Senin, 13 November 2017

Bahasa, Identitas, dan Kearifan Lokal dalam Perspektif Global


Salah satu kecenderungan yang tampak dengan jelas dari dinamika kehidupan manusia dewasa ini ialah perubahan-perubahan yang disebabkan oleh upaya-upaya manusia di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang berlangsung kian cepat. Perubahan-perubahan tersebut terasa besar sekali pengaruhnya bagi berbagai aspek kehidupan, termasuk di dalamnya adalah pengaruhnya yang tak terhindarkan pada kehidupan bahasa dalam berbagai seginya. Pada sisi lain, persemukaan kita dengan budaya asing melalui media cetak dan elektronik, sebagai akibat yang tak terhindarkan dari proses tersebut, telah memberi warna dan corak tersendiri pada sendi-sendi kehidupan budaya kita yang tengah berada dalam proses transformasi. Akibatnya, kita pun dihadapkan pada berbagai keniscayaan: penetrasi nilai-nilai baru yang avant garde yang acapkali bertentangan dengan nilai lama yang konvensional; kecenderungan pragmatik, materialistik, dan hedonik yang menjadi dominan di tengah masyarakat yang makin konsumeristik yang ujung-ujungnya sampai pada pemiskinan spiritual; dan sederet panjang fenomen lainnya. Oleh karena itu, yang penting bagi kita kini ialah berpikir strategis tentang kebudayaan, yakni menempatkan kembali kebudayaan sebagai kerja perencanaan manusia berikut tindakan nyatanya demi kesejahteraan bersama. Persoalannya, bagaimanakah bahasa daerah menjadi komponen yang layak dipertimbangkan dalam rangka strategi kebudayaan itu; dan jika ya, seberapa jauh, dan imperatif yang bagaimanakah yang mustinya ditunaikan bersama.
Fenomena budaya, apapun bentuknya, termasuk bahasa, posisinya bersifat tidak stabil. Ketidakstabilannya, dengan demikian, menuntut kita untuk tidak memperhitungkannya sebagai sesuatu yang bersifat tetap. Ia selalu dalam posisi berubah dan berubah terus. Apalagi jika hal ini diletakkan dalam perspektif globalisasi. Karena, sebagai sebuah proses, globalisasi menyediakan ruang yang begitu luas bagi siapapun untuk melakukan apa yang disebut konstruksi identitas. Dikatakan demikian karena lewat proses itu peristiwa pertukaran benda dan atau simbol menjadi amat mudah. Demikian juga halnya dengan perpindahan dari tempat yang satu ke tempat lainnya. Belum lagi dengan pencanggihan teknologi komunikasi yang membuat fertilisasi silang antarbudaya juga semakin mudah. Itulah sebabnya, dalam globalisasi sifat translokal menjadi sifat kebudayaan dan identitas.
Situasi kehidupan kita kini mengisyaratkan bahwa terminologi tempat sebagai sandaran bagi pemahaman terhadap kebudayaan dan identitas tidaklah cukup. Pencapaian pemahaman yang baik terhadapnya akan terlaksana jika diposisikan dalam terminologi “pelancongan.” Terminologi ini mencakupi budaya dan manusia yang selalu dalam pengembaraan dari satu terminal ke terminal lainnya. Akibatnya, ruang-ruang budaya juga merupakan “medan” tempat para pelancong menjadi pengembara pulang balik. Tidak mustahil bahwa bahasa pun menjadi sebuah “rumah bersama.”
            Mengapa gagasan tentang ketidakstabilan kebudayaan dan identitas dalam wacana global harus diperhitungkan tatkala kita memperbincangkan bahasa berikut aspek yang terkait dengannya? Karena, situasi itu membawa kita pada pemahaman bahwa kebudayaan dan identitas, seperti dinyatakan para ahli di bidangnya, selalu merupakan pertemuan dan percampuran dari berbagai kebudayaan dan identitas yang berbeda-beda melalui proses hibridasi, yang berakibat kabur dan labilnya batas-batas kebudayaan yang mapan karena dikaburkan dan dilabilkan oleh proses hibridasi itu. Inilah tantangan sekaligus peluang yang kini terbentang dan mengepung kita.
Ketika etnisitas dipahami sebagai sebuah konsep kultural yang berpusat pada pembagian norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan, simbol, dan praktik-praktik kultural, maka bahasa sesungguhnya menjadi sarana yang utama. Bukankah etnisitas teraktualisasikan juga dalam “cara kita berbicara” tentang identitas kelompok? Sementara di dalam etnisitas itu sendiri juga selalu terandaikan adanya relasi, yakni relasi dengan identifikasi diri dan sangkan-paran sosial. Dalam konteks inilah menyiasati kembali bahasa daerah akan menemukan signifikansi dan relevansinya. Harkat suatu masyarakat begitu ditentukan oleh budayanya sendiri. Budaya akan tumbuh dan berkembang apabila didukung oleh masyarakatnya. Dikatakan demikian karena masyarakatlah yang menjadi “ahli waris,” dan sekaligus sebagai pelaku menuju tercipta dan tercapainya situasi yang disebut “sadar budaya,” yakni kesadaran atau pemahaman di kalangan masyarakat bahwa sebagai individu yang berada di tengah tata pergaulan, posisinya tidak pernah bersifat singular, tetapi plural. Di samping itu, suatu masyarakat tidak akan mampu menjaga eksistensinya apabila tidak bergaul dengan masyarakat lain, juga tidak akan mampu apabila tidak menghayati budayanya sendiri. Persoalan hakiki ini pun menjadi sesuatu yang penting dan tak terhindarkan bagi budaya-budaya lokal. Oleh karena itu, masalah tersebut tidak cukup hanya diwacanakan, tetapi harus diaktualisasikan dengan cara apa pun yang dipandang baik.
Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat dua hal pokok yang perlu diperhatikan. Pertama, situasi kehidupan kita kini yang semakin meng-global. Bersamaan dengannya, diandaikan pula akan terbentuk nilai-nilai budaya baru yang bersifat mondial, trans-nasional, atau pranata nilai budaya yang berada di jalur utama (mainstream). Nilai-nilai budaya tersebut dijadikan acuan dan tolok ukur yang dapat diterapkan di mana-mana. Kedua, pemikiran yang bertolak dari kekhawatiran munculnya dampak budaya yang disebabkan oleh globalisasi, terutama sekali, tata ekonomi dan tata informasi. Pemikiran kedua ini mewaspadai berbagai akibat yang mungkin timbul dan tidak menguntungkan bagi sektor-sektor kehidupan yang tidak berada di jalur utama.  Mereka yang tetap menghayati nilai-nilai budaya lokalnya akan menjadi kaum marginal yang kurang dimunculkan dalam konstelasi informasi dunia, dan seringkali kurang diuntungkan secara material. Oleh karena itu, upaya untuk mendudukkan identitas lokal, yang ditandai oleh kebudayaannya, sudah seharusnya menjadi isu utama. Apabila dikaitkan dengan budaya lokal tertentu – Cirebon misalnya -- berikut kearifan-kerifan lokal yang terkandung di dalamnya, sesungguhnya budaya lokal sekarang ini ibarat berada di “simpang empat,” yang penuh dengan berbagai tantangan dan pilihan.
Dalam konstelasi global, kearifan lokal dapat diperhitungkan sebagai realitas nilai budaya alternatif karena kita memang memiliki, dan berada dalam dua macam sistem budaya yang keduanya harus dipelihara dan dikembangkan, yakni sistem budaya nasional dan sistem budaya etnik lokal. Nilai budaya nasional berlaku secara umum untuk seluruh bangsa, dan sekaligus berada di luar ikatan budaya etnik lokal yang manapun.
Nilai-nilai kearifan lokal tertentu akan menjadi bercitra Indonesia karena dipadu dengan nilai-nilai lain yang sesungguhnya diderivasikan dari nilai-nilai budaya lama yang terdapat dalam berbagai nilai budaya etnik lokal. Hal-hal yang terdapat dalam budaya etnik lokal pada dasarnya dapat dipandang sebagai landasan bagi pembentukan identitas nasional. Budaya semacam itulah yang membuat budaya masyarakat dan bangsa memiliki akar.
Budaya etnik lokal seringkali berfungsi sebagai sumber atau acuan bagi penciptaan-penciptaan baru, misalnya dalam bahasa, seni, tata masyarakat, teknologi, dan sebagainya, yang kemudian ditampilkan dalam perikehidupan lintasbudaya.  Dengan demikian, upaya mencipta dan mencipta ulang identitas lokal yang merdeka, merupakan proses tegur-sapa kultural yang perlu dibangun secara berkesinambungan.
Keinginan untuk membangun kembali identitas lokal, pada hakikatnya dapat dipertimbangkan sebagai salah satu sarana yang penting untuk menyeleksi, dan bukannya melawan, pengaruh budaya “ yang lain, liyan.” Gerakan nativisme bisa saja dipandang naif, akan tetapi ia merupakan suatu reaksi logis apabila diletakkan dalam perspektif budaya yang berubah sangat cepat. Oleh karena itu, menggali dan menanamkan kembali kearifan lokal dapat pula dikatakan sebagai gerakan kembali pada basis nilai budaya lokalnya sendiri sebagai bagian dari upaya membangun identitas. Fungsinya sebagai semacam filter dalam menyeleksi berbagai budaya “liyan.” Nilai-nilai kearifan lokal itu meniscayakan fungsi yang strategis bagi pembentukan karakter dan identitas.
Nilai kearifan lokal yang berupa seluruh budaya daerah atau etnis yang sudah lama hidup dan berkembang hendaknya tetap menjadi unsur budaya yang dipelihara dan diupayakan untuk diintegrasikan menjadi budaya baru secara keseluruhan. Kasus bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang dijunjung tinggi adalah misal yang cukup jelas. Bahasa yang hingga kini kita sebut sebagai bahasa nasional sebagai salah satu wujud budaya nasional, karena perkembangannya, sebenarnya berasal dari sesuatu yang lokal, yakni bahasa Melayu yang digunakan oleh saudara-saudara kita di  Riau dan sekitarnya. Sebagai bahasa nasional, ia telah diterima oleh etnik-etnik lain dan memperoleh pengayaan dari bahasa-bahasa lokal yang lain. Bahasa Cirebon (-an), misalnya, yang juga kaya dengan ekspresi suasana emosi dan seringkali penuh dengan perasaan, meniscayakan kebermaknaan tertentu dalam memperkaya bahasa nasional.
        Apa yang disebut sebagai kearifan lokal, meniscayakan adanya muatan budaya masa lalu. Ini dapat juga berfungsi untuk membangun kerinduan pada kehidupan nenek moyang, yang menjadi tonggak kehidupan masa sekarang. Dengan cara demikian, kesadaran budaya dan sejarah dapat ditumbuhkan. Anggapan bahwa yang relevan dengan kehidupan hanyalah “masa kini dan di sini” juga dapat dihindari. Kearifan lokal dapat dijadikan jembatan yang menghubungkan antara masa lalu dan masa sekarang, antara generasi nenek moyang dan generasi sekarang, demi menyiapkan masa depan dan generasi mendatang.
            Di samping mempunyai arti penting bagi identitas daerah yang memilikinya, pengembangan kearifan lokal memiliki arti penting pula bagi berkembangannya budaya bangsa. Koreografi, musik, dan sastra yang menempatkan nilai-nilai lokal sebagai sumber inspirasi kreatif, misalnya saja,  akan mendorong rasa kebanggaan masyarakat  terhadap budayanya, dan sekaligus bangga terhadap daerahnya karena telah berperan serta dalam menyumbang pengembangan budaya secara luas. Karya-karya seni budaya yang digali dari sumber-sumber lokal, jika ditampilkan dalam wajah atau wacana nasional niscaya memiliki sumbangan yang tidak sedikit bagi terciptanya identitas baru. Akhirnya, ketika budaya lokal berada di “simpang empat” yang penuh tantangan, kita semua diharapkan mampu memilah dan memilih, jalan mana yang tepat dan harus dilalui, dan mana pula yang harus dihindari. Semoga.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar