bahasa yang hingga kini kita sebut sebagai bahasa nasional sebagai salah satu
wujud budaya nasional, karena perkembangannya, sebenarnya berasal dari sesuatu
yang lokal, yakni bahasa Melayu yang digunakan oleh saudara-saudara kita
di Riau dan sekitarnya. Sebagai bahasa
nasional, ia telah diterima oleh etnik-etnik lain dan memperoleh pengayaan dari
bahasa-bahasa lokal yang lain. Bahasa Cirebon (-an), misalnya, yang juga kaya
dengan ekspresi suasana emosi dan seringkali penuh dengan perasaan,
meniscayakan kebermaknaan tertentu dalam memperkaya bahasa nasional.
Apa yang disebut sebagai kearifan lokal, meniscayakan adanya muatan
budaya masa lalu. Ini dapat juga berfungsi untuk membangun kerinduan pada
kehidupan nenek moyang, yang menjadi tonggak kehidupan masa sekarang. Dengan
cara demikian, kesadaran budaya dan sejarah dapat ditumbuhkan. Anggapan bahwa
yang relevan dengan kehidupan hanyalah “masa kini dan di sini” juga dapat
dihindari. Kearifan lokal dapat dijadikan jembatan yang menghubungkan antara
masa lalu dan masa sekarang, antara generasi nenek moyang dan generasi sekarang,
demi menyiapkan masa depan dan generasi mendatang.
Di
samping mempunyai arti penting bagi identitas daerah yang memilikinya,
pengembangan kearifan lokal memiliki arti penting pula bagi berkembangannya
budaya bangsa. Koreografi, musik, dan sastra yang menempatkan nilai-nilai lokal
sebagai sumber inspirasi kreatif, misalnya saja, akan mendorong rasa kebanggaan
masyarakat terhadap budayanya, dan
sekaligus bangga terhadap daerahnya karena telah berperan serta dalam
menyumbang pengembangan budaya secara luas. Karya-karya seni budaya yang digali
dari sumber-sumber lokal, jika ditampilkan dalam wajah atau wacana nasional
niscaya memiliki sumbangan yang tidak sedikit bagi terciptanya identitas baru.
Akhirnya, ketika budaya lokal berada di “simpang empat” yang penuh tantangan,
kita semua diharapkan mampu memilah dan memilih, jalan mana yang tepat dan
harus dilalui, dan mana pula yang harus dihindari. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar