Sabtu, 22 Oktober 2011

PEMBELAJARAN PRAGMATIK BERBASIS MULTIMEDIA


 A.    Purwawacana
Pembelajaran di abad 21 (era digital) tidaklah sama dengan pembelajaran di abad 20 dan abad-abad sebelumnya. Dunia tempat kita hidup saat ini secara fisik dan teknologi telah berkembang lebih maju. Hal ini turut mempengaruhi cara manusia berada, berintearaksi, berelasi, dan belajar. Konkretnya, jika pembelajaran di abad 21 tidak memanfaatkan teknologi multimedia, sudah barang tentu akan tertinggal jauh dari orang lain.
Secara umum, hasil pendidikan di Indonesia belum memuaskan. Hal ini tercermin dalam laporan beberapa lembaga internasional tentang daya saing sumber daya manusia Indonesia dengan negara lain. Peringkat Human Development Index (Indeks Pembangunan Manusia - IPM) Indonesia berada pada posisi ke 108 dari 182 negara, di bawah Singapura (27), Brunei Darussalam (37), Malaysia(57), dan Thailand (92) (hdr.undp.org/en/statistics/). Untuk itu, diperlukan suatu upaya peningkatan daya saing sumberdaya manusia yang lebih nyata. Sebagai orang yang berkecimpung di dunia pendidikan, khususnya pendidikan bahasa Indonesia, hal ini menjadi tantangan untuk melakukan perubahan dalam pembelajaran bahasa Indonesia, khusus pembelajaran yang berbasis multimedia.
Pembelajaran multimedia yang dikonotasikan dengan e-learning atau information and communication technology atau instructional computer technology (ICT) merupakan hal yang tidak dapat ditinggalkan oleh semua pihak dalam pembelajaran. Karena mau tidak mau, suka atau tidak suka pembelajaran harus menggunakan teknologi digital. Dalam arti teknologi hasil pemikiran manusia yang menggunakan perangkat lunak dan perangkatkeras komputer. Misalnya pembelajaran melalui teleconference, e-learning, e-book, dan lainnya.
Pada hakikatnya belajar merupakan proses perubahan di dalam kepribadian yang berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, dan kepandaian. Perubahan ini bersifat menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau aku pengalaman. Pembelajaran merupakan proses perubahan tingkah laku individu yang relatif tetap sebagai hasil dari pengalaman. Dengan demikian pemanfaatan multimedia (ICT) untuk pendidikan, terutama pembelajaran bahasa Indonesia sudah menjadi keharusan.
Bagaimana elearning diimplementasikan dalam pembelajaran pragmatik? Apakah sistem elearning yang akan diselenggarakan tersebut benarbenar menjadi sebuah pembelajaran yang benar-benar berbasis elektronik (truly electronic learning)? Melihat kenyataan di lapangan, walaupun teknologi informasi telah maju dengan sangat pesatnya, ternyata pendidikan yang mengimplementasikan ITBased Education secara murni masih sulit ditemukan, karena masih banyak faktor kendala yang lain, terutama dari sisi sumber daya manusia dan sarana atau infrastruktur pendukung. Akhirnya banyak model elearning yang dikembangkan dan diadopsi ke dalam pendidikan konvensional atau sebaliknya model konvensional diadopsi ke dalam model elearning.

B.     Pembelajaran Pragmatik yang Ideal
Pembelajaran merupakan upaya membelajarkan siswa (Degeng, 1989). Kegiatan pengupayaan ini akan mengakibatkan siswa dapat mempelajari sesuatu dengan cara efektif dan efisien. Upaya-upaya yang dilakukan dapat berupa analisis tujuan dan karakteristik studi dan siswa, analisis sumber belajar, menetapkan strategi pengorganisasian, isi pembelajaran, menetapkan strategi penyampaian pembelajaran, menetapkan strategi pengelolaan pembelajaran, dan menetapkan prosedur pengukuran hasil pembelajaran. Oleh karena itu, setiap pengajar harus memiliki keterampilan dalam memilih strategi pembelajaran untuk setiap jenis kegiatan pembelajaran. Dengan demikian, dengan memilih strategi pembelajaran yang tepat dalam setiap jenis kegiatan pembelajaran, diharapkan pencapaian tujuan belajar dapat terpenuhi.
Belajar pragmatik pada hakikatnya adalah belajar komunikasi. Oleh karena itu, pembelajaran pragmatik diarahkan untuk meningkatkan kemampuan pebelajar dalam berkomunikasi, baik lisan maupun tulis (Depdikbud, 1995).Seorang filosof dan ahli logika Carnap (1938) menjelaskan bahwa pragmatik mempelajari konsep-konsep abstrak. Pragmatik mempelajari hubungan konsep yang merupakan tanda. Selanjutnya Montague mengatakan bahwa pragmatik adalah studi mengenai „idexical“ atau „deictic“. Dalam pengertian ini pragmatik berkaitan dengan teori rujukan atau deiksis, yaitu pemakaian bahasa yang menunjuk pada rujukan tertentu menurut pemakaiannya. Pragmatik merupakan salah satu bidang kajian linguistik, bidang yang merupakan penelitian bagi para ahli bahasa. Pragmatik yang dimaksud sebagai bahan pengajaran bahasa atau yang disebut fungsi komunikatif, biasanya disajikan dalam ajaran bahasa asing.
Levinson (1983) dalam bukunya yang berjudul Pragmatics, memberikan beberapa batasan tentang pragmatik. Beberapa batasan yang dikemukakan Levinson antara lain mengatakan bahwa pragmatik adalah kajian hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa. Dalam batasan ini berarti untuk memahami pemakaian bahasa kita dituntut memahami pula konteks yang mewadahi pemakaian bahasa tersebut. Batasan lain yang dikemukakan Levinson mengatakan bahwa pragmatik adalah kajian tentang kemampuan pemakai bahasa untuk mengaitkan kalimat-kalimat dengan konteks yang sesuai bagi kalimat-kalimat itu.
Leech (1983:6(dalam Gunawan 2004:2)) melihat pragmatik sebagai bidang kajian dalam bidang linguistik yang mempunyai kaitan dengan semantik. Keterkaitan ini disebut semantisisme, yaitu melihat semantik sebagai bagian dari pragmatik dan komplementarisme atau melihat semantik dan pragmatik sebagai dua bidang yang saling melengkapi. Pragmatik dibedakan menjadi dua hal:
1.      Pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan, ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu pragmatik sebagai bidang kajian linguistik dan pragmatik sebagai salah satu segi di dalam bahasa.
2.      Pragmatik sebagai sesuatu yang mewarnai tindakan mengajar Pragmatik pada dasarnya memperhatikan aspek-aspek proses komunikatif (Noss dan Llamzon, 1986).
Menurut Noss dan Llamzon, dalam kajian pragmatik ada empat unsur pokok, yaitu hubungan antarperan, latar peristiwa, topik dan medium yang digunakan. Pragmatik mengarah kepada kemampuan menggunakan bahasa dalam berkomunikasi yang menghendaki adanya penyesuaian bentuk (bahasa) atau ragam bahasa dengan faktor-faktor penentu tindak komunikatif. Faktor-faktor tersebut yaitu siapa yang berbahasa, dengan siapa, untuk tujuan apa, dalam situasi apa, dalam konteks apa, jalur yang mana, media apa dan dalam peristiwa apa sehingga dapat disimpulkan bahwa pragmatik pada hakekatnya mengarah pada perwujudan kemampuan pemakai bahasa untuk menggunakan bahasanya sesuai dengan faktor-faktor penentu dalam tindak komunikatif dan memperhatikan prinsip penggunaan bahasa secara tepat.
Dalam kamus bahasa Indonesia edisi ketiga tahun 2005 disebutkan bahwa pragmatik adalah yang berkenaan dengan syarat-syarat yang mengakibatkan serasi tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi. Para pakar pragmatik mendefinisikan istilah ini secara berbeda-beda. Yule (1996;3) menyebutkan 4 definsi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara, (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang melabihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara, dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.
Thomas (1995;2) menyebut adanya kecenderungan dalam pragmatik terbagi menjadi dua bagian yaitu, pertama dengan menggunakan sudut pandang sosial, menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara. Kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif, menghubungkan pragmatik dengan interpretasi ujaran. Selanjutnya Thomas (1995:22) dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran, mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makan dalam interaksi.

C.    Prinsip Pembelajaran Berbasis Multimedia
Secara garis besar, apabila kita menyebut tentang multimedia, maka tidak akan terlepas dari istilah elearning. Setidaknya ada tiga komponen utama yang menyusun elearning yaitu:
1.        eLearning System
Sistem perangkat lunak yang memvirtualisasi proses belajar mengajar konvensional. Bagaimana manajemen kelas, pembuatan materi atau konten, forum diskusi, sistem penilaian (rapor), sistem ujian daring dan segala fitur yang berhubungan dengan manajemen proses belajar mengajar. Sistem perangkat lunak tersebut sering disebut dengan Learning Management System (LMS).
2.        eLearning Content (Isi)
Konten dan bahan ajar yang ada pada sistem elearning (learning management system). Konten dan bahan ajar ini bisa dalam bentuk MultimediaBased Content (konten berbentuk multimedia interaktif) atau Textbased Content (konten berbentuk teks seperti pada buku pelajaran biasa)
3.        eLearning Infrastructure (Peralatan)
Infrastruktur elearning dapat berupa personal computer (PC), jaringan  komputer dan perlengkapan multimedia. Termasuk di dalamnya peralatan teleconference apabila kita memberikan layanan synchronous learning melalui teleconference.

Munir (2009) mengatakan bahwa secara umum, terdapat dua persepsi dasar tentang e-learning yaitu:
1.        Electronic based e-learning, yakni pembelajaran yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi, terutama perangkat yang berupa perangkat elektronik.
2.        Internet based,yakni pembelajaran yang menggunakan fasilitas internet yang bersifat online sebagai instrument utamanya.
Bagaimana elearning diimplementasikan dalam pembelajaran bahasa Indonesia? Apakah sistem elearning yang akan diselenggarakan tersebut benarbenar menjadi sebuah pembelajaran yang benar-benar berbasis elektronik (truly electronic learning)?
Horton (2000) beranggapan bahwa dalam pembelajaran telah mengalami beberapa generasi. Ia menggambarkannya seperti pada gambar berikut ini.

Multimedia
 Generasi kelima
Komputer/ Jaringan
 Generasi keempat
Video/ Televisi
 Generasi ketiga
Audio/Radio
Generasi kedua
Cetak
 Generasi pertama






Gambar 1
Generasi Pembelajaran (Horton, 2000)

Implementasi suatu elearning bisa masuk ke dalam salah satu kategori tersebut, yakni bisa terletak di antara keduanya, atau bahkan bisa merupakan gabungan beberapa komponen dari dua sisi tersebut. Hal ini disebabkan antara lain karena belum adanya pola yang baku dalam implementasi elearning, keterbatasan sumberdaya manusia baik pengembang maupun staf pengajar dalam elearning, keterbatasan perangkat keras maupun perangkat lunak, keterbatasan biaya dan waktu pengembangan. Adapun dalam proses belajar mengajar yang sesungguhnya, terutama di negara yang koneksi Internetnya sangat lambat, pemanfaatan sistem elearning tersebut bisa saja digabung dengan sistem pembelajaran konvesional yang dikenal dengan sistem blended learning atau hybrid learning.

D.    Pembelajaran Pragmatik Berbasis Multimedia
Ada beberapa alasan yang dapat diangkat, bahwa teknologi informasi dapat diterapkan dalam media pendidikan. Pertama, banyak sekolah maupun perguruan tinggi yang memiliki komputer sendiri sehingga dimungkinkan untuk dikembangkan paket belajar Personal-Interaktif yang materi ajarnya dikemas dalam suatu perangkat lunak. Peserta dapat belajar dengan cara menjalankan program komputer atau perangkat lunak tersebut di komputer secara mandiri dan di lokasi masing-masing. Melalui paket program belajar ini peserta ajar dapat melakukan simulasi atau juga umpan balik tentang kemajuan belajarnya.
Kedua, Indonesia merupakan negeri yang terdiri atas ribuan pulau yang tersebar dalam wilayah yang sangat luas, serta dihuni lebih dari 200 juta penduduk dengan distribusi secara tidak homogen. Kondisi ini memang disadari memiliki kendala ketika akan diterapkan sistem pendidikan konvensional (tatap muka). Maka teknologi informasi yang mungkin diterapkan untuk kondisi tersebut adalah melalui jaringan internet. Melalui media ini proses belajar dapat dijalankan secara daring atau diunduh untuk keperluan luring. Peserta didik dapat mengakses sistem kapan saja dan sesering mungkin (time independence), tidak terbatas pada jam belajar dan tidak tergantung pada tempat (place independence).
Sistem e-learning dapat diimplementasikan dalam bentuk asynchronous, synchronous, atau campuran antara keduanya. Contoh e-learningasynchronous banyak dijumpai di internet baik yang sederhana maupun yang terpadu melalui portal e-learning. Sedangkan dalam e-learningsynchronous, pengajar dan siswa harus berada di depan komputer secara bersama-sama karena proses pembelajaran dilaksanakan secara live, baik melalui video maupun audio conference. Selanjutnya dikenal pula istilah blended learning yakni pembelajaran yang menggabungkan semua bentuk pembelajaran misalnya on-line, live, maupun tatap muka (konvensional).
Berdasarkan pemahaman kita selama ini, pembelajaran bahasa yang tepat akan memudahkan kita dalam mencapai tujuan. Pemilihan media, metode, serta penunjang lain yang disesuaikan dengan tujuan, materi, serta kemampuan dan karakteristik pembelajar, akan sangat menunjang efisiensi dan efektivitas proses dan hasil pembelajaran. Berikut ini adalah beberapa contoh sarana yang dapat digunakan dalam pembelajaran bahasa dengan e-learning.

Jenis Sarana
Contoh
e-mail (web based email)
Hotmail, yahoo, lycos
Mailing List
Yahoogroup
ftp
Ws-ftp, wincommander
www (world wide web)
Geocities, freeweb, angelfire
Chat room (web based chating)
Yahoo, mIRC, ICQ
Teleconference
Yahoo
Discussion forum (web based discussion)
Blazeboard, punbb
Course management system
Moodle, claroline
Search engine
Altavista, yahoo, google
Tabel 1
Klasifikasi Sarana Pembelajaran Berbasis ICT

Idealnya, pengembangan materi pembelajaran dilakukan oleh pengajar yang juga memiliki kemampuan yang baik dalam bidang computer. Perangkat lunak yang ada saat ini seperti Course Builder, Visual BasicSwish Max, Macromedia Fireworks atau Dreamweaver cukup rumit sehingga hanya dikuasai oleh para pemrogram komputer sedangkan pengelola pendidikan pada umumnya hanya menguasai manajemen pendidikan saja. Jadi pengembangan materi pembelajaran interaktif dengan komputer kurang optimal.
Pengembangan media pembelajaran interaktif bisa optimal dengan kerjasama antara programer komputer dengan pengajar atau pengelola pendidikan. Yang lebih ideal adalah seorang pengajar atau pengelola pendidikan menguasai program komputer. Namun hal itu dirasa sangat sulit, untuk itu perlu dilakukan pengembangan media pembelajaran e-learning agar dapat digunakan oleh para pengajar.
Dalam pembelajaran pragmatik, pokok yang dipelajari adalah tindak tutur. Apa yang bisa dimanfaatkan dari teknologi saat ini oleh kita? Alat-alat perekam, perangkat lunak-perangkat lunak yang mampu mentranskripsikan tuturan lisan ke dalam bentuk tulis tentunya memberi manfaat yang besar dalam pembelajaran ini.Secara umum, pembelajaran pragmatic berada dalam sudut pandang komunikasi yang mencakup tiga macam kompetensi lain selain kompetensi gramatikal (grammatical competence), yaitu kompetensi sosiolinguistik (sociolinguistic competence) yang berkaitan dengan pengetahuan sosial budaya bahasa tertentu, kompetensi wacana (discourse competence) yang berkaitan dengan kemampuan untuk menuangkan gagasan secara baik, dan kompetensi strategik (strategic competence) yang berkaitan dengan kemampuan pengungkapan gagasan melalui beragam gaya yang berlaku khusus dalam setiap bahasa.

E.     Purnawacana
Pembelajaran di abad 21 (multimedia) tidaklah sama dengan pembelajaran di abad 20 dan abad-abad sebelumnya. Dunia tempat kita hidup saat ini secara fisik dan teknologi telah berkembang lebih maju. Hal ini turut mempengaruhi cara manusia berada, berintearaksi, berelasi, dan belajar. Dengan dorongan teknologi informasi dan komunikasi, kita terdorong untuk mengimplementasikan e-learning dalam pembelajaran, khususnya pembelajaran pragmatik.
Membutuhkan waktu yang panjang untukmewujudkan sistem e-learning yang benar-benar berbasis elektronik (truly electronic learning).Namun sebagai insan yang berkecimpung dalam dunia pembelajaran, hal yang dapat kita tempuh adalah memulainya dari hal terkecil sejak saat ini.

F.     PustakaRujukan
Degeng, I.N.S. 1997. Strategi Pembelajaran Mengorganisasi Isi dengan Model Elaborasi. Malang: IKIP dan IPTDI
Holden, Jolly T. Westfall, Phillip J. 2009. An Instructional Media Selection Guide for Distance Learning-Implications for Blended Learning featuring an Introduction to Virtual World. United States of America: USDLA
Lee, Kwuang-wu. 2000. English Teachers’ Barriers to the Use of Computer-assisted Language Learning. The Internet TESL Journal, Vol. VI, No. 12, December 2000.
Rosenberg, Marc Jeffrey. 2001. E-learning : Strategies for Delivering Knowledge in the Digital Age (ebook version). New York: McGraw-Hill Professional.
Rosen, Anita. 2009. E-learning 2.0 : Proven Practices and Emerging Technologies to Achieve Results. New York: American Management Association.
Wallington, C.J. 1996. Media production: Production of Still Media. Plomp, T., & Ely, D.P. (Eds.): International Encyclopedia of Educational Technology, 2nd edition. New York: Elsevier Science, Inc.
Yule, George. 1996. Pragmatik. Yogyakarta: PustakaPelajar.

Rabu, 12 Oktober 2011

pembelajaran menulis BI untuk penutur asing

MODEL PENGAJARAN MENULIS BAHASA INDONESIA BAGI PENUTUR ASING TINGKAT LANJUT
(Kajian Praktis ke Arah Keterampilan Menulis
Untuk Penutur Asing))


Titin Setiartin
FKIP Universitas Siliwangi Tasikmalaya

A. Pengajaran Keterampilan Menulis
       Mahasiswa asing yang belajar di Indonesia, di samping mempelajari ilmunya, ia juga harus belajar bahasa Indonesia. Belajar bahasa Indonesia berarti ia harus belajar mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia. Menulis adalah sebuah keterampilan berbahasa yang terpadu, yang ditujukan untuk menghasilkan sesuatu yang disebut tulisan.
       Sekurang-kurangnya, ada tiga komponen yang tergabung dalam perbuatan menulis, yaitu: (1) penguasaan bahasa tulis, yang akan berfungsi sebagai media tulisan, meliputi: kosakata, struktur kalimat, paragraf, ejaan, pragmatik, dan sebagainya; (2) penguasaan isi karangan sesuai dengan topik yang akan ditulis; dan (3) penguasaan tentang jenis-jenis tulisan, yaitu bagaimana merangkai isi tulisan dengan menggunakan bahasa tulis sehingga membentuk sebuah komposisi yang diinginkan, seperti esai, artikel, cerita pendek, makalah, dan sebagainya.
       Seorang penutur asing tidak akan mungkin terampil menulis kalau hanya menguasai satu atau dua komponen saja di antara ketiga komponen tersebut. Betapa banyak penutur asing yang menguasai bahasa Indonesia secara tertulis tetapi tidak dapat menghasilkan tulisan karena tidak tahu apa yang akan ditulis dan bagaimana menuliskannya. Betapa banyak pula penutur asing yang mengetahui banyak hal untuk ditulis dan tahu pula menggunakan bahasa tulis tetapi tidak dapat menulis karena tidak tahu caranya. Dalam makalah ini akan dibahas model pengajaran menulis bahasa Indonesia bagi penutur asing tingkat lanjut khususnya mereka yang belajar berbagai ilmu di Indonesia.
       Menulis bukan pekerjaan yang sulit melainkan juga tidak mudah. Untuk memulai menulis, setiap penulis tidak perlu menunggu menjadi seorang penulis yang terampil. Belajar teori menulis itu mudah, tetapi untuk mempraktikkannya tidak cukup sekali dua kali. Frekuensi latihan menulis akan menjadikan seseorang terampil dalam bidang tulis-menulis.
       Tidak ada waktu yang tidak tepat untuk memulai menulis. Artinya, kapan pun, di mana pun, dan dalam situasi yang bagaimana pun seorang penutur asing yang belajar di Indonesia dapat melakukannya. Ketakutan akan kegagalan bukanlah penyebab yang harus dipertahankan. Itulah salah satu kiat, teknik, dan strategi yang ditawarkan oleh David Nunan (1991: 86—90) dalam bukunya Language Teaching Methodology. Dia menawarkan suatu konsep pengembangan keterampilan menulis yang meliputi: (1) perbedaan antara bahasa lisan dan bahasa tulisan, (2) menulis sebagai suatu proses dan menulis sebagai suatu produk, (3) struktur generik wacana tulis,  (4) perbedaan antara penulis terampil dan penulis yang tidak terampil, dan (5) penerapan keterampilan menulis dalam proses pembelajaran.
       Pertama, perbedaan antara bahasa lisan dan bahasa tulisan tampak pada fungsi dan karakteristik yang dimiliki oleh keduanya. Namun demikian, yang patut diperhatikan adalah keduanya harus memiliki fungsi komunikasi. Dari sudut pandang inilah dapat diketahui sejauh mana hubungan antara bahasa lisan dan bahasa tulis, sehingga dapat diaplikasikan dalam kegiatan komunikasi.
       Dalam berkomunikasi sehari-hari, salah satu alat yang paling sering digunakan adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulis. Begitu dekatnya kita kepada bahasa tadi, terutama bahasa Indonesia, sehingga tidak dirasa perlu untuk mendalami dan mempelajari bahasa Indonesia secara lebih jauh dan lebih mendalam. Akibatnya, sebagai pemakai bahasa, orang Indonesia kadang-kadang tidak terampil menggunakan bahasanya sendiri dibandingkan dengan orang asing yang belajar bahasa Indonesia. Hal ini merupakan suatu kelemahan yang tidak kita sadari.
            Kedua, pandangan bahwa keterampilan menulis sebagai suatu proses dan menulis sebagai suatu produk. Pendekatan yang berorientasi pada proses lebih memfokuskan pada aktivitas belajar (proses menulis); sedangkan pendekatan yang berorientasi pada produk lebih memfokuskan pada hasil belajar menulis yaitu wujud tulisan.
       Ketiga, struktur generik wacana dari masing-masing jenis karangan (tulisan) tidak menunjukkan perbedaan yang mencolok. Hanya saja pada jenis karangan narasi menunjukkan struktur yang lengkap, yang meliputi orientasi, komplikasi, dan resolusi. Hal ini menjadi ciri khas jenis karangan/tulisan ini.
       Keempat, untuk menambah wawasan tentang keterampilan menulis, setiap penulis perlu mengetahui penulis yang terampil dan penulis yang tidak terampil. Tujuannya adalah agar dapat mengikuti jalan pikiran (penalaran) dari keduanya. Kita dapat mengetahui kesulitan yang dialami penulis yang tidak terampil (baca: pemula, awal). Salah satu kesulitan yang dihadapinya adalah ia kurang mampu mengantisipasi masalah yang ada pada pembaca. Adapun penulis terampil, ia mampu mengatakan masalah tersebut atau masalah lainnya, yaitu masalah yang berkenaan dengan proses menulis itu sendiri.
      Kelima, sekurang-kurangnya ada tiga proses menulis yang ditawarkan oleh David Nunan, yakni: (1) tahap prapenulisan, (2) tahap penulisan, dan (3) tahap perbaikan. Untuk menerapkan ketiga tahap menulis tersebut diperlukan keterampilan memadukan antara proses dan produk menulis.
       Menulis pada dasarnya merupakan suatu kegiatan yang produktif dan ekspresif. Dalam kegiatan menulis ini seorang penulis harus terampil memanfaatkan grafologi, struktur bahasa, dan kosakata. Keterampilan menulis digunakan untuk mencatat, merekam, meyakinkan, melaporkan, menginformasikan, dan mempengaruhi pembaca. Maksud dan tujuan seperti itu hanya dapat dicapai dengan baik oleh para pembelajar yang dapat menyusun dan merangkai jalan pikiran dan mengemukakannya secara tertulis dengan jelas, lancar, dan komunikatif. Kejelasan ini bergantung pada pikiran, organisasi, pemakaian dan pemilihan kata, dan struktur kalimat (McCrimmon, 1967: 122).

B. Pendekatan Pengajaran Menulis: Tradisional dan Proses


       Pembelajaran menulis dengan pendekatan tradisional lebih menekankan pada hasil berupa tulisan yang telah jadi, tidak pada apa yang dikerjakan pembelajar ketika menulis. Pembelajar berpraktik menulis, mereka tidak mempelajari bagaimana cara menulis yang baik. Temuan penelitian mengenai menulis menyebabkan bergesernya penekanan pembelajaran menulis dari hasil (tulisan) ke proses menulis yang terlibat dalam menghasilkan tulisan. Peran pengajar dalam pembelajaran menulis dengan pendekatan proses tidak hanya memberikan tugas menulis dan menilai tulisan para pembelajar, tetapi juga membimbing pembelajar dalam proses menulis (Tompkins, 1990: 69).
      Perbedaan antara pendekatan tradisional dan pendekatan keterampilan proses dalam pembelajaran menulis bahasa Indonesia bagi penutur asing tingkat lanjut sebagaimana dikemukakan Tompkins (1990: 70) dapat dilihat pada bagan berikut.

Pendekatan Tradisional dan Keterampilan Proses dalam Menulis


No.
Komponen
Pendekatan Tradisional
Pendekatan Proses
1
Pilihan Topik
Tugas menulis kreatif yang spesifik diberikan oleh pengajar
Pembelajar memilih topik sendiri, atau topik-topik yang diambil dari bidang studi lain
2
Pembelajaran
Pengajar hanya sedikit atau tidak memberikan pelajaran.
Pembelajar diharapkan menulis sebaik-baiknya
Pengajar mengajar pembelajar mengenai proses menulis dan mengenai bentuk-bentuk tulisan
3
Fokus
Berfokus pada tulisan yang sudah jadi
Berfokus pada proses yang digunakan pembelajar ketika menulis
4
Rasa Memiliki
Pembelajar menulis untuk pengajar dan kurang merasa memiliki  tulisan sendiri
Pembelajar merasa memiliki tulisan sendiri.

5
Pembaca
Pengajar merupakan pembaca utama
Pembelajar menulis untuk pembaca yang sesungguhnya
6
Kerja Sama
Hanya sedikit atau tidak ada kerja sama
Pembelajar menulis dengan bekerja sama dan berbagi tulisan yang dihasilkan masing-masing dengan teman-teman satu kelompok/kelas
7
Draft
Pembelajar menulis draft tunggal dan harus memusatkan pada isi sekaligus segi mekanik (ejaan, tanda baca, tata tulis)
Pembelajar menulis draft kasar (outline) untuk menuangkan gagasan dan kemudian merevisi dan menyunting draft ini sebelum membuat hasil akhir
8
Kesalahan Mekanik
Pembelajar dituntut untuk menghasilkan tulisan yang bebas dari kesalahan
Pembelajar mengoreksi kesalahan sebanyak-banyaknya selama menyunting, tetapi tekanannya lebih besar pada isi daripada segi mekanik
9
Peran Pengajar
Pengajar memberikan tugas menulis dan menilainya jika tulisan sudah jadi
Pengajar mengajarkan cara menulis dan memberikan balikan selama pembelajar merevisi dan mengedit/menyunting
10
Waktu
Pembelajar menyelesaikan tulisan dalam satu jam pelajaran
Pembelajar mungkin menghabiskan waktu tidak hanya satu jam pelajaran untuk mengerjakan setiap tugas menulis
11
Evaluasi
Pengajar mengevaluasi kualitas tulisan setelah tulisan selesai disusun
Pengajar memberikan balikan selama pembelajar menulis, sehingga pembelajar dapat memanfaatkannya untuk memperbaiki tulisannya. Evaluasi berfokus pada proses dan hasil.

               
       Dari kedua pendekatan pengajaran menulis seperti tertera pada bagan di atas dapat diketahui kelemahan dan keunggulannya. Pada pendekatan tradisional, pengajar memberikan topik tulisan dan setelah pembelajar mengerjakan tugas tersebut selama setengah atau tiga per empat jam (satu jam pelajaran), pengajar mengumpulkan pekerjaan pembelajar untuk dievaluasi. Dengan model pembelajaran seperti ini biasanya hanya sedikit saja pembelajar yang dapat menghasilkan tulisan yang baik. Sebagian besar pembelajar biasanya hanya menghasilkan tulisan yang kurang baik. Pengalaman di lapangan dalam memberikan proses pembelajaran terhadap penutur asing menunjukkan bahwa kadang-kadang mereka hanya dapat menghasilkan beberapa kalimat saja. Dalam kondisi semacam ini pembelajar tidak mempelajari bagaimana cara menulis. Mereka dihadapkan pada tugas sulit yang harus mereka kerjakan tanpa memperoleh penjelasan mengenai cara mengatasi kesulitan yang mereka hadapi.
       Menyadari terhadap kenyataan yang tidak menguntungkan bagi upaya pengembangan keterampilan menulis bahasa Indonesia bagi penutur asing tingkat lanjut seperti digambarkan di atas, seyogianya dapat diterapkan model/pendekatan keterampilan proses dalam pembelajaran menulis. Untuk itu, terlebih dahulu perlu diketahui proses kreatif dalam menulis.

C. Proses Kreatif  dalam Menulis

       Menulis merupakan suatu proses kreatif  yang banyak melibatkan cara berpikir divergen (menyebar) daripada konvergen (memusat) (Supriadi, 1997). Menulis tidak ubahnya dengan melukis. Penulis memiliki banyak gagasan dalam menuliskannya. Kendatipun secara teknis ada kriteria-kriteria yang dapat diikutinya, tetapi wujud yang akan dihasilkan itu sangat bergantung pada kepiawaian penulis dalam mengungkapkan gagasan. Banyak orang mempunyai ide-ide bagus di benaknya sebagai hasil dari pengamatan, penelitian, diskusi, atau membaca. Akan tetapi, begitu ide tersebut dilaporkan secara tertulis, laporan itu terasa amat kering, kurang menggigit, dan membosankan. Fokus tulisannya tidak jelas, gaya bahasa yang digunakan monoton, pilihan katanya (diksi) kurang tepat dan tidak mengena sasaran, serta variasi kata dan kalimatnya kering.
       Sebagai proses kreatif yang berlangsung secara kognitif, penyusunan sebuah tulisan memuat empat tahap, yaitu: (1) tahap persiapan (prapenulisan), (2) tahap inkubasi, (3) tahap iluminasi, dan (4) tahap verifikasi/evaluasi. Keempat proses ini tidak selalu disadari oleh para pembelajar bahasa Indonesia sebagai bahasa asing. Namun, jika dilacak lebih jauh lagi, hampir semua proses menulis (esai, opini/artikel, karya ilmiah, artistik, atau bahkan masalah politik sekali pun) melalui keempat tahap ini. Harap diingat, bahwa proses kreatif tidak identik dengan proses atau langkah-langkah mengembangkan laporan tetapi lebih banyak merupakan proses kognitif atau bernalar.
       Pertama, tahap persiapan atau prapenulisan adalah ketika pembelajar menyiapkan diri, mengumpulkan informasi, merumuskan masalah, menentukan fokus, mengolah informasi, menarik tafsiran dan inferensi terhadap realitas yang dihadapinya, berdiskusi, membaca, mengamati, dan lain-lain yang memperkaya masukan kognitifnya yang akan diproses selanjutnya.
       Kedua, tahap inkubasi adalah ketika pembelajar memproses informasi yang dimilikinya sedemikian rupa, sehingga mengantarkannya pada ditemukannya pemecahan masalah atau jalan keluar yang dicarinya. Proses inkubasi ini analog dengan ayam yang mengerami telurnya sampai telur menetas menjadi anak ayam. Proses ini seringkali terjadi secara tidak disadari, dan memang berlangsung dalam kawasan bawah sadar (subconscious) yang pada dasarnya melibatkan proses perluasan pikiran (expanding of the mind). Proses ini dapat berlangsung beberapa detik sampai bertahun-tahun. Biasanya, ketika seorang penulis melalui proses ini seakan-akan ia mengalami kebingungan dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Oleh karena itu, tidak jarang seorang penulis yang tidak sabar mengalami frustrasi karena tidak menemukan pemecahan atas masalah yang dipikirkannya. Seakan-akan kita melupakan apa yang ada dalam benak kita. Kita berekreasi dengan anggota keluarga, melakukan pekerjaan lain, atau hanya duduk termenung. Kendatipun demikian, sesungguhnya di bawah sadar kita sedang mengalami proses pengeraman yang menanti saatnya untuk segera “menetas”.
       Ketiga, tahap iluminasi adalah ketika datangnya inspirasi atau insight, yaitu gagasan datang seakan-akan tiba-tiba dan berloncatan dari pikiran kita. Pada saat ini, apa yang telah lama kita pikirkan menemukan pemecahan masalah atau jalan keluar. Iluminasi tidak mengenal tempat atau waktu. Ia bisa datang ketika kita duduk di kursi, sedang mengendarai mobil, sedang berbelanja di pasar atau di supermarket, sedang makan, sedang mandi, dan lain-lain.
       Jika hal-hal itu terjadi, sebaiknya gagasan yang muncul dan amat dinantikan itu segera dicatat, jangan dibiarkan hilang kembali sebab momentum itu biasanya tidak berlangsung lama. Tentu saja untuk peristiwa tertentu, kita menuliskannya setelah selesai melakukan pekerjaan. Jangan sampai ketika kita sedang mandi, misalnya, kemudian keluar hanya untuk menuliskan gagasan. Agar gagasan tidak menguap begitu saja, seorang pembelajar menulis yang baik selalu menyediakan ballpoint atau pensil dan kertas di dekatnya, bahkan dalam tasnya ke mana pun ia pergi.
       Seringkali orang menganggap iluminasi ini sebagai ilham. Padahal, sesungguhnya ia telah lama atau pernah memikirkannya. Secara kognitif, apa yang dikatakan ilham tidak lebih dari proses berpikir kreatif. Ilham tidak datang dari kevakuman tetapi dari usaha dan ada masukan sebelumnya terhadap referensi kognitif seseorang.
      Keempat, tahap terakhir yaitu verifikasi, apa yang dituliskan sebagai hasil dari tahap iluminasi itu diperiksa kembali, diseleksi, dan disusun sesuai dengan fokus tulisan. Mungkin ada bagian yang tidak perlu dituliskan, atau ada hal-hal yang perlu ditambahkan, dan lain-lain. Mungkin juga ada bagian yang mengandung hal-hal yang peka, sehingga perlu dipilih kata-kata atau kalimat yang lebih sesuai, tanpa menghilangkan esensinya. Jadi, pada tahap ini kita menguji dan menghadapkan apa yang kita tulis itu dengan realitas sosial, budaya, dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.

D. Proses Pembelajaran Menulis

       Berdasarkan hasil penelitian yang diadakan terhadap tulisan mahasiswa, Flower dan Hayes (lewat Tompkins, 1990: 71) mengembangkan model proses dalam menulis. Proses menulis dapat dideskripsikan sebagai proses pemecahan masalah yang kompleks, yang mengandung tiga elemen, yaitu lingkungan tugas, memori jangka panjang penulis, dan proses menulis. Pertama, lingkungan tugas adalah tugas yang penulis kerjakan dalam menulis. Kedua, memori jangka panjang penulis adalah pengetahuan mengenai topik, pembaca, dan cara menulis. Ketiga, proses menulis meliputi tiga kegiatan, yaitu: (1) merencanakan (menentukan tujuan untuk mengarahkan tulisan), (2) mewujudkan (menulis sesuai dengan rencana yang sudah dibuat), dan (3) merevisi (mengevaluasi dan merevisi tulisan).
       Ketiga kegiatan tersebut tidak merupakan tahap-tahap yang linear, karena penulis terus-menerus memantau tulisannya dan bergerak maju mundur (Zuchdi, 1997: 6). Peninjauan kembali tulisan yang telah dihasilkan ini dapat dianggap sebagai komponen keempat dalam proses menulis. Hal inilah yang membantu penulis dapat mengungkapkan gagasan secara logis dan sistematis, tidak mengandung bagian-bagian yang kontradiktif. Dengan kata lain, konsistensi (keajegan) isi gagasan dapat terjaga.
       Berkaitan dengan tahap-tahap proses menulis, Tompkins (1990: 73) menyajikan lima tahap, yaitu: (1) pramenulis, (2) pembuatan draft, (3) merevisi, (4) menyunting, dan (5) berbagi (sharing). Tompkins juga menekankan bahwa tahap-tahap menulis ini tidak merupakan kegiatan yang linear. Proses menulis bersifat nonlinier, artinya merupakan putaran berulang. Misalnya, setelah selesai menyunting tulisannya, penulis mungkin ingin meninjau kembali kesesuaiannya dengan kerangka tulisan atau draft awalnya. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada setiap tahap itu dapat dirinci lagi. Dengan demikian, tergambar secara menyeluruh proses menulis, mulai awal sampai akhir menulis seperti berikut.
1.Tahap Pramenulis
            Pada tahap pramenulis, pembelajar melakukan kegiatan sebagai berikut:
  1. Menulis topik berdasarkan pengalaman sendiri
  2. Melakukan kegiatan-kegiatan latihan sebelum menulis
  3. Mengidentifikasi pembaca tulisan yang akan mereka tulis
  4. Mengidentifikasi tujuan kegiatan menulis
  5. Memilih bentuk tulisan yang tepat berdasarkan pembaca dan tujuan yang telah mereka tentukan
2. Tahap Membuat Draft
Kegiatan yang dilakukan oleh pembelajar pada tahap ini adalah sebagai berikut:
  1. Membuat draft kasar
  2. Lebih menekankan isi daripada tata tulis
3. Tahap Merevisi
            Yang perlu dilakukan oleh pembelajar pada tahap merevisi tulisan ini adalah sebagai berikut:
  1. Berbagi tulisan dengan teman-teman (kelompok)
  2. Berpartisipasi secara konstruktif dalam diskusi tentang tulisan teman-teman sekelompok atau sekelas
  3. Mengubah tulisan mereka dengan memperhatikan reaksi dan komentar baik dari pengajar maupun teman
  4. Membuat perubahan yang substantif pada draft pertama dan draft berikutnya, sehingga menghasilkan draft akhir
4. Tahap Menyunting
            Pada tahap menyunting, hal-hal yang perlu dilakukan oleh pembelajar adalah sebagai berikut:
  1. Membetulkan kesalahan bahasa tulisan mereka sendiri
  2. Membantu membetulkan kesalahan bahasa dan tata tulis tulisan mereka sekelas/sekelompok
  3. Mengoreksi kembali kesalahan-kesalahan tata tulis tulisan mereka sendiri
       Dalam kegiatan penyuntingan ini, sekurang-kurangnya ada dua tahap yang harus dilakukan. Pertama, penyuntingan tulisan untuk kejelasan penyajian. Kedua, penyuntingan bahasa dalam tulisan agar sesuai dengan sasarannya (Rifai, 1997: 105—106). Penyuntingan tahap pertama akan berkaitan dengan masalah komunikasi. Tulisan diolah agar isinya dapat dengan jelas diterima oleh pembaca. Pada tahap ini, sering kali penyunting harus mereorganisasi tulisan karena penyajiannya dianggap kurang efektif. Ada kalanya, penyunting terpaksa membuang beberapa paragraf atau sebaliknya, harus menambahkan beberapa kalimat, bahkan beberapa paragraf untuk memperlancar hubungan gagasan. Dalam melakukan penyuntingan pada tahap ini, penyunting sebaiknya berkonsultasi dan berkomunikasi dengan penulis. Pada tahap ini, penyunting harus luwes dan pandai-pandai menjelaskan perubahan yang disarankannya kepada penulis karena hal ini sangat peka. Hal-hal yang berkaitan dengan penyuntingan tahap ini adalah kerangka tulisan, pengembangan tulisan, penyusunan paragraf, dan kalimat.
       Kerangka tulisan merupakan ringkasan sebuah tulisan. Melalui kerangka tulisan, penyunting dapat melihat gagasan, tujuan, wujud, dan sudut pandang penulis. Dalam bentuknya yang ringkas itulah, tulisan dapat diteliti, dianalisis, dan dipertimbangkan secara menyeluruh, dan tidak secara lepas-lepas (Keraf, 1989: 134). Penyunting dapat memperoleh keutuhan sebuah tulisan dengan cara mengkaji daftar isi tulisan dan bagian pendahuluan. Jika ada, misalnya, dalam tulisan ilmiah atau ilmiah populer, sebaiknya bagian simpulan pun dibaca. Dengan demikian, penyunting akan memperoleh gambaran awal mengenai sebuah tulisan dan tujuannya. Gambaran itu kemudian diperkuat dengan membaca secara keseluruhan isi tulisan. Jika tulisan merupakan karya fiksi, misalnya, penyunting langsung membaca keseluruhan karya tersebut. Pada saat itulah, biasanya penyunting sudah dapat menandai bagian-bagian yang perlu disesuaikan.
       Berdasarkan kerangka tulisan tersebut dapat diketahui tujuan penulis. Selanjutnya, berdasarkan pengetahuan atas tujuan penulis, dapat diketahui bentuk tulisan dari sebuah naskah (tulisan). Pada umumnya, tulisan dapat dikelompokkan atas empat macam bentuk, yaitu narasi, deskripsi, eksposisi, dan argumentasi.
       Bentuk tulisan narasi dipilih jika penulis ingin bercerita kepada pembaca. Narasi biasanya ditulis berdasarkan rekaan atau imajinasi. Akan tetapi, narasi dapat juga ditulis berdasarkan pengamatan atau wawancara. Narasi pada umumnya merupakan himpunan peristiwa yang disusun berdasarkan urutan waktu atau urutan kejadian. Dalam tulisan narasi, selalu ada tokoh-tokoh yang terlibat dalam suatu atau berbagai peristiwa.
       Bentuk tulisan deskripsi dipilih jika penulis ingin menggambarkan bentuk, sifat, rasa, corak dari hal yang diamatinya. Deskripsi juga dilakukan untuk melukiskan perasaan, seperti bahagia, takut, sepi, sedih, dan sebagainya. Penggambaran itu mengandalkan pancaindera dalam proses penguraiannya. Deskripsi yang baik harus didasarkan pada pengamatan yang cermat dan penyusunan yang tepat. Tujuan deskripsi adalah membentuk, melalui ungkapan bahasa, imajinasi pembaca agar dapat membayangkan suasana, orang, peristiwa, dan agar mereka dapat memahami suatu sensasi atau emosi. Pada umumnya, deskripsi jarang berdiri sendiri. Bentuk tulisan tersebut selalu menjadi bagian dalam bentuk tulisan lainnya.
       Bentuk tulisan eksposisi dipilih jika penulis ingin memberikan informasi, penjelasan, keterangan atau pemahaman. Berita merupakan bentuk tulisan eksposisi karena memberikan informasi. Tulisan dalam majalah juga merupakan eksposisi. Buku teks merupakan bentuk eksposisi. Pada dasarnya, eksposisi berusaha menjelaskan suatu prosedur atau proses, memberikan definisi, menerangkan, menjelaskan, menafsirkan gagasan, menerangkan bagan atau tabel, mengulas sesuatu.Tulisan eksposisi sering ditemukan bersama-sama dengan bentuk tulisan deskripsi. Laras yang termasuk dalam bentuk tulisan eksposisi adalah buku resep, buku-buku pelajaran, buku teks, dan majalah.
       Tulisan berbentuk argumentasi bertujuan meyakinkan orang, membuktikan pendapat atau pendirian pribadi, atau membujuk pembaca agar pendapat pribadi penulis dapat diterima. Bentuk tulisan tersebut erat kaitannya dengan eksposisi dan ditunjang oleh deskripsi. Bentuk argumentasi dikembangkan untuk memberikan penjelasan dan fakta-fakta yang tepat sebagai alasan untuk menunjang kalimat topik. Kalimat topik, biasanya merupakan sebuah pernyataan untuk meyakinkan atau membujuk pembaca. Dalam sebuah majalah atau surat kabar, misalnya, argumentasi ditemui dalam kolom opini/wacana/gagasan/pendapat.
       Kendatipun keempat bentuk tulisan tersebut memiliki ciri masing-masing, mereka tidak secara ketat terpisah satu sama lain. Dalam sebuah kolom, misalnya, dapat ditemukan berbagai bentuk tulisan tersebut tersebar di dalam paragraf yang membangun kerangka tersebut. Oleh karena itu, penyunting berfungsi untuk mempertajam dan memperkuat pembagian paragraf. Pembagian paragraf terdiri atas paragraf pembuka, paragraf penghubung atau isi, dan paragraf penutup sering kali tidak diketahui oleh penulis. Masih sering ditemukan tulisan yang sulit dipahami karena pemisahan bagian-bagian atau pokok-pokoknya tidak jelas.
       Pemeriksaan atas kalimat merupakan penyuntingan tahap pertama juga. Pada tahap ini pun, sebaiknya penyunting berkonsultasi dengan penulis. Penyunting harus memiliki pengetahuan bahasa yang memadai. Dengan demikian, penyunting dapat menjelaskan dengan baik kesalahan kalimat yang dilakukan oleh penulis. Untuk itu, penyunting harus menguasai persyaratan yang tercakup dalam kalimat yang efektif. Kalimat yang efektif adalah kalimat yang secara jitu atau tepat mewakili gagasan atau perasaan penulis. Untuk dapat membuat kalimat yang efektif, ada tujuh hal yang harus diperhatikan, yaitu kesatuan gagasan, kepaduan, penalaran, kehematan atau ekonomisasi bahasa, penekanan, kesejajaran, dan variasi.
        Penyuntingan tahap kedua berkaitan dengan masalah yang lebih terperinci, lebih khusus. Dalam hal ini, penyunting berhubungan dengan masalah kaidah bahasa, yang mencakup perbaikan dalam kalimat, pilihan kata (diksi), tanda baca, dan ejaan. Pada saat penyunting memperbaiki kalimat dan pilihan kata dalam tulisan, ia dapat berkonsultasi dengan penulis atau langsung memperbaikinya. Hal ini bergantung pada keluasan permasalahan yang harus diperbaiki. Sebaliknya, masalah perbaikan dalam tanda baca dan ejaan dapat langsung dikerjakan oleh penyunting tanpa memberitahukan penulis. Perbaikan dalam tahap ini bersifat kecil, namun sangat mendasar.
5. Tahap Berbagi
       Tahap terakhir dalam proses menulis adalah berbagi (sharing) atau publikasi. Pada tahap berbagi ini, pembelajar:
  1. Mempublikasikan (memajang) tulisan mereka dalam suatu bentuk tulisan yang sesuai, atau
  2. Berbagi tulisan yang dihasilkan dengan pembaca yang telah mereka tentukan.

       Dari tahap-tahap pembelajaran menulis dengan pendekatan/model proses sebagaimana dijabarkan di atas dapat dipahami betapa banyak dan bervariasi kegiatan pembelajar dalam proses menulis. Keterlibatannya dalam berbagai kegiatan tersebut sudah barang tentu merupakan pelajaran yang sangat berharga guna mengembangkan keterampilan menulis. Kesulitan-kesulitan yang dialami oleh pembelajar pada setiap tahap, upaya-upaya mengatasi kesulitan tersebut, dan hasil terbaik yang dicapai oleh para pembelajar membuat mereka lebih tekun dan tidak mudah menyerah dalam mencapai hasil yang terbaik dalam mengembangkan keterampilan menulis.
       Pembelajaran menulis bagi penutur asing dengan menggunakan pendekatan keterampilan proses merupakan suatu alternatif untuk mencapai keterampilan menulis pembelajar secara efektif. Hal ini dimungkinkan karena diterapkannya  proses kreatif dalam menulis yang diimplementasikan melalui tahap-tahap kegiatan yang dapat dilakukan pembelajar (pramenulis, membuat draft, merevisi, menyunting, dan berbagi (sharing). Proses menulis itu tidak selalu bersifat linear tetapi dapat bersifat nonlinier, dan perlu disesuaikan dengan berbagai jenis tulisan yang mereka susun.

Daftar Pustaka


Keraf, Gorys. (1989). Komposisi. Flores: Nusa Indah.

McCrimmon, James M. (1967). Writing With a Purpose. Boston: Houghton Mifflin Company.

Nunan, David. (1991). Language Teaching Methodology. New York: Prentice Hall.

Rifai, Mien A. (1997). Pegangan Gaya Penulisan, Penyuntingan, dan Penerbitan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Supriadi, Dedi. (1997). Isu dan Agenda Pendidikan Tinggi di Indonesia. Jakarta: PT Rosda Jayaputra.

Tompkins, Gail E. (1990). Teaching Writing Balancing Process and Product. New York: Macmillan Publishing Company.

Zuchdi, Darmiyati. (1997). “Pembelajaran Menulis dengan Pendekatan Proses”, Karya Ilmiah disajikan dan dibahas pada Senat Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP Yogyakarta tanggal 15 November 1996 (tidak dipublikasikan). Yogyakarta: IKIP.